Who Stops Learning, Stops Teaching
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 04 Maret
2016
Tamat sebagai sarjana
ilmu perbandingan agama IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981), saya
langsung diminta Rektor Prof Harun Nasution untuk menjadi dosen. Sesungguhnya
ini merupakan kebijakan yang tidak bijak. Ibarat siswa tamat SMU lalu
mengajar murid SMU. Kebijakan ini juga terjadi di kampus-kampus lain. Yang
terjadi, jarak langit keilmuan antara dosen dan mahasiswanya terlalu dekat.
Syukurlah sekarang pemerintah membuat peraturan baru.
Untuk menjadi dosen
strata 1, minimal tamat strata 2. Ke depan mesti ditingkatkan lagi, hanya
mereka yang memiliki ijazah strata 3 (doktor) yang berhak menjadi dosen
strata 1. Untuk level pascasarjana, idealnya mesti profesor, sedangkan doktor
bisa magang sebagai asisten. Di beberapa universitas luar negeri, seorang alumni
tidak boleh mengajar di kampus tempat dia belajar sebelum memiliki pengalaman
sebagai dosen di kampus lain.
Sungguh benar nasihat
klasik, mengajar adalah cara belajar yang paling efektif. Sebagai dosen
yunior yang memberi kuliah kepada mahasiswa yang hampir semuanya adalah teman
bermain, saya mesti belajar serius dan membuat persiapan matang sebelum masuk
kelas. Terbayang betapa malunya andaikan muncul pertanyaan dalam diskusi,
lalu saya tidak cukup bahan untuk menjawab.
Waktu itu saya diberi
tugas mengajar mata kuliah orientalisme, yaitu pandangan sarjanasarjana Barat
tentang kebudayaan Timur, lebih khusus lagi adalah sarjana Barat nonmuslim
memandang Islam. Materi orientalisme ini kebanyakan ditulis dalam bahasa
Inggris sehingga saya mesti membaca buku-buku asing dengan modal kamus
Inggris-Indonesia.
Semakin mengenali
buku-buku orientalisme, saya semakin tertarik dan penasaran karena isinya
banyak yang minor, sinis, dan menghujat ajaran Islam yang saya pelajari dan
yakini. Bahkan sebagian saya nilai bernada fitnah. Lama-lama saya membaca
buku orientalisme tidak semata untuk bahan kuliah, tetapi tertarik menyelami
lebih jauh apa argumentasi orientalis mengkritik Islam.
Kritik mereka disertai
argumen yang logis, rasional meskipun sering didasari premis yang salah atau
tendensius. Ini dilakukan terutama oleh orientalis abad ke-19. Bercampur
antara ketidaktahuan dan kebencian terhadap Islam. Suasana batin mereka
mempelajari budaya Timur, khususnya Islam, dipengaruhi oleh kenangan pahit
Perang Salib dan untuk kepentingan membuka jalan bagi penjajahan.
Dengan mengetahui
budaya dan tradisi Timur, kekuatan Barat lebih mudah masuk untuk
menguasainya. Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan besar di kalangan
orientalis. Dunia semakin terbuka, lalu lintas informasi berlangsung kian
intensif. Tidak saja sarjana Barat datang ke Timur untuk melakukan penelitian
dan perdagangan, orang Timur pun banyak yang ke Barat untuk melakukan hal
yang sama.
Buku-buku tentang
Islam yang ditulis dalam bahasa Inggris terus bermunculan. Banyak insinyur
perminyakan serta konsultan Barat yang bekerja di dunia Islam, melihat dan
bergaul lebih dekat dengan umat Islam. Dari situ perubahan persepsi tentang
Islam yang ditulis orientalis abad lalu yang mengidap kebencian mulai terkoreksi.
Tukar-menukar dosen
antara universitas di Barat dan dunia Islam juga semakin berkembang. Semua
ini sangat besar pengaruhnya untuk membangun saling pengertian antara dunia
Islam dan Barat, terutama dari sisi keilmuan. Adapun di ranah politik dan
ekonomi, kita mesti membaca dan mendekati dengan kacamata yang berbeda
mengingat di sini yang menonjol adalah kepentingan ekonomi dan politik
seperti halnya agresi Israel atas wilayah Palestina.
Perkembangan positif
untuk menjalin saling pengertian antara Barat dan dunia Islam juga ditandai
antara lain oleh berbagai seminar dan dialog antarumat beragama yang populer
disebut interfaith dialogue.
Penghadapan Barat dan Islam sesungguhnya kurang tepat, mestinya Barat dan
Timur. Tapi begitulah diksi yang sudah lama berjalan dan diterima publik.
Sebagai dosen
orientalisme dan filsafat, tentu saja perkembangan ini sangat mengasyikkan
untuk saya baca dan ikuti. Di Barat sekarang ini hampir semua universitas
terkemuka membuka departemen studi agama, khususnya Islamic studies. Baik
dosen maupun mahasiswanya banyak datang dari negara-negara muslim, plus
profesor Barat yang memiliki latar belakang akademis kajian Islam.
Ini perkembangan cukup
progresif dari komunitas orientalis. Bahkan mereka tidak senang dengan
istilah orientalis yang sarat muatan ideologisimperialis. Kembali akan status
saya sebagai dosen muda dan baru, yang sangat membantu saya tampil percaya
diri di depan mahasiswa adalah profesi sampingan saya sebagai wartawan.
Pengalaman bertemu
dengan beragam tokoh nasional maupun asing menambah wawasan sosial politik
keagamaan Indonesia dan sedikit tentang dunia Islam. Yang tak kalah penting
adalah pengalaman selagi masih mahasiswa berpartisipasi aktif dalam berbagai
kegiatan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, bahkan pernah duduk
sebagai ketua departemen kader di Pengurus Besar HMI.
Pengalaman sebagai
dosen ini mengajarkan satu wisdom, dosen atau guru yang berhenti atau malas
belajar mestinya dia harus berhenti mengajar. Kasihan mahasiswanya kalau
dosennya malas memperkaya bekal ilmu dan pengalaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar