Mana Haluan Negara Kita
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) se Indonesia; Ketua MK
periode 2008-2013
|
KORAN SINDO, 05 Maret
2016
Sekarang banyak
tudingan, negara kita berjalan tak terarah dan tanpa haluan. Bahkan saya
sering ditanya, apakah kita sudah siap berdemokrasi. Bagi saya sih jawabannya
gampang, tinggal dibalik: apakah kita ini siap tidak berdemokrasi?
Tentu hampir semua
kita akan menjawab, kita lebih tidak siap untuk tidak berdemokrasi. Artinya,
demokrasi tetaplah pilihan yang terbaik dari semua system yang tersedia yang semuanya
mengandung kelemahan atau peluang disalahgunakan. Jadi tidak relevan lagi
berdebat tentang telah tepatnya kita memilih sistem demokrasi.
Tetapi mengapa
demokrasi kita tidak terarah? Ada yang mengatakan, semua itu terjadi karena
sekarang kita tidak mempunyai haluan negara yang bisa diterapkan dan
dikontrol seperti GBHN era Ode Baru.
Maka ada yang
mengusulkan, sebaiknya kita menghidupkan kembali GBHN yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan dipertanggungjawabkan kepada MPR, dikontrol oleh MPR/DPR
dengan kemungkinan dilakukannya impeachment
(pemakzulan) jika presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
Oleh sebab itu
diusulkan pula agar kita menghidupkan kembali Pasal 3 UUD 1945 yang asli yang
menyatakan, ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar
dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Katanya, kalau pasal tersebut
dihidupkan maka ada dasar konstitusional untuk menghidupkan kembali GBHN dan
kita bisa mempunyai haluan negara.
Sebenarnya kelirulah
kalau ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang lama itu dinyatakan sebagai dasar
adanya GBHN sebagai nama dan bentuk hukum resmi dari haluan negara. Arah atau
peta jalan haluan negara memang harus ada tetapi namanya tidak harusGBHN.
Dalam praktik
ketatanegaraan kita saat berlakunya UUD 1945 sebelum diamendemen pun turunan
pasal 3 yang diberi nama resmi GBHN itu baru dikenal sejak 1973, yakni ketika
pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1973 tentang
Garisgaris Besar Haluan Negara.
Sebelum itu, pada
zaman pemerintahan Presiden Soekarno, peta jalan haluan negara kita bukan
bernama GBHN, melainkan bernama Manifesto Politik (Manipol) yang dituangkan
di dalam Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 (GBPPNSB).
Jadi meskipun dasarnya
sama-sama Pasal 3 UUD 1945 namun pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memberi
nama dan masa keberlakuan yang berbeda atas haluan negara. Pada zaman
Presiden Soekarno, haluan negara kita adalah Manipol yang dituangkan ke Tap
MPRS tentang GBPPNSB dengan masa berlaku sembilan tahun, sedangkan pada zaman
Presiden Soeharto haluan negara kita disebut Repelita dan atau Pelita yang
dituangkan ke dalam Tap MPR tentang GBHN.
Pada era Orde Baru
peta jalan haluan negara dituangkan dalam rangkaian pembangunan
berkesinambungan yang jangka panjangnya dipenggal-penggal ke dalam jangka
panjang 25 tahunan yang dipenggal lagi ke dalam jangka menengah lima tahunan
dan jangka pendek tahunan. Apa arti semua itu? Artinya, GBHN itu bukanlah
nama dan bentuk resmi haluan yang harus lahir dari Pasal 3 UUD 1945.
GBHN hanyalah nama
yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menentukan haluan negara.
Buktinya zaman Presiden Soekarno yang dipakai adalah Manipol dengan Tap MPRS
tentang GPPNSB. Dengan demikian membuat haluan negara memang tidak harus
dalam bentuk dan nama GBHN.
Harus diingat, pada
era reformasi ini kita juga mempunyai haluan negara sebagai turunan dari UUD
1945 yang sudah diamendemen yakni UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Jangkauan pembangunan
kita menurut UU SPPN dan UU RPJPN adalah 20 tahunan untuk jangka panjang dan
lima tahun untuk jangka menengah, dan tahunan untuk jangka pendek.
Haluan negara kita di
bawah UUD pada era reformasi ini memang tidak diberi baju hukum Tap MPR
karena berdasar sistem ketatanegaraan sekarang MPR tidak lagi mengeluarkan
Tap yang bersifat mengatur (regeling). Tidak benar juga kalau dalam sistem
yang sekarang dikatakan menyebabkan terputusnya pembangunan yang
berkesinambungan sehingga kalau ”ganti Presiden, ganti haluan”.
Tidak begitu. Di dalam
Pasal 5 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2007 ditegaskan bahwa agar pembangunan bisa
berkesinambungan maka presiden yang akan mengakhiri masa tugasnya (harus)
membuatkan program kerja untuk presiden yang akan menggantikannya. Sebenarnya
persoalannya, bukan kita tidak punya haluan atau salah arah.
Kalau kita
rekonstruksi UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007 maka substansinya
sama belaka dengan tap-tap MPR tentang GBHN. Bahkan dengan adanya Perpres No.
2 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 8 Januari 2015,
sebenarnya konstruksi haluan negara dan rencana pembangunan kita sama dengan
Repelita zaman Orde Baru yang setiap lima tahun dikeluarkan oleh presiden
melalui keppres.
Persoalan kita
sebenarnya adalah tidak adanya konsistensi karena selalu terjadi torpedo
politik terhadap haluan yang ada. Pada masa lalu pun Manipol atau GBHN selalu
dikritik, seperti halnya SPPN dan RPJPN sekarang ini.
Tetapi kalau karena
romantika kita akan kembali ke nama dan konstruksi GBHN, hal itu bisa saja
baik melalui perubahan nama UU SPPN menjadi UU GBHN maupun melalui amandemen
kembali ke Pasal 3 UUD 1945 yang asli. Pemberlakuan UUD itu, kan kesepakatan
kita saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar