Konteks
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 25
Februari 2016
Mungkin karena puluhan
tahun hidup dalam pragmatisme Orde Baru, kita jadi kesulitan untuk melihat
jauh ke depan. Jarak pandang kita kebanyakan menjadi tinggal satu-dua tahun
ke depan.
Keluar dari Orde Baru,
bukannya lebih baik, kita cenderung menjadi lebih pragmatis lagi. Rencana
jangka panjang sudah tidak ada lagi, tolok ukur kinerja apa pun dihitung
tahunan. Semua orang ingin quick
results. Kita malas baca berita yang panjang karena begitu banyak yang
bisa menyajikan kultwit yang ringkas, atau cukup baca SMS atau pesan lewat WA
yang singkat. Malas baca buku, hasil kajian, dan segala yang berat.
Pragmatisme juga
membuat kita kerap kesulitan untuk melihat dan memahami konteks yang luas dan
berjangka panjang. Indonesia begitu kaya dan beragam, tapi kebanyakan dilihat
dalam konteks Jawa. Lalu yang miskin itu dilihat ada di luar Jawa, berapa pun
masih banyaknya orang miskin yang tinggal di pulau terpadat ini.
Lebih parah lagi,
meski sudah bermobil, kebanyakan juga mengakunya rakyat kecil yang layak
dipandang sebagai kaum miskin yang berhak ini dan itu. Bahkan tarif tol pun
dilarang naik, karena katanya konsumen bermobil yang gemar bersosmed itu
masih miskin.
Saya punya beberapa
contohnya. Seorang profesor riset bercerita begini. Suatu ketika dia tengah
melakukan riset di Papua. Kebetulan saat itu di sana sedang digelar ujian
nasional (UN).
Jadi dia tergelitik
untuk mencermati. Saya tahu dia tidak sedang bercerita secara persis namun
menyembunyikan beberapa detail. Tapi, ilustrasinya kurang lebih sama dan
tetap mengena.
UN itu untuk anak-anak
SD. Pertanyaannya pilihan ganda. Salah satunya, ini ilustrasi versi dia,
tentang apa itu definisi lokomotif. Lalu soal berikutnya tentang definisi
gerbong.
Bagi sebagian anak di
Jawa mungkin itu soal lumayan mudah. Tapi, bagi anak-anak Papua
yangseumur-umurbelumpernah melihat kereta, kata dia, mereka lumayan bingung.
Juga kalau kepada
anak-anak Papua ditanya apa itu jalan tol, mereka mungkin tak bisa menjawab.
Jangankan jalan tol, jalan beraspal halus saja mungkin belum pernah mereka
lewati.
Jika nilai UN
anak-anak Papua rendah (sehingga mereka tidak lulus), apakah kita bisa
menyebut mereka bodoh? Jelas tidak. Mungkin malah pembuat soalnya yang bodoh.
Dia setidak- tidaknya kurang memahami konteks. Soal ujian itu dibuat untuk
anak seluruh Indonesia, tetapi pembuatnya mereduksi hanya dengan kacamata
Jawa. Bahkan mungkin dengan kacamata Jakarta. Jadi, jelas si pembuat soal
gagal untuk memahami konteks.
Gagal Paham
Apa jadinya kalau kita
gagal memahami konteks? Kita bisa gagal melihat, gagal fokus, dan akhirnya
bisa gagal total. Kalau sudah begini akibatnya bisa sangat fatal. Lagi, saya
akan pakai ilustrasi.
Seorang pria paruh
baya bertanya kepada seorang gadis cantik yang berada di seberang meja.
“Mbak, kalau saya mau pakai semalam berapa harganya?”
Sang gadis menjawab,
“Lima ratus ribu rupiah.”
Apa yang ada di benak
Anda ketika mendengar tanya jawab semacam ini. Kalau pikiran Anda agak ngeres,
konteks yang terbangun mungkin itu adalah transaksi seksual.
Padahal percakapan
tadi adalah antara pria paruh baya yang tengah mencari kamar hotel. Hari
sudah malam. Ia sudah terlalu letih untuk melanjutkan perjalanan, sehingga
memilih untuk berhenti dan beristirahat di hotel.
Beda bukan!
Saya sedang suka
berilustrasi. Maka, saya sajikan lagi satu ilustrasi tentang orang tua yang
memahami konteks.
Orang tua yang sudah
paruh baya itu mempunyai seorang putri cantik. Usianya sudah layak untuk
dilamar. Lalu, datanglah tiga orang pelamar. Pelamar pertama bekerja sebagai
pengemudi Metromini. Pelamar kedua, petugas security (satpam). Pelamar ketiga
adalah seorang mahasiswa semester terakhir di Fakultas Ekonomi sebuah
universitas negeri yang ternama.
Siapa yang dia pilih?
Buat yang kurang memahami konteks dan jangkauan visinya hanya setahun atau
dua tahun ke depan, mungkin kalau tidak pilih pengemudi Metromini ya sang
satpam.
Sebab keduanya sudah
memiliki penghasilan. Sedang si mahasiswa belum punya penghasilan apa-apa.
Isi dompetnya cekak. Malam mingguan saja minta dibayarin ibu bapaknya.
Tapi, kalau Anda orang
tua yang bijak, memahami konteks dan punya jangkauan pandang yang jauh ke
depan, pilih mana? Mudah bukan.
Masa Lalu, Kini dan Mendatang
Bicara soal memahami
konteks, saya merasa, negara kita sedang menghadapi masalah yang serius.
Akibatnya banyak sekali urusan masa kini yang dilihat dengan konteks masa
lalu. Juga, banyak urusan masa depan yang dilihat dengan kacamata masa kini.
Akibatnya banyak hal yang tidak nyambung.
Anda tentu masih ingat
dengan fenomena maraknya GoJek, GrabBike atau Uber Taxi di Jakarta sepanjang tahun
2015. Banyak kontroversinya. Bahkan kemudian sempat dilarang. GoJek dianggap bukan
angkutan umum. Lalu, Uber Taxi tidak bisa disebut perusahaan taksi.
Gagasan larangan itu
berangkat dari UU Nomor 2 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(LLAJ). Di sini yang ingin saya tekankan adalah UU itu disahkan tahun 2009,
tetapi dibuat beberapa tahun sebelumnya.
Mungkin tujuh atau
delapan tahun silam. Padahal, isu GoJek, GrabBike atau ojek online lainnya,
dan Uber Taxi, muncul enam tahun sesudahnya. Enam tahun jelas bukan waktu
yang singkat.
Apalagi di dunia kita
yang begitu cepat berubah. Maka, upaya para pejabat untuk melarang dengan
memakai regulasi buatan enam tahun jelas tidak nyambung. Dia gagal memahami
konteks lahirnya ojek atau taksi online. Dia memakai konteks masa lalu untuk
melihat masa kini. Hasilnya, gagal total.
Buktinya ojek dan
taksi online tersebut hingga kini masih tetap beroperasi. Mengapa? Sederhana
saja, masyarakat membutuhkannya. Ada pasarnya. Apa jadinya kalau ketika itu
pemerintah terus memaksa? Masyarakat bakal mengutuk habis-habisan. Untung
presiden kita, Joko Widodo, bisa dengan cepat memahami konteks lahirnya ojek
dan taksi online. Ia paham kebutuhan masyarakatnya. UU-lah yang harus
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan segala kebutuhannya, bukan
sebaliknya.
Coba kalau ketika itu
kita bersikeras menerapkan UU tentang LLAJ. Ojek dan taksi online dilarang.
Dunia kita tentu berhenti berputar.
Kini, kita juga tengah
menyaksikan fenomena seperti ini untuk urusan kereta cepat Jakarta-Bandung
yang melibatkan banyak kaum intelektual.
Kita melihat dengan
konteks masa kini untuk peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang.
Ingat, kereta cepat
itu baru bakal beroperasi secepat-cepatnya pada tahun 2018 atau 2019. Bukan
2016! Tapi, kita memakai konteks 2016. Misalnya, harga tiket Rp200.000 yang
dianggap kemahalan.
Sekarang mungkin harga
tiketnya relatif terasa mahal, tapi dua tahun kemudian? Kalau memakai hitung-hitungan
sekarang, mungkin perkiraan jumlah penumpangnya dianggap terlalu optimistis.
Tapi, dua-tiga tahun kemudian segalanya bisa dengan cepat berubah.
Bandara kita yang
besar-besar sedang dibangun dan akan menjadi kenyataan, kereta dalam kota
baik di dalam Jakarta Raya maupun Bandung raya juga akan menjadi sebuah
kesatuan baru.
Turis asing yang kita
bidik pasti tak sekecil ini lagi. Bagi Anda yang sering menggunakan jalan tol
Jakarta-Cikampek, dan berlanjut ke tol Cipularang untuk menuju ke Bandung
atau tol Cipali ke arah Cirebon, tentu merasakan betul kian menjadi-jadinya
kemacetan di sepanjang ruas jalan tol Jakarta-Cikampek. Apalagi kalau long weekend. Kapan itu mulainya?
Sekitar setahun lalu,
sejak tol Cipali resmi beroperasi.
Masih ada lagi konteks
lainnya yang kelihatan dikaburkan sejumlah orang atau karena saking
semangatnya mengomentari, banyak di antara kita tak sempat baca bahan yang
utuh yang valid, sehingga kita marah-marah tak karuan. Bahkan sebagian orang
mengklaim telah melakukan survei, tetapi ditambahkan “survei kecil-kecilan”,
yang amat pragmatis dan amat mungkin hasilnya tidak valid.
Kita juga dipenggalkan
konteks terhadap sebuah informasi. Seperti tentang biaya kereta cepat yang
akan dibangun di Iran yang dikatakan jauh lebih murah. Kalau Anda baca lebih
detail, maka Anda akan tahu biaya itu belum termasuk biaya konstruksinya.
Jadi hanya upper structure-nya saja.
Dikatakan juga proyek
ini ada masalah dalam pembebasan tanah, padahal dibuat di atas jalan tol yang
minim pembebasan tanah. Ada lagi yang menuding ini melawan Nawacita. Padahal
tugas BUMN jelas-jelas dinyatakan undang-undang untuk mengejar keuntungan.
Untuk apa untungnya? Ya jelaslah untuk menjalankan Nawacita itu sendiri.
Kalau tidak, apa mau kita diminta bayar pajak yang lebih besar?
Mengapa semua info
penting itu dipenggal atau terpenggal? Jawabnya mungkin Anda sudah tahu: agar
kita terus berkelahi dan tak maju-maju. Hidup dalam ketakutan, dan makin
pragmatis.
Itulah dunia kita yang
begitu cepat berubah. Maka, jangan sampai kita gagal memahami konteks,
sehingga gagal melihat, gagal fokus dan akhirnya gagal total. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar