Urgensi Pidana Sosial
Fathorrahman Ghufron ; Dosen
Sosiologi Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga
|
JAWA POS, 27 April
2016
SEDIANYA lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah media
pembinaan bagi orang-orang yang bermasalah dan terjerat hukum. Itu tertuang
dalam UU Nomor 12/1995. Namun, akhir-akhir ini yang terjadi justru
sebaliknya.
Lapas tidak lebih sebagai metamorfosis ruang baru bagi
narapidana untuk mengekspresikan kejahatan. Motifnya sangat beragam. Mulai
hal-hal sepele hingga perkara besar yang berujung pada timbulnya kerusuhan.
Berbagai kerusuhan yang terjadi di Lapas Malabero,
Bengkulu; Kuala Simpang, Aceh; Kerobokan, Bali; dan Banceuy, Bandung; menjadi
potret buram keberadaan penjara. Kian hari kian menuju titik nadir dan
kehilangan marwahnya sebagai lembaga yang seharusnya mampu mengontrol para
penghuni dari ekspresi kebanalan.
Lapas seolah mengalami disfungsi sebagai lembaga yang
dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Tidak jarang pula
lapas sekadar simbol pemenjaraan untuk membuktikan bahwa pelaku kejahatan
harus dikucilkan.
Apalagi, jumlah tahanan yang mencapai 183.918 orang
-sebagaimana tercatat di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan- tidak sebanding
dengan daya tampung penjara yang disediakan pemerintah. Yakni, 477 bui yang
peruntukannya bagi 119.761 orang.
Selain kelebihan kapasitas yang mencapai 64.157 orang, ada
beberapa faktor lain mengapa kerusuhan kerap terjadi di lapas berbagai
daerah. Di antaranya, pertama, fasilitas dan pelayanan lapas yang tidak
optimal. Kedua, jumlah sipir yang minim. Ketiga, mental sipir lapas yang
cenderung menyalahgunakan kewenangan. Keempat, PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Remisi yang dianggap merugikan hak narapidana.
Lalu, di tengah kronisnya persoalan, apakah masih patut
cara berpikir normatif? Alias hanya fokus pada kebijakan pembenahan lapas
-sebagaimana ditawarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Yaitu, bahwa, pertama,
diperlukan penambahan sarana dan prasarana pengamanan lapas; kedua, para
sipir harus menggunakan pendekatan persuasif dan bukan agresif dalam
menyikapi keberadaan narapidana; dan ketiga, akan dilakukan revisi PP Nomor
99 Tahun 2012. Apakah tidak memungkinkan mencari alternatif lain untuk
menciptakan model efek jera bagi setiap orang agar tidak melakukan kejahatan?
Pidana Sosial
Salah satu terobosan yang sangat perlu dipertimbangkan
adalah perumusan pidana sosial. Seseorang yang melakukan tindak kejahatan
yang meresahkan seharusnya dihukum dengan cara menghibahkan dirinya sebagai
pelayan kehidupan masyarakat.
Semisal, pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan melalui
kerja-kerja sosial di ruang publik. Kerja sosial ini bisa berbentuk
pembersihan lingkungan di areal terbuka. Juga, memberikan layanan gratis
kepada masyarakat umum berdasar profesi dan kompetensi yang dimiliki.
Kerja sosial yang demikian, dalam konteks pidana sosial,
selain memberikan kompensasi kepada masyarakat yang kehidupannya diresahkan,
bisa memberikan dampak tekanan psikologis agar jera.
Secara teknis, agar pelaku kejahatan patuh, pelaksanaan
pidana sosial tersebut harus disertai peraturan yang sangat ketat. Bahkan,
untuk mencirikan keberadaannya dengan masyarakat umum, mereka perlu diberi
pakaian khusus atau penampilan pembeda agar masyarakat mengenali.
Pidana sosial ini penting dijadikan alternatif pemidanaan
bagi pelaku kejahatan agar memberikan nuansa penjeraan sekaligus pelajaran.
Perendahan diri yang diatur dalam pidana sosial memiliki urgensi untuk
menekan perilaku kejahatan yang secara umum tidak berkenan untuk direndahkan.
Selama ini, setiap perilaku kejahatan didekati dengan cara
positivistik, yaitu pemenjaraan. Padahal, tanpa disadari, setiap pe¬laku
kejahatan, bila sama-sama berada dalam satu ruang, akan berpotensi
menciptakan sebuah jaringan habitus -meminjam istilah Bourdieu-kejahatan
serupa. Atau lebih dapat menguadratkan aneka keresahan yang dialami
masyarakat dan negara.
Bahkan, beberapa orang yang masuk penjara karena kesalahan
kecil akan terimbas dengan laku kejahatan para penjahat maupun residivis yang
sudah terbiasa dengan lingkungan penjara. Karena itu, sudah saatnya
dirumuskan pidana sosial sebagai penyeimbang praktik pemenjaraan yang
fungsinya sama. Yaitu, memberikan efek jera serta membina para pelaku
kejahatan agar menyadari perbuatannya dan tidak akan mengulangi lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar