Menggugat Perguruan Tinggi
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 12 Maret
2016
Dua hari lalu, Kamis,
10 Maret 2016, dalam sidang Pimpinan Universitas dan Dewan Penyantun
Universitas Sebelas Maret (UNS) terjadi diskusi yang sangat serius mengenai
situasi berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, terutama menyangkut peran
perguruan tinggi.
Pertemuan yang
berlangsung di Solo tersebut sebenarnya merupakan pertemuan rutin tengah
tahunan, tetapi kali ini menjadi agak istimewa karena UNS memasuki dies
natalis-nya yang ke-40 atau lima windu. Tentang perkembangan dan kemajuan UNS
hampir tidak ada masalah. Semua yang hadir memberi apresiasi.
Universitas yang
didirikan pada 1976 dan dibanggakan sebagai warisan Orde Baru itu dinilai
sudah mengalami kemajuan yang sangat mengesankan. Posisinya sekarang sudah
berada di peringkat kesembilan, masuk ke dalam 11 perguruan terbaik dari
ribuan perguruan tinggi berdasar pemeringkatan versi Kemenristek Dikti di
Indonesia.
Selain itu UNS juga
menempati peringkat akreditasi terbaik ketiga setelah UGM dan IPB berdasar
penilaian Badan Akreditasi Nasional. Persoalan yang didiskusikan, jadinya,
memang tidak spesifik menyangkut UNS, melainkan lebih terkait dengan situasi
umum perguruan tinggi di Indonesia.
Kini ada kekhawatiran
tentang melemahnya nilainilai moral dan idealisme perjuangan perguruan tinggi
bagi masa depan Indonesia. Mantan Menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar,
misalnya, menyatakan kecemasannya karena perguruan tinggi saat ini lebih
asyik dengan diri sendiri sehingga seakan tak peduli lagi dengan problem
bangsa dan negaranya.
Padahal perguruan
tinggi seharusnya memiliki kepedulian yang mendalam terhadap masa depan
bangsa dan negaranya. Pada masa lalu sering diungkapkan, perguruan tinggi
tidak boleh menjadi menara gading, tetapi harus menjadi menara air, tidak
boleh elitis melainkan harus populis dan berpijak di bumi sendiri. Keadaan
perguruan tinggi kini cukup mengkhawatirkan karena mulai agak melenceng dari
nilai-nilai idealisme dan tugas sejarahnya.
Perguruan tinggi dalam
banyak hal hanya dijadikan simbol keterhormatan. Dengan ijazah perguruan
tinggi seseorang bisa menjadi lebih terhormat dan bisa menggunakan ijazah itu
untuk meraih kedudukan penting. Soal mutu kemudian menjadi tidak penting
karena yang dipentingkan adalah ijazah dan segala civil effect yang melekat padanya.
Dalam keadaan demikian,
di sana-sini banyak sekali yang mendaftar sebagai mahasiswa hanya karena
ingin mendapatkan ijazah, bukan ingin mencari ilmu. Berdasar pengalaman,
banyak peserta pendidikan pascasarjana, misalnya, membuat karya ilmiah dengan
cara plagiasi.
Kalau diberi tugas
untuk menulis makalah ilmiah misalnya, ada yang menjiplak dan mengganti
sampul suatu paper dengan identitas sendiri atas karya orang lain. Ada juga
yang paper-nya dibuatkan orang lain sehingga ketika diuji tidak paham atas
makalah yang dikumpulkan sebagai karyanya kepada dosen yang mengajarnya.
Tak sedikit juga yang
hanya membuat satu karya ilmiah tertentu, tetapi kemudian diperbanyak dan
masingmasing diberi sampul yang berbeda- beda untuk kemudian dikumpulkan guna
memenuhi tugas mata kuliah yang berbedabeda.
Perkembangan ini
sungguh mengkhawatirkan karena kalau ketidakjujuran ilmiah sudah dilakukan
sejak mahasiswa saat masih belajar di kampus, bukan tidak mungkin, bahkan
sangat mungkin, ketidakjujuran itu dilakukan lagi setelah mereka keluar dari
kampus.
Logika sederhana yang
bisa menjelaskan ini, jika seseorang berani membohongi diri sendiri dengan
memalsukan atau menukangi karya ilmiah dan melakukan pencurian (plagiasi)
atas karya orang lain, tentu akan dengan mudah dia menipu masyarakat,
termasuk melakukan korupsi dalam kehidupan bernegara dengan menggunakan
jabatannya.
Ironisnya, gejala
penyakit yang menimpa banyak perguruan tinggi sekarang ini sebenarnya bukan
hanya terjadi pada mahasiswa, melainkan juga banyak menimpa para dosen dan
pimpinan perguruan tinggi.
Guru besar Fakultas
Ekonomi UGM Gunawan Sumodiningrat yang juga menjadi anggota Dewan Penyantun
UNS, misalnya, menyatakan sekarang ini banyak dosen dan pengelola perguruan
tinggi yang bukan hanya tidak peka terhadap problem masyarakat, bangsa, dan
negara, melainkan juga abai terhadap tugasnya dalam mendidik mahasiswa.
Mereka banyak yang
bersikap pragmatis dan hedonis sehingga tidak peduli mau seperti apa kualitas
dan moralitas mahasiswanya kelak. Mereka tidak peduli dan tidak mau turut
meluruskan bangsa dan negara yang sekarang masyarakatnya sedang dilanda disorientasi.
Di tengah-tengah masyarakat sekarang ini juga sedang terjadi polarisasi
sehingga arah perjalanan politik banyak diganggu kegaduhan yang membuat kita
oleng dan perguruan tinggi tidak memedulikannya.
Di tengah-tengah
masyarakat terjadi saling tuding dan saling menyalahkan, bahkan banyak yang
menyalahkan babakan-babakan sejarah masa lalu. Yang satu menyalahkan Orde
Baru, yang lain menyalahkan Orde Reformasi, yang lain lagi menyalahkan Orde
Lama.
Kata Gunawan
Sumodiningrat, dunia akademik dan perguruan tinggilah yang harus
menyelesaikan problem-problem itu dengan membuat arus besar untuk mengajak
bangsa ini ”berdamai dengan sejarah”.
Perguruan tinggi harus
kembali ke khitahnya menjadi menara air yang menyejukkan dan menyuburkan
lingkungannya, menjadi menara api yang menerangi sekitarnya, meluruskan
perjalanan bangsa agar tak kehilangan orientasi. Perguruan tinggi tidak boleh
menjadi menara gading yang tampak indah jika dilihat, tetapi tidak memberi
manfaat kepada sekelilingnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar