Jumat, 11 Maret 2016

Revisi UU KPK, Mengapa Gaduh?

Revisi UU KPK, Mengapa Gaduh?

Muhammad Aziz Hakim ;  Dosen Hukum Tata Negara IAIN Tulungagung
                                                   JAWA POS, 24 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PRESIDEN dan DPR untuk sementara waktu menunda revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejenak, hiruk pikuk seputar perdebatan revisi RUU tersebut mereda. Namun, tidak dicabutnya RUU itu dari program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2016 berpotensi menjadi ’’ bom waktu’’. Setiap saat bisa meledak dan kembali mengundang kegaduhan.

Jika dicermati, kegaduhan terjadi karena tiga faktor. Yakni, kegamangan DPR, kegusaran rakyat –terutama pegiat antikorupsi–, dan serba salahnya pemerintah. Artinya, meski RUU KPK ditunda, jika tiga faktor tersebut masih dalam posisi yang sama, hampir pasti akan timbul hiruk pikuk kembali.

Pertama, kegamangan DPR. Perlu diingat bahwa perubahan UU KPK merupakan inisiatif atau berasal dari DPR. Merujuk pada pasal 46 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, RUU KPK harus dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di badan legislasi (baleg). Artinya, tuntas di baleg.

Selanjutnya, berdasar pasal 122 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR, RUU yang telah diputuskan di baleg diajukan pengusul kepada pimpinan DPR dengan dilengkapi keterangan pengusul dan/atau naskah akademik untuk selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna DPR.

Pada titik inilah terlihat kegamangan DPR. Bagaimana tidak, jika merujuk pada peraturan yang berlaku, pada tahapan awal tersebut, sebenarnya tidak ada kewajiban DPR untuk konsultasi dengan presiden. Mengingat RUU KPK berasal dari DPR.

Pemerintah baru terlibat setelah RUU diputuskan oleh paripurna DPR untuk dibahas pada tingkat I dengan pemerintah. Kita berasumsi bahwa kegamangan itu terjadi akibat desakan luar biasa dari rakyat, terutama pegiat antikorupsi. Pun perubahan sikap politik partai yang semula mendukung berangsur-angsur menarik diri.

Kedua, kegusaran rakyat, terutama pegiat antikorupsi. Jargon yang selalu didengungkan DPR dalam upaya merevisi UU KPK adalah memperkuat KPK. Sayangnya, hasil final RUU KPK yang diputuskan di baleg justru mengindikasikan ke arah sebaliknya. Secara nyata terdapat upaya melemahkan KPK. Munculnya institusi baru dengan kewenangan super berupa dewan pengawas, penyadapan yang harus izin dewan pengawas, penyelidik dan penyidik yang harus berasal dari institusi tertentu, serta munculnya kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) adalah ketentuan-ketentuan yang dapat mendorong KPK menuju lonceng kematian.

Tidak heran jika pegiat antikorupsi melakukan penolakan keras terhadap upaya revisi ini. Saking kerasnya, muncul tuntutan kepada presiden untuk membatalkan revisi UU ini. Padahal, proses ini masih domain DPR. Belum menjadi domain pemerintah/presiden untuk ikut membahasnya.

Ketiga, pemerintah yang serbasalah. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat porsi pemerintah untuk berpendapat terhadap sebuah RUU adalah dalam pembicaraan tingkat I. Ini sesuai pasal 68 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011. Karena itu, kadang terlihat Menko Polhukam dan Menkum HAM berselisih pendapat. Hal itu bisa terjadi karena objek pendapat Menko Polhukam dan Menkum HAM belum pasti. Mengapa belum pasti? Karena keberlanjutan revisi UU KPK tersebut belum diputuskan dalam paripurna DPR.

Menghilangkan Kegaduhan

Penundaan revisi UU KPK ini paling tidak dapat meredam kegaduhan meski hanya sementara. Hiruk pikuk ini akan hilang permanen jika revisi UU KPK dicabut dari prolegnas prioritas 2016. Karena prolegnas ditetapkan melalui paripurna DPR, pencabutan revisi UU KPK juga harus melalui paripurna.

Sejatinya, kegaduhan itu akan berkurang, sekalipun revisi UU KPK tidak dicabut dari prolegnas prioritas bila beberapa syarat ini terpenuhi. Pertama, DPR berkomitmen memperkuat KPK. Jika DPR bersikukuh mempertahankan materi revisi UU KPK sebagaimana hasil final baleg, hampir pasti kegaduhan akan kembali terjadi.

Kita berharap empat hal yang dianggap melemahkan KPK oleh banyak kalangan itu ditinjau ulang. Baleg harus lebih terbuka dalam proses ini. Naskah akademik tak lagi harus menjadi dokumen misteri. Pendeknya, transparansi dan good will dari baleg betul-betul diharapkan.

Kedua, standing position pemerintah yang jelas dan tegas. Tidak bisa dimungkiri salah satu penyebab hiruk pikuk ini adalah pemerintah menunjukkan sikap yang kurang jelas. Bermunculan pendapat berbeda, baik dari Menkum HAM, Menko Polhukam, maupun dari Istana. Jika revisi UU KPK digulirkan kembali, posisi pemerintah harus satu suara, tegas dan jelas serta komitmen.

Ada baiknya presiden menyampaikan secara langsung bahwa pemerintah mendukung revisi UU KPK dengan catatan dewan pengawas hanya mengawasi perilaku etik KPK, penyadapan tidak izin ke dewan pengawas, KPK diberi kewenangan mengangkat penyelidik dan penyidik independen, serta SP3 dengan batasan yang jelas. Jika pembahasan melenceng dari koridor yang ditegaskan itu, pemerintah harus dengan tegas menolak.

Ketiga, mengurangi alergi revisi. Rakyat –terutama pegiat antikorupsi– sudah saatnya tidak selalu memakai kacamata kuda yang memandang revisi dalam bentuk apa pun adalah pelemahan KPK. Jika memang pemerintah tegas dan jelas serta komitmen menguatkan KPK dengan empat poin catatan itu, sudah selayaknya harus didukung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar