Menolak Tragedi Kekerasan
Arahmaiani ;
Perupa, Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Siang itu di sekeliling Tugu
Yogyakarta terlihat sekelompok orang yang membawa spanduk-spanduk bertuliskan
kalimat-kalimat dengan nada keras dan mengancam. Mereka mengenakan pakaian
yang tampak maskulin dengan semacam jaket loreng serta ikat kepala dan
atribut bergaya Timur Tengah.
Kumpulan para pemuda ini tampak
tidak ramah dan seperti akan menuju medan perang. Kemudian ditambah dengan
kehadiran ormas lainnya memprotes keberadaan kelompok minoritas yang sering
diistilahkan sebagai LGBT-singkatan dari lesbian, gay, biseksual,
transgender. Mereka pun berpose di tiap sisi monumen dengan gaya menantang
seperti mengepalkan tangan dan berkacak pinggang, sementara sebagian di
antaranya memegang spanduk-spanduk protes dengan pernyataan penolakan atau
vonis tentang gangguan kejiwaan kelompok yang mereka anggap akan membahayakan
umat.
Gaya dan tampilan mereka yang
sedemikian rupa telah menimbulkan perasaan tegang bagi siapa pun yang
melihatnya karena mengisyaratkan ancaman kekerasan dan kebencian. Yang bisa
membuat siapa pun merasa waswas dan khawatir bahwa sesuatu yang membahayakan
bisa terjadi setiap saat. Memang, menurut info yang menyebar di media sosial,
mereka mendapat tantangan dari para aktivis pro LGBT. Maka, bagi siapa, pun
yang mengetahui masalah ini pasti akan terbawa suasana tegang di siang hari
yang mendung itu.
Akan tetapi, sementara mereka
berpose demikian seraya berfoto dan terkadang meneriakkan yel-yel pembangkit
semangat sambil mengacung-acungkan kepalan tinju ke udara, saya melihat
seorang lelaki muda duduk di satu sisi di pinggir jalan. Sambil menonton
adegan-adegan tersebut ia merajut! Benang yang lembut itu dirajut dan
membentuk rangkaian yang tampak indah. Sungguh seperti sebuah adegan
"pertunjukan" ganjil yang sangat mengesankan dan inspiratif.
Ya, ancaman yang mengisyaratkan
kekerasan dan kebencian ini seperti mendapatkan tanggapan yang cerdas dan
tepat. Tidak ditanggapi dengan perlawanan bersifat macho,
jantan, dan balas menantang seperti umum dilakukan jika merujuk ke dalam
konteks budaya kita. Akan tetapi, secara tak terduga dan mengejutkan malah
ditanggapi dengan sikap yang mengisyaratkan sesuatu yang lembut dan feminin
serta memunculkan keindahan. Namun, sekaligus hadir dengan cara yang cukup
konfrontatif karena menghadirkan kualitas maskulin dalam bentuk fisik seorang
lelaki.
Hal ini membangkitkan renungan
dan kesadaran tentang fungsi tradisional monumen tersebut. Yang memiliki
nilai simbolis berupa garis penghubung antara Laut Selatan, keraton, dan
Gunung Merapi yang bersifat magis, yang secara filosofis menggambarkan
koordinat keseimbangan antara energi feminin dan maskulin. Perbedaan yang
tampak berlawanan dianggap berada dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Keseimbangan
Pemahaman keseimbangan atas hal
yang berlawanan (dualistis) di sini tidak untuk dipilih salah satu di antara
dua hal itu-atau dengan lain perkataan bisa dikatakan tidak dibebani
pemahaman positif dan negatif di mana ke dua sisi dianggap penting dan
memiliki kekuatan. Dengan gambaran koordinat keraton berada di antara Laut
Selatan yang mewakili sifat feminin dan Gunung Merapi yang bersifat maskulin.
Menggambarkan simbol posisi "Sang Ratu" yang berada tepat di tengahnya.
Memberikan gagasan yang jelas mengenai fungsinya di alam semesta ini. Ia yang
sanggup merangkul dan mengoordinasikan dua macam kekuatan dan "kesadaran
berlawanan" sehingga menjadi lengkap, seimbang, dan sempurna. Falsafah
kuno ini tampaknya berbeda dengan cara pikir modern yang cenderung
menggunakan pendekatan dan sistem oposisi biner yang linier. Seakan memisah
hal berlawanan di mana satu dan lainnya seperti tak berhubungan.
Ketika dihadapkan pada hal
berlawanan, manusia modern cenderung didorong untuk memilih salah satu.
Memilih di antara kutub positif dan negatif atau yang benar dan salah- bukan
memahami alam dan kehidupan dalam keberagaman sebagai kesatuan. Menetapkan
pemenang sebagai yang benar dan yang kalah sebagai yang salah-bukan pemahaman
kebenaran dalam pengertian arif bijak dan mendalam. Demikian tugu yang
dibangun pada tahun 1755 oleh Hamengku Buwono I yang telah berubah bentuk di
masa penjajahan sehingga sudah tak bisa dibaca lagi sesuai dengan pemikiran
filosofis yang ingin disampaikan. Kala itu sesudah hancur terlanda gempa,
kemudian direnovasi pihak penjajah yang lalu menjadikan bentuknya seperti
kita bisa saksikan sekarang. Demikian pula dengan namanya dulu disebut Golong-Gilig (yang menunjukkan patokan
arah meditasi Sang Sultan) lalu berubah nama menjadi Tugu Pal Putih
terjemahan dari nama yang diberikan penguasa Belanda: De White Paal.
Diskriminasi dan stigmatisasi
kelompok minoritas saat ini seperti tiba-tiba menjadi gencar. Beberapa
pejabat pemerintah, politisi, dan pemimpin ormas-ormas agama menggelar
pernyataan-pernyataan penolakan atau anggapan bahwa kelompok ini menderita
gangguan jiwa. Bahkan, Komisi Penyiaran Indonesia membuat peraturan yang
mendiskriminasi waria-melarang yang dianggap lelaki tampil dengan dandanan
dan hiasan yang biasa digunakan kaum perempuan.
Hal tersebut membuat kita
bertanya apa gerangan sebetulnya yang terjadi? Mengingat kenyataan keberadaan
kelompok minoritas ini sudah dipahami sejak lama dan tidak menimbulkan
kehebohan seperti sekarang. Mengapa isu ini seperti tiba-tiba menyedot
perhatian semua orang? Dan begitu intensif hingga seakan menutupi isu lain
yang sebetulnya jauh lebih penting, seperti penggembosan KPK atau kelanjutan
kasus Papa Minta Saham. Selain
gugatan aktivis atas kasus pelanggaran HAM pemerintah Orde Baru pada tahun
1965 yang masih belum ditanggapi dengan semestinya. Ataupun kebakaran masif
berjuta hektar hutan belum lama berselang yang tidak jelas kelanjutan
penanganannya.
Ya, peraturan tersebut di atas
sebetulnya bukan saja diskriminatif, tetapi juga tak menghargai dunia seni,
dalam hal ini khususnya dunia seni pertunjukan. Adalah tradisi yang tua dan
dianggap lumrah di dalam seni pertunjukan di Tanah Air ketika dalam
pertunjukan-pertunjukan tertentu para lelaki berperan sebagai perempuan.
Tidak pernah ada yang menyatakan bahwa hal ini salah dan menjadikannya
semacam pelanggaran seperti sekarang. Ini sungguh merupakan langkah mundur di
wilayah kebudayaan yang hanya menunjukkan ketidakberadaban karena perlakuan
tak manusiawi seperti ini bisa dianggap sebagai "pertunjukan dan
pameran" budaya kekerasan.
Sesungguhnya kekerasan tak
perlu dilawan dengan kekerasan lagi karena hanya akan tampak konyol dan
memerangkap kita dalam lingkaran kekerasan yang tak ada putusnya.
Terus-menerus terjebak dalam laku kekerasan hingga akhirnya menemui
kehancuran. Apakah kehidupan dan budaya seperti ini yang kita inginkan dan
wariskan pada generasi mendatang? Dan lalu menyalahkan pihak liyan menuntut mereka untuk bertanggung
jawab serta menganggap diri ini hanya sekadar korban? Atau menjadi begitu
sangat yakin bahwa agama yang kita anut adalah agama keras dan kejam tanpa
kasih sehingga kita tak perlu merasa bersalah jika melakukan kekejian
terhadap sesama makhluk hidup?
Banyak pertanyaan yang bisa
kita ajukan dalam situasi kerancuan dan manipulasi nilai-nilai yang cukup
membingungkan ini. Tentunya dengan harapan situasi tegang dan kacau ini akan
menemui akhir yang melegakan. Tidak terus berlanjut dan menyebabkan
kembalinya tragedi seperti di masa lalu. Dan tidak perlu menjadi lembaran
gelap lain dalam sejarah kehidupan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar