LGBT, Kebebasan versus Penyimpangan
Deding Ishak ;
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
|
KORAN SINDO, 04 Maret
2016
Gerakan lesbian, gay,
biseksual, dan transgender (LGBT) belakangan kian menyita perhatian publik.
Atas nama kebebasan, kaum LGBT merasa bebas menentukan orientasi seksual
mereka dan tidak perlu malu-malu lagi menunjukkan identitas mereka di hadapan
publik.
Mereka bahkan menuntut
negara untuk melegalisasi hubungan sesame jenis. Gerakan ini tentu saja
mengusik ketenteraman hidup bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, moral, dan susila. Liberalisme tampaknya telah membuka
pintu sebebas-bebasnya bagi gerakan apa pun yang dianggap mendukung kebebasan
manusia dengan anggapan melepaskan (membebaskan) manusia dari keterkungkungan
hukum negara, adat, maupun agama. Dalih yang digunakan adalah memanusiakan
manusia atas dasar kemanusiaan. Kebebasan yang ”kebablasan” ini menjadikan
LGBT bebas bergerak dan berhasil melegalkan aktivitasnya di beberapa negara
di dunia.
Perspektif Konstitusi
Kebebasan sejatinya
merupakan ruh dalam demokrasi. Tanpa kebebasan, sistem demokrasi ibarat mati.
Kebebasan akan membuka ruang partisipasi bagi semua warga negara berperan
aktif dalam setiap kebijakan negara sehingga apa pun kebijakan yang
dilahirkan negara dapat mengakomodasi kepentingan warga negaranya. Dalam
praktik ketatanegaraan di Indonesia, kebebasan (baca: hak asasi manusia) juga
dicantumkan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB XA Pasal 28A tentang HAM:
”Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal
ini mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk hidup dan
mengembangkan kehidupannya. Pasal 28C ayat (1) lebih jauh menjelaskan:
”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaatkan dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.”
Namun, hal yang sering
dilupakan dalam Bab Kebebasan ini adalah kewajiban menghormati HAM orang
lain. Pasal 28J ayat (1) mengunci kebebasan dengan kalimat: ”Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Ayat (2) bahkan memberi proteksi
yang lebih kuat lagi:
”Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal 28J Ayat (2) adalah kunci untuk tidak membiarkan
kebebasan seseorang melanggar kebebasan orang lain. Pasal ini menjadi
semacam katup pengaman agar kebebasan seseorang tidak disalahgunakan untuk
mengancam kebebasan orang lain. Sistem demokrasi mensyaratkan ada kebebasan
adalah betul, tetapi kebebasan itu juga tentu wajib menghormati kebebasan
orang lain.
Desain kebebasan
seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ini penting untuk menjamin kebebasan dapat dilaksanakan tanpa
melanggar kebebasan orang lain. Jika ada kebebasan yang bernama hak asasi
manusia (HAM), sudah seyogianya ada juga yang bernama kewajiban asasi manusia
(KAM) atau kewajiban menghormati kebebasan orang lain.
Gerakan LGBT adalah melanggar nilai-nilai moral, norma
susila, dan ajaran agama yang berlaku di Indonesia. Artinya, gerakan ini
hanya mengatasnamakan kebebasan dengan melanggar norma susila dan agama yang
berada di Indonesia. Jika dibiarkan, LGBT
merupakan ancaman terhadap kebebasan dalam menjalankan agama di Indonesia
karena perilaku LGBT menyimpang dari ajaran agama.
Sebab itulah, perilaku
LGBT tidak bisa dibiarkan di Indonesia. Pembiaran terhadap perilaku LGBT adalah
pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Kaum LGBT akan senantiasa menjadi ”penumpang gelap” demokrasi (baca:
kebebasan).
Perspektif Agama
Tidak ada agama apa
pun di Indonesia yang membenarkan perilaku LGBT. Islam bahkan sangat mengecam
perilaku seks menyimpang tersebut. Dalam terminologi agama, LGBT sering
dikaitkan dengan sejarah Nabi Luth AS saat menghadapi perilaku kaumnya yang
dikenal dengan perilaku sodomi.
Perilaku kaum Nabi
Luth yang bertentangan dengan fitrah dan moral itu mendapat hukuman dari
Allah dengan memutarbalikkan negeri mereka sehingga penduduk Sadum, termasuk
istri Nabi Luth sendiri, terbenam bersamaan dengan terbaliknya negeri itu.
Dalam agama Kristen dan Islam, sejarah tersebut menjadi bersinonim dengan
dosa besar yang tak terampuni, yang menjatuhkan mereka ke dalam kemusnahan
akibat murka Tuhan.
Kendati pelaku seks
menyimpang telah dihancurkan oleh Tuhan ratusan abad yang lalu, perilaku ini
tetap ada di tengah kehidupan manusia. Siksaan keras yang ditimpakan kepada
kaum terdahulu tidak diambil sebagai pelajaran. Persepsi Islam terhadap
naluri seks adalah sebagi fitrah manusia. Islam memandang bahwa ia merupakan
suatu kekuatan alami yang terdapat dalam diri manusia.
Naluri seks memerlukan
penyaluran biologis dalam bentuk perkawinan. Islam tidak menganggap bahwa
naluri seks merupakan sesuatu yang jahat dan tabu bagi manusia. Tetapi, Islam
mengaturnya sesuai dengan fitrahnya. Karena itu, Islam sangat menentang
penyimpangan seks, semacam LGBT, yang dapat merusak eksistensi fitrahnya.
LGBT merupakan suatu perbuatan keji yang dapat merusak akal fitrah dan akhlak
manusia.
Islam bersikap tegas
terhadap perbuatan terlarang ini. Dalam konteks ini perlu ada proteksi dini
terhadap maraknya gerakan LGBT. Pertama, dari segi regulasi pemerintah
bersama DPR sudah saatnya membentuk undang-undang anti-LGBT. Kedua,
pemerintah bersama masyarakat hendaknya perlu melakukan pendekatan yang integral
terhadap perilaku LGBT di tengah masyarakat dengan terus melakukan penyadaran
kepada pelaku dan simpatisan LGBT serta segera melakukan kampanye
besar-besaran untuk memberikan penyuluhan tentang bahaya LGBT.
Ketiga, institusi
pendidikan tinggi perlu mendirikan Pusat Kajian dan Penanggulangan LGBT.
Tujuan utama dari kaum LGBT tentu untuk mendapat pengakuan dari negara bahwa
kelompok LGBT adalah sah atau legal secara hukum. Ini targetnya. Jika target
ini sudah tercapai, mereka akan mendapat proteksi dari negara untuk
menggiring masyarakat memiliki orientasi seks yang menyimpang atau menikah
sesama jenis. Dan, di antara kelompok masyarakat itu, bukan tak mungkin
adalah anak dan cucu kita! Naudzubillahi
min dzaalik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar