Jumat, 11 Maret 2016

Sebuah Revolusi di Kuala Tanjung

Sebuah Revolusi di Kuala Tanjung

Rhenald Kasali ;  Pendiri Rumah Perubahan
                                                  KORAN SINDO, 10 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selepas tumbangnya Orde Baru, kita kerap sebal mendengar istilah agen pembangunan (agent of development). Apalagi kalau istilah itu disematkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mengapa? Sebab demi menjalankan perannya sebagai agen pembangunan tadi, perusahaan-perusahaan pelat merah itu seakan-akan boleh mengabaikan kaidah-kaidah bisnis. Misalnya, boleh rugi. Nanti, kalau rugi, pemerintah akan menutup kerugiannya dengan menyetorkan sejumlah dana.

Ketika Orde Baru tumbang dan diganti Orde Reformasi, istilah agen pembangunan menguap begitu saja. Sebagai gantinya, BUMN dituntut untuk selalu untung. Lalu sebagian keuntungannya mesti disetorkan ke pemerintah dalam bentuk dividen. Bahkan setiap BUMN ditargetkan menyetor dividen sejumlah tertentu. Setoran dividen ini dipakai untuk menutup kekurangan penerimaan di APBN. Maka setoran dividen menjadi penting.

Jika setorannya di bawah target, manajemen BUMN dianggap gagal. Sewaktu-waktu menterinya bisa diganti, begitu pula dengan jajaran direksi dan komisaris BUMN-nya. Akibat kewajiban untuk setor dividen, BUMN-BUMN kita jadi kesulitan mengumpulkan modal untuk ekspansi dan membesarkan perusahaan. Semua atau hampir semua keuntungan itu ditarik ke kas negara. Maka pabrik-pabrik gula pun menua tanpa peremajaan. Demikian pula lainnya.

Tak mengherankan bila banyak BUMN kita yang jago kandang dan ukurannya segitu-segitu saja. Pertamina, misalnya, asetnya kalah dari Petronas— bahkan keok dari PTT asal Thailand. Bank Mandiri kalah dari Bank DBS asal Singapura.

Kini kita baru mulai membangun lagi dalam arti korporasi yang sebenarnya. Bila untung, boleh saja bantu negara juga kok. Tapi meremajakan diri juga penting. Laba yang ditahan dipakai untuk meleverage diri agar jadi besar, mampu menyejahterakan pegawai, komunitas, dan bangsa.

Buat apa sih kita bekerja? Ya buat kesejahteraanlah. Bagaimana bisa? Bisa. Kali ini saya ajak Anda ke Kuala Tanjung di Sumatera Utara untuk melihat salah satu buktinya.

Bukan Tukang Jahit

Di sana ada BUMN kita, PT Pelabuhan Indonesia 1 (Pelindo 1) yang dipimpin sahabat saya, Bambang Eka Cahyana. Mereka tengah membangun pelabuhan di Kuala Tanjung. Kuala Tanjung memang pas untuk dijadikan pelabuhan. Secara alami lautnya sudah dalam, bisa 14 meter dari permukaan laut. Kedalaman ini penting, sebab kapal-kapal kontainer sekarang sudah berukuran besar. Untuk bisa sandar di pelabuhan, kapal-kapal ini membutuhkan laut yang dalam.

Rencananya, Pelabuhan Kuala Tanjung bakal selesai dibangun tahun 2016, tetapi baru efektif beroperasi setahun kemudian. Untuk membangun pelabuhan tersebut, Pelindo 1 menggunakan konsultan kelas dunia, Roland Berger, dan bekerja sama dengan Port of Rotterdam, Belanda.

Bagi saya, pelabuhan ini menjadi sangat strategis setidak-tidaknya karena tiga hal. Pertama, lokasinya yang berada di pantai timur Sumatera dan tepat berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Anda tahu, Selat Malaka adalah salah satu selat tersibuk di dunia. Selat itu menjadi jalur utama bagi lalu lintas kontainer ke perdagangan global. Setiap tahun tak kurang dari 100 juta TEUs peti kemas melewati selat tersebut.

Kedua, Pelabuhan Kuala Tanjung bakal menjadi hub port atau pelabuhan penghubung bagi kapal-kapal internasional yang melayari kawasan Indonesia bagian barat. Kalau di bagian timur, yang menjadi hub port-nya adalah Pelabuhan Bitung. Jadi kelak kapal-kapal internasional yang mengangkut barang hanya boleh berhenti sampai di Kuala Tanjung atau di Bitung. Lalu dari situ barang-barang akan diangkut ke berbagai tujuan di dalam negeri dengan menggunakan maskapai pelayaran domestik. Aturan ini sesuai dengan prinsip cabotage. Menurut prinsip ini, suatu negara boleh menetapkan aturan bahwa untuk layanan angkutan dalam negerinya hanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan pelayaran domestik. Bukan kepada perusahaan pelayaran asing.

Ketiga, sebagai area pelabuhan, Kuala Tanjung didukung kawasan dalam (hinterland) yang menjadi basis produk-produk sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resources). Di antaranya kelapa sawit, karet, kopi, dan berbagai komoditas lain. Kondisi ini pula yang, saya kira akan membedakan industrialisasi di Sumatera dengan yang di Jawa. Kalau di Jawa industrinya kebanyakan hanya ”industri tukang jahit”. Jadi masih banyak komponen atau bahan bakunya yang diimpor.

Lalu bahan baku atau komponen tadi dirangkai jadi satu oleh pabrik-pabrik di Jawa. Hasilnya ada yang dijual di dalam negeri, ada yang diekspor kembali. Kalau di Sumatera berbeda. Basis industri di sana adalah yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi. Sebab selama ini produk-produk seperti kelapa sawit, karet atau kopi kebanyakan diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi. Kelapa sawit, misalnya, hanya diekspor dalam bentuk crude palm oil (CPO).

Lalu sekitar 80% ekspor karet kita juga dalam bentuk mentah, bukan berupa ban, sarung tangan karet atau produk jadi lainnya. Sementara untuk kopi, sekitar 75% masih dalam bentuk green bean atau biji kopi. Jadi nilai tambahnya masih sangat sedikit. Kalau saja produk-produk tersebut bisa kita ekspor dalam bentuk jadi, nilai tambah yang kita peroleh tentu jauh lebih tinggi.

Persoalan bangsa ini, belum banyak perusahaan tertarik untuk membangun pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit, karet atau kopi di seputar Kuala Tanjung. Kendalanya sangat klasik: infrastruktur. Pelabuhannya jelek, jalan banyak yang rusak, jaringan kereta api sangat terbatas, pasokan tenaga listrik masih kurang, ada masalah air bersih dan telekomunikasi, dan sebagainya.

Saingi Singapura

Itulah tantangan yang coba diatasi Pelindo 1. Perusahaan ini dituntut tidak hanya membangun pelabuhannya, tetapi juga mesti ikut membangun kawasan di sekitarnya. Diam-diam tapi bergerak. Kalau hanya membangun pelabuhannya, percuma. Pelabuhannya jadi, kelas internasional, tapi siapa yang akan menjadi penggunanya?

Untuk itulah Pelindo 1 mesti ikut membangun kawasan di seputar pelabuhan. Kebetulan di sana pemerintah juga sedang membangun kawasan industri Sei Mangke. Kawasan itulah yang bakal menjadi lokasi dari pabrik-pabrik pengolahan sawit, karet, kopi, dan berbagai barang jadi lainnya. Kondisi semacam inilah yang membuat peran Pelindo 1 jadi mirip dengan BUMN semasa Orde Baru, yakni mesti menjadi agen pembangunan. Hanya kali ini syaratnya tidak boleh rugi.

Kita berharap Pelabuhan Kuala Tanjung bisa menyaingi Pelabuhan Singapura. Dulu, kita berharap pelabuhan di Batam bakal bisa merebut pasar Singapura. Sayangnya rencana itu kandas. Kali ini rasanya kita tidak boleh kandas lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar