Agama Versi Negara
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS, 13 Mei 2016
Di
zaman modern ini semua agama tumbuh dalam ruang negara. Namun, hubungan
antara keduanya tidak selalu harmonis, bahkan masih menyisakan banyak problem
serius. Sering kali terjadi kontestasi antara pemimpin agama dan pemimpin
negara dalam meraih dukungan publik.
Bahwa
institusi agama merasa disaingi oleh negara, hal ini mudah dimaklumi
mengingat agama merasa lebih dahulu lahir sebelum negara. Bahkan, agama
diyakini sebagai cetak biru Tuhan pemilik semesta, sedangkan negara yang
jumlahnya ratusan merupakan evolusi historis dan produk konsensus masyarakat.
Bagaimanakah
konsep agama versi negara? Ternyata cukup beragam dan dinamis. Pengalaman
Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Indonesia masing-masing berbeda dan saling
memengaruhi. Di AS, misalnya, negara mengambil sikap separatif dan netral
atas dasar prinsip sekularisme. Agama itu urusan personal. Agama tidak boleh
masuk ruang negara. Namun, negara melindungi sepenuhnya hak dan kebebasan
warganya untuk menganut keyakinan agama, apa pun agamanya, termasuk keyakinan
untuk tidak beragama.
Bagi
Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir kenegaraan dan keislaman asal Sudan yang
kini menetap di AS, ketulusan beragama lebih dimungkinkan jika seseorang
tinggal di negara sekuler. Sebab, katanya, sikap keimanan dan keberagamaannya
lebih ditentukan oleh kesadaran dan kebebasan, bukan karena keterpaksaan atau
motif-motif sosial-politik lainnya. Dengan alasan itu pula, An-Na’im
berpendapat bahwa Muslim membutuhkan negara sekuler; bukan agar mereka
menjadi lebih modern atau liberal, melainkan agar menjadi Muslim yang lebih
baik. Selain dapat beriman, beribadah dan beramal semata karena Allah, hak
dan kebebasan mereka dalam kehidupan beragama pun dilindungi dan dibela
negara secara lebih baik (An-Na’im, 2007).
Menurut
dia, sekularisme model AS tidak anti agama, justru menghargai dan melindungi
kebebasan individu untuk memilih agamanya dengan tetap menaati kaidah-kaidah
hukum negara. Thomas Jefferson (1743-1826), presiden ketiga AS, turut berjasa
dalam meletakkan fondasi sikap deistik yang inklusif, yang memberikan
kebebasan beragama bagi warga AS. Sebuah teori mengatakan, dasar negara yang
semula berbunyi In Jesus I Trust
dia ubah menjadi In God We Trust
yang diambil dari lagu rakyat AS, ”The
Star-Spangled Banner”—karangan Francis Scott Key (1814)—yang sekarang
menjadi lagu kebangsaan AS.
Meski
AS membela paham sekularisme, sulit membayangkan muncul Presiden AS yang
beragama Islam ataupun di luar komunitas Protestan. Pernah sekali penganut
Katolik terpilih menjadi Presiden AS (presiden ke-35), yaitu JF Kennedy, yang
meninggal terbunuh pada 22 November 1963, di usia 46 tahun, dan masih
menyisakan misteri.
Dalam
melindungi dan melayani warga negaranya, Pemerintah AS tidak diskriminatif.
Oleh karena itu, di AS tumbuh ribuan sekte keagamaan yang kesemuanya relatif
berkembang secara damai.
Di Eropa juga
terjadi pemisahan negara dan agama, tetapi negara masih memberikan perhatian
khusus pada warisan budaya dan simbol-simbol agama.
Di Inggris, misalnya, Ratu Elizabeth adalah juga ketua gereja Anglikan.
Bahkan, ada blasphemy law, siapa
yang menghina ratu sama halnya menghina gereja dan bisa terkena pidana. Di
Eropa, ada parpol bernuansa keagamaan yang dibantu oleh negara dalam kategori
LSM (lembaga swadaya masyarakat). Berbeda dari AS dan Inggris, kultur sekularisme
Perancis mengesankan anti agama. Hal ini mungkin akibat trauma perang
antar-agama di masa lalu dan kenangan kolektif yang pahit mengenai hubungan
antara gereja dan negara.
Pengalaman Indonesia
Di
Indonesia, negara mengakui eksistensi dan peran agama-agama besar dunia,
misalnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keenam agama
ini kemudian dianggap sebagai agama resmi negara yang didukung secara
sosial-kultural, sejauh mereka tidak mengganggu eksistensi negara.
Keistimewaan seperti itu terkadang dirasa kurang adil terhadap kepercayaan-kepercayaan
lokal yang telah lama ada dan memperkaya budaya nasional. Karena itu,
pemerintah berusaha untuk memberinya perlindungan dengan berbagai macam cara
guna menjaga keseimbangan dan keadilan.
Kembali ke hubungan negara
dan agama, Indonesia bukannya mengambil sikap separatif-sekularistik, tidak
juga teokratik, tetapi suportif-akomodatif terhadap agama dalam porsi yang
cukup besar. Sikap akomodatif terhadap agama terkadang menghasilkan
respons publik yang ambivalen. Misalnya, publik bisa saja mencoba mendesak
penerapan syariat di ruang publik dengan klaim sila pertama Pancasila:
Ketuhanan yang Maha Esa. Namun, pihak lain bisa juga menolaknya dengan sila
ketiga: Persatuan Indonesia.
Ini
tampak ambivalen, tetapi sebenarnya keduanya bisa saling menguatkan. Artinya,
sah-sah saja ketika nilai-nilai agama dipromosikan di ruang publik, asalkan
mengikuti prosedur demokrasi dengan menggunakan argumen kepentingan dan
kebaikan publik. Dalam hal ini syariat boleh saja dikedepankan asalkan bisa
diyakinkan kepentingan publiknya, misalnya sistem perbankan syariat yang
dapat dimanfaatkan oleh pihak mana saja karena manfaat publiknya jelas.
Walaupun tidak
menganut paham sekularisme, Indonesia menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan
dan pemerintahan yang biasa berlaku di negara sekuler.
Contohnya, fungsi legislasi dilakukan DPR. Fungsi yudikatif oleh seperangkat
sistem peradilan. Fungsi eksekutif dijalankan oleh pemerintah yang berkuasa.
Presiden dan wakil presiden sebagai kepala pemerintahan dipilih dalam pemilu
yang bebas dan rahasia. Hak asasi manusia (HAM) diterapkan dengan cukup baik.
Tiap
warga negara, termasuk umat Islam, berkedudukan sama di depan hukum. Hanya
saja, umat Islam yang mayoritas terkadang menuntut lebih dari pemerintah. Ini
masuk akal saja karena alasan sejarah dan demokrasi. Sejarah mencatat bahwa
umat Islam memiliki saham dan memberi dukungan politik sangat besar bagi
lahirnya Republik Indonesia. Mereka tidak pernah ragu mendukung kemerdekaan.
Bahkan, mereka memprakarsai ide tentang kemerdekaan, malah banyak yang gugur
dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Namun, setelah merdeka hingga
sekarang umat Islam merasa hanya menikmati sedikit dari sumber daya ekonomi
nasional yang maha besar itu. Salah satu sebabnya mungkin juga dikarenakan
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam lemah dalam pengembangan sains
dan ekonomi. Agenda yang menonjol dari Kementerian Agama pun masih berkutat
pada pendidikan keagamaan dan dakwah.
Dalam
konteks ketidakseimbangan ini, sering kali kita saksikan kekecewaan muncul
dari sekelompok umat Islam dengan ekspresinya yang bermacam-macam. Ada yang
lembut-lembut, konseptual-intelektual, tetapi ada juga yang agak keras,
meskipun pada dasarnya Islam membenci kekerasan. Terlebih lagi kekerasan yang
memperalat agama yang jelas tidak sejalan dengan ajaran Islam, kecuali ketika
mereka ditindas dan diperlakukan tidak adil. Periksa saja peristiwa-peristiwa
sejarah sejak masa kolonial, dari Perang Diponegoro sampai Peristiwa Tanjung
Priok di masa Orde Baru. Bahkan, pemberontakan Darul Islam sekalipun, semua
itu merupakan protes terhadap ketidakadilan.
Lantas
kenapa agama digunakan? Ya, karena itu salah satu sumber daya yang mereka
punya dan hanya itu yang bisa menginspirasi mereka untuk menyatakan protes
kepada negara secara bersama-sama. Jadi, bukan memperalat agama seperti yang
sering kali dituduhkan, melainkan agama digunakan sebagai sumber daya untuk
mengekspresikan kekecewaan sosial mereka.
Maka,
ke depan, aspek keadilan harus diperhatikan untuk menjaga agar hubungan
antara agama dan negara tetap harmonis, apa pun agamanya. Negara dan
pemerintah tentu akan terus mendukung perkembangan umat beragama, apalagi
jika hal itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa serta
memperkuat karakter dan identitas nasional guna mengantisipasi persaingan
regional ataupun global.
Prinsip keadilan dan
kebaikan
Fenomena
yang selalu mengemuka, terjadi gesekan hubungan antara negara ketika agama
dijadikan instrumen bagi mobilitas dan perjuangan politik untuk memperebutkan
kursi legislatif dan eksekutif. Sentimen dan aspirasi keagamaan selalu muncul
dan dimunculkan setiap menjelang pemilu dan pilkada. Semua ini menunjukkan
betapa kuatnya peran agama dalam proses dan mekanisme politik di Indonesia, sementara
negara juga memanfaatkan sentimen agama untuk mendukung legitimasi
pemerintah.
Namun,
proses negosiasi antara negara dan agama tidak selalu mulus. Terlebih ketika
muncul paham dan gerakan agama yang tidak mau mengakui eksistensi negara di
atas institusi agama. Muncul ideologi tandingan terhadap negara yang
digerakkan oleh sekelompok tokoh agama yang memiliki jaringan kerja sama
dengan gerakan transnasional.
Dalam
sistem teokrasi, otoritas keagamaan diberi peran politik dan memiliki
kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan, seperti halnya Republik Islam Iran
atau negara Vatikan, sekalipun kepala pemerintahannya dipilih melalui proses
pemilihan yang demokratis. Adapun Arab Saudi pada dasarnya sebuah monarki
yang kebetulan rajanya seorang Muslim yang sangat peduli kepada kepentingan
Islam, bahkan menyebut dirinya sebagai pelayan dua kota suci: Mekkah dan
Madinah (khadimul kharamain).
Cerita yang tidak sedap didengar adalah Pakistan yang memisahkan diri dari
India karena alasan agama. Namun, Republik Islam Pakistan selalu menampilkan
peristiwa kekerasan yang berdarah-darah, yang sangat tidak sejalan dengan
ajaran Islam.
Dalam
ajaran Islam, pemimpin diminta lebih mengutamakan prinsip keadilan, baru
diikuti prinsip kebaikan. Adil itu memberikan sesuatu kepada yang berhak,
sedangkan kebaikan itu memberikan sesuatu dari yang seseorang miliki untuk
membantu orang lain. Jadi, kalau pemimpin bertindak adil, artinya dia
memberikan dan melindungi apa yang menjadi hak warga negaranya: tidak pandang
mayoritas atau minoritas, tidak mengenal lawan atau kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar