Gallery Mindset Daffa
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 26 April
2016
Kisah bocah berusia 9 tahun yang
mendadak jadi terkenal dari Semarang mungkin sudah kita baca. Kamera netizen
yang dibidik dari sebuah mobil di jalan raya menangkap momen itu.
Daffa dengan keukeuh menyetop
sepeda motor yang dikendarai orang dewasa di atas trotoar dengan sepeda
kanak-kanaknya.
Ini bukan soal cerita itu. Tetapi,
menarik diikuti cerita wartawan yang kemudian datang ke rumahnya untuk
melakukan wawancara (Detik, 19 April 2016).
Media online tersebut menulis:
Mengetahui wartawan datang, Senin 18/4, Daffa sumringah dan mau diwawancara.
Saking antusiasnya, ia bahkan berlari masuk rumah dan keluar lagi memakai
kaos bermotif garis-garis seperti pada foto yang tersebar. ’’Saya pakai ini
waktu itu,’’ katanya.
Sulit saya bayangkan pada masa
kecil saya dulu, anak usia 9 tahun sudah sadar kamera seperti Daffa. Pakaian
yang menandakan dirinya seakan menjadi brand
identity yang penting bagi personal Daffa. Itu mengalir otentik, tidak
dibuat-buat seperti para selebriti.
Camera
Branding
Minggu lalu di Mal Gandaria City,
Jakarta, malam Minggu, ribuan orang datang untuk berfoto-foto. Ini agak aneh
juga bagi generasi saya.
Kali ini mereka ingin berfoto
bersama polisi. Ya, polisi Republik Indonesia. Bukan dengan polantas yang
belakangan sering menampilkan gadis-gadis cantik seperti Briptu Dara atau
Briptu Olivia.
Juga bukan polteng (polisi
ganteng) Bripda Saeful Bachri yang sudah ramai di media sosial atau Briptu
Norman Kamaru yang pernah mendadak terkenal karena menyanyikan lagu India.
Kali ini polisi yang ingin mereka
temui adalah reserse atau dari unit reskrim. Pangkatnya senior pula, kombes.
Ini sehubungan dengan pameran kepolisian. Yang menjadi bintang memang reskrim
dan tokohnya adalah KM (Krishna Murti).
Sebelumnya, saya perlu menjelaskan
kepada Anda bahwa mengurus reserse itu amat rumit. Maklum, pekerjaannya
berurusan dengan kriminalitas dan banyak liku-liku rahasia. Bukan rahasia
lagi, banyak pula polisi nakal.
Sementara unit lantas lebih dulu
memperbaiki layanannya. Tentang hal itu, Kapolri Bambang Hendarso semasa
menjabat dulu amat sering berpesan kepada saya bagaimana kita memperbaiki
citra unit reskrim. Ini benar-benar rumit.
Kita kembali ke KM yang belakangan
sering muncul di televisi menyusul kasus-kasus besar yang ditanganinya, mulai
racun sianida di cangkir kopi yang mematikan Mirna, pertarungan melawan
preman di Kalijodo, bom Thamrin, sampai peristiwa mutilasi seorang perempuan
hamil.
KM adalah peserta Sespimti
(Sekolah Pimpinan Tertinggi) Polri 2014. Dia menjadi ketua kelasnya saat saya
mengajar di sana tahun itu. Dia menelepon saya dan minta diulas dalam sebuah
talk show di mal itu.
’’Saya murid Prof, waktu kami
diajar transformasi, change, dan camera branding,’’ ujarnya.
Saya agak tertegun mendengar
ceritanya karena dia mengaku melahap habis buku Camera Branding yang saya
tulis dua tahun lalu. Dan apa yang dia terapkan dewasa ini adalah penerapan
dari bacaan-bacaan wajibnya selama sekolah, termasuk buku itu.
Tetapi, ilmu tersebut menjadi
hidup di tangan KM karena dia pernah menjadi kepala polisi di markas PBB di
New York.
Di sana itulah KM menyaksikan
contoh-contoh yang sering saya ulas. Dia berpikir, polisi akan sulit
dihormati di sini kalau pakaian seragamnya mengesankan amat berjarak dengan
masyarakat. Apalagi penampilannya menyeramkan.
’’Maka sekembalinya saya ke
reskrim, saya dandani anak-anak buah saya. Pakai kaus biru tua bertulisan Turn Back Crime. Celananya cokelat
khaki. Polisi harus keren. Sepatunya kets putih krem,’’ ujarnya.
Saya tahu KM tidak ingin nampang.
Tetapi, dia tahu persis bahwa generasinya berada di tengah-tengah peradaban
kamera. Masyarakatnya juga tambah pintar.
Lihat saja bagaimana anak-anak
muda bergaya di depan kamera. Apakah itu di ujung batu puncak gunung (yang
berakibat Anda jatuh ke mulut kawah), naik sepeda motor di dasar laut, atau
ketemu sosok yang spesial di jalan. Bahkan, makanan atau menu buka puasa saja
dipotret dulu, baru doa dibaca.
Pokoknya foto, edit, upload!
Rasanya sudah keren. Lalu, kini peradaban video pun berkembang. Mulai
Instagram, Snapchat, sampai Boomerang. Sudah begitu, mereka amat kritis.
Akses pada pengetahuan dan kebenaran terbuka luas. Maka dia pun berujar,
’’Pengungkapan sebuah kasus harus pakai science.’’
Hal itu tampak ketika reskrim
Polda Metro mengungkap pembunuh Mirna. Mungkin KM masih ingat pesan saya,
masyarakat sudah belajar dari serial film di Fox Channel, CSI (Crime Scene
Investigation) atau Criminal Minds. Keduanya sarat metode ilmiah. Labnya pun
amat canggih.
Dunia
Komersial pun Berubah
Hal itu mengakibatkan cara pandang
manusia benar-benar berubah. Cara manusia Indonesia mengevaluasi lembaga
pemerintah dan merek-merek komersial juga berubah. Cara mengomersialkan
produk melalui orang juga berubah.
Di dalam buku Camera Branding, saya menjelaskan karakter dasar yang perlu
dibangun: authentics, gallery mindset,
intangibles, flavor, connected and meaningful.
Manusia menjadi merasa ’’dekat’’
hanya kalau mereka bisa mengapresiasi sesuatu, dan sesuatu itu berhubungan
dengan benda hidup, yang dapat mereka akses, foto-foto dengan mereka, dan
tentu saja harus authentics.
Jadi, bukan yang terkesan semu,
paksa, asal tampil, atau dapat menimbulkan kesadaran komersial. Tetapi, yang
terpenting, selain authentics, para eksekutif perlu lebih dulu memiliki
kesadaran gallery mindset.
Anda tengah berada di era disruption. Bahkan strategi Anda harus
didasarkan pada ide-ide itu kalau tak mau ditinggalkan pasar. Ingat,
perubahan abad ini menyandang 3S: speed,
surprise, dan shifting.
Jadi, Daffa, KM, atau bahkan
Justin Bieber, Briptu Dara, malahan juga Joko Widodo, Ahok, Haji Lulung,
Ruhut Sitompul, Risma, Kang Emil, Kang Yoto, dan tokoh-tokoh publik lainnya
sudah ada di sana.
Demikian juga Bukalapak.com,
KitaBisa.com, Uber, Grab, Go-Jek, Coke, dan Raja Ampat. Semua bergaya meng-expose Camera Branding secara authentic. Selamat bereksplorasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar