Sebuah Revolusi di Kuala Tanjung
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 10 Maret
2016
Selepas tumbangnya Orde Baru, kita kerap sebal mendengar istilah
agen pembangunan (agent of development).
Apalagi kalau istilah itu disematkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Mengapa? Sebab demi menjalankan perannya sebagai agen pembangunan tadi,
perusahaan-perusahaan pelat merah itu seakan-akan boleh mengabaikan
kaidah-kaidah bisnis. Misalnya, boleh rugi. Nanti, kalau rugi, pemerintah
akan menutup kerugiannya dengan menyetorkan sejumlah dana.
Ketika Orde Baru tumbang dan diganti Orde Reformasi, istilah
agen pembangunan menguap begitu saja. Sebagai gantinya, BUMN dituntut untuk
selalu untung. Lalu sebagian keuntungannya mesti disetorkan ke pemerintah
dalam bentuk dividen. Bahkan setiap BUMN ditargetkan menyetor dividen
sejumlah tertentu. Setoran dividen ini dipakai untuk menutup kekurangan
penerimaan di APBN. Maka setoran dividen menjadi penting.
Jika setorannya di bawah target, manajemen BUMN dianggap gagal.
Sewaktu-waktu menterinya bisa diganti, begitu pula dengan jajaran direksi dan
komisaris BUMN-nya. Akibat kewajiban untuk setor dividen, BUMN-BUMN kita jadi
kesulitan mengumpulkan modal untuk ekspansi dan membesarkan perusahaan. Semua
atau hampir semua keuntungan itu ditarik ke kas negara. Maka pabrik-pabrik
gula pun menua tanpa peremajaan. Demikian pula lainnya.
Tak mengherankan bila banyak BUMN kita yang jago kandang dan
ukurannya segitu-segitu saja. Pertamina, misalnya, asetnya kalah dari
Petronas— bahkan keok dari PTT asal Thailand. Bank Mandiri kalah dari Bank
DBS asal Singapura.
Kini kita baru mulai membangun lagi dalam arti korporasi yang
sebenarnya. Bila untung, boleh saja bantu negara juga kok. Tapi meremajakan
diri juga penting. Laba yang ditahan dipakai untuk meleverage diri agar jadi
besar, mampu menyejahterakan pegawai, komunitas, dan bangsa.
Buat apa sih kita bekerja? Ya buat kesejahteraanlah. Bagaimana
bisa? Bisa. Kali ini saya ajak Anda ke Kuala Tanjung di Sumatera Utara untuk
melihat salah satu buktinya.
Bukan Tukang Jahit
Di sana ada BUMN kita, PT Pelabuhan Indonesia 1 (Pelindo 1) yang
dipimpin sahabat saya, Bambang Eka Cahyana. Mereka tengah membangun pelabuhan
di Kuala Tanjung. Kuala Tanjung memang pas untuk dijadikan pelabuhan. Secara
alami lautnya sudah dalam, bisa 14 meter dari permukaan laut. Kedalaman ini
penting, sebab kapal-kapal kontainer sekarang sudah berukuran besar. Untuk
bisa sandar di pelabuhan, kapal-kapal ini membutuhkan laut yang dalam.
Rencananya, Pelabuhan Kuala Tanjung bakal selesai dibangun tahun
2016, tetapi baru efektif beroperasi setahun kemudian. Untuk membangun
pelabuhan tersebut, Pelindo 1 menggunakan konsultan kelas dunia, Roland
Berger, dan bekerja sama dengan Port of Rotterdam, Belanda.
Bagi saya, pelabuhan ini menjadi sangat strategis
setidak-tidaknya karena tiga hal. Pertama, lokasinya yang berada di pantai
timur Sumatera dan tepat berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Anda tahu,
Selat Malaka adalah salah satu selat tersibuk di dunia. Selat itu menjadi
jalur utama bagi lalu lintas kontainer ke perdagangan global. Setiap tahun
tak kurang dari 100 juta TEUs peti kemas melewati selat tersebut.
Kedua, Pelabuhan Kuala Tanjung bakal menjadi hub port atau pelabuhan penghubung
bagi kapal-kapal internasional yang melayari kawasan Indonesia bagian barat.
Kalau di bagian timur, yang menjadi hub
port-nya adalah Pelabuhan Bitung. Jadi kelak kapal-kapal internasional
yang mengangkut barang hanya boleh berhenti sampai di Kuala Tanjung atau di
Bitung. Lalu dari situ barang-barang akan diangkut ke berbagai tujuan di
dalam negeri dengan menggunakan maskapai pelayaran domestik. Aturan ini
sesuai dengan prinsip cabotage.
Menurut prinsip ini, suatu negara boleh menetapkan aturan bahwa untuk layanan
angkutan dalam negerinya hanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan
pelayaran domestik. Bukan kepada perusahaan pelayaran asing.
Ketiga, sebagai area pelabuhan, Kuala Tanjung didukung kawasan dalam
(hinterland) yang menjadi basis
produk-produk sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resources). Di antaranya kelapa sawit, karet, kopi, dan
berbagai komoditas lain. Kondisi ini pula yang, saya kira akan membedakan
industrialisasi di Sumatera dengan yang di Jawa. Kalau di Jawa industrinya
kebanyakan hanya ”industri tukang jahit”. Jadi masih banyak komponen atau
bahan bakunya yang diimpor.
Lalu bahan baku atau komponen tadi dirangkai jadi satu oleh
pabrik-pabrik di Jawa. Hasilnya ada yang dijual di dalam negeri, ada yang
diekspor kembali. Kalau di Sumatera berbeda. Basis industri di sana adalah
yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi. Sebab selama ini
produk-produk seperti kelapa sawit, karet atau kopi kebanyakan diekspor dalam
bentuk mentah atau setengah jadi. Kelapa sawit, misalnya, hanya diekspor
dalam bentuk crude palm oil (CPO).
Lalu sekitar 80% ekspor karet kita juga dalam bentuk mentah, bukan
berupa ban, sarung tangan karet atau produk jadi lainnya. Sementara untuk
kopi, sekitar 75% masih dalam bentuk green
bean atau biji kopi. Jadi nilai tambahnya masih sangat sedikit. Kalau
saja produk-produk tersebut bisa kita ekspor dalam bentuk jadi, nilai tambah
yang kita peroleh tentu jauh lebih tinggi.
Persoalan bangsa ini, belum banyak perusahaan tertarik untuk
membangun pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit, karet atau kopi di seputar
Kuala Tanjung. Kendalanya sangat klasik: infrastruktur. Pelabuhannya jelek,
jalan banyak yang rusak, jaringan kereta api sangat terbatas, pasokan tenaga
listrik masih kurang, ada masalah air bersih dan telekomunikasi, dan
sebagainya.
Saingi Singapura
Itulah tantangan yang coba diatasi Pelindo 1. Perusahaan ini
dituntut tidak hanya membangun pelabuhannya, tetapi juga mesti ikut membangun
kawasan di sekitarnya. Diam-diam tapi bergerak. Kalau hanya membangun pelabuhannya,
percuma. Pelabuhannya jadi, kelas internasional, tapi siapa yang akan menjadi
penggunanya?
Untuk itulah Pelindo 1 mesti ikut membangun kawasan di seputar
pelabuhan. Kebetulan di sana pemerintah juga sedang membangun kawasan
industri Sei Mangke. Kawasan itulah yang bakal menjadi lokasi dari
pabrik-pabrik pengolahan sawit, karet, kopi, dan berbagai barang jadi
lainnya. Kondisi semacam inilah yang membuat peran Pelindo 1 jadi mirip
dengan BUMN semasa Orde Baru, yakni mesti menjadi agen pembangunan. Hanya
kali ini syaratnya tidak boleh rugi.
Kita berharap Pelabuhan Kuala Tanjung bisa menyaingi Pelabuhan
Singapura. Dulu, kita berharap pelabuhan di Batam bakal bisa merebut pasar
Singapura. Sayangnya rencana itu kandas. Kali ini rasanya kita tidak boleh
kandas lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar