MEA, Pengangguran dan Kemiskinan
Ali Khomsan ;
Guru Besar Fakultas Ekologi
Manusia dan Kaprodi S-3 Ilmu Gizi IPB
|
KORAN SINDO, 12 Maret
2016
Rontoknya beberapa
industri di awal tahun 2016 telah menjadi kenyataan. Ini terjadi di tengah
lesunya perekonomian kita, dan bisa pula karena produk industri tersebut
kalah bersaing dengan industri kompetitor.
Dideklarasikannya
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) apakah akan kita sikapi sebagai berkah ataukah
musibah? Kalau kita takut, sebenarnya negara-negara ASEAN lainnya juga sama
takutnya. Yang jelas negara yang berani mengambil peluang, niscaya akan
menganggap bahwa MEA merupakan peluang besar untuk memasarkan produk-produk
domestik di pasar global yang lebih luas yaitu ASEAN.
Negara yang dapat
memproduksi barang dengan efisien, harganya murah, dan kualitasnya baik dapat
dengan mudah melakukan penetrasi ke pasar ASEAN. Indonesia akan menjadi pasar
yang paling empuk karena daya beli rendah dan jumlah penduduknya banyak. Bila
produk-produk industri dalam negeri lalai menggarap pasar domestik, hal ini
dapat menjadi bumerang.
Konsumen Indonesia
akan semakin termanjakan dengan produk luar negeri, sehingga demand produk
dalam negeri kolaps yang dapat memicu PHK bagi tenaga kerja Indonesia.
Kekuatan perdagangan domestik kita menghadapi ujian berat. Jangan-jangan MEA
akan menambah kisruh upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan.
Bukankah ancaman
pemutusan hubungan kerja (PHK) di dunia industri akan menyebabkan tingginya
pengangguran yang kemudian akan menambah jumlah orang miskin? Pengangguran di
Indonesia tidak hanya dihadapi oleh kaum terdidik tingkat menengah, yakni
lulusan SMA ke bawah, namun juga lulusan sarjana. Banyak sarjana baru yang
harus menunggu lebih dari satu tahun sebelum mendapatkan pekerjaan.
Mereka yang telah
mendapat pekerjaan tidak secara otomatis bebas dari kemiskinan. Ada yang
bekerja dengan curahan waktu yang kurang sehingga penghasilannya juga
minimal, dan ada pula yang bekerja dengan upah tidak layak meski curahan
waktunya sudah maksimal.
Inti dari pemecahan
masalah kemiskinan adalah tersedianya lapangan kerja. Dan, hal ini dapat
diwujudkan apabila sektor industri berjalan lancar. Pada tahun 2009, tingkat
kemiskinan nasional 14,5%. Saat ini jumlah orang miskin adalah 28 juta orang
atau sekitar 11% dari total penduduk. Ada penurunan, tapi PR untuk
mengentaskan kemiskinan masih cukup besar menghadang di depan mata.
Program-program bantuan
untuk orang miskin yang selama ini ada harus lebih ditingkatkan kinerjanya
seperti raskin, Bidikmisi (beasiswa bagi mahasiswa miskin), asuransi jaminan
kesehatan, dan lain-lain. Ketersediaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab
berbagai sektor.
Sektor perindustrian
dan perdagangan akan menjadi pilar penting untuk menggerakkan ekonomi
masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan pada setiap keluarga-keluarga
di Indonesia. Disadari bahwa sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan
untuk meningkatkan kesejahteraan. Populasi petani kita lebih banyak
didominasi oleh petani gurem dengan pemilikan lahan sangat sempit.
Persentase terbesar
penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/ provinsi adalah mereka yang
bekerja di sektor pertanian. Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian,
mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer
pengangguran. Di masyarakat, mata pencarian sebagai petani kadang digunakan
sebagai perlindungan dari status pengangguran.
Daripada disebut
penganggur, lebih baik bekerja di pertanian. Hal tersebut turut menjelaskan
laporan dalam World Development Report
2003, yakni bahwa penduduk desa yang tinggal di area fragile (dan umumnya
bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.
MEA semakin membuka
peluang membanjirnya produk-produk dari ASEAN seperti mainan anak-anak,
garmen, dan mungkin produk hortikultura. Selama ini konsumen Indonesia sudah
menikmati beragam buah-buahan impor yang dari segi penampilan lebih menarik,
dan dari segi harga lebih murah.
Ketidakmampuan
petani-petani Indonesia menghasilkan produk pertanian bermutu menyebabkan
rendahnya daya saing menghadapi produk pertanian ASEAN. Telah banyak
dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan
petani. Salah satu di antaranya adalah kesulitan pembiayaan usaha tani dan
kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan
hasil panen.
Banyak petani terjebak
sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga
pertanian dengan harga rendah. Para petani kini semakin tidak memiliki
bargaining position lagi. Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas
petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah.
Seperti keterbatasan
sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya
sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan
berbagai masalah lainnya.
Deklarasi Copenhagen
yang dirumuskan dalam UN World Summit on Social Development menjelaskan,
fenomena kemiskinan sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak
hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap
pendidikan, fasilitas kesehatan, air bersih dan informasi.
Kemiskinan di
Indonesia mungkin merupakan kombinasi beragam kemiskinan yakni kemiskinan
subsistens yang dicirikan oleh rendahnya daya beli, waktu kerja panjang,
lingkungan tempat tinggal yang buruk, dan sulit mendapatkan air bersih.
Selain itu masyarakat juga mengalami kemiskinan kultural yaitu keengganan
untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.
Mereka yang mengalami
kemiskinan kultural mungkin sudah pasrah dan menerima keadaan apa adanya.
Kemiskinan kultural menimbulkan mental suka meminta. Membahas soal kemiskinan
tidak bisa terlepas dari standar kebutuhan hidup minimum/layak, yang
merupakan garis pembatas untuk membedakan orang miskin dan tidak miskin.
Mencermati garis
kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 yaitu Rp345.000
per kapita per bulan (USD0,85 per hari), maka garis kemiskinan tersebut lebih
rendah dari pada yang ditetapkan oleh Bank Dunia USD1 atau USD2 per kapita
per hari. Apabila kita menggunakan garis kemiskinan versi Bank Dunia niscaya
jumlah orang miskin akan jauh di atas 28 juta orang.
Lari dari kemiskinan
tampaknya kian menjadi sulit. Industri yang collapse akan menimbulkan efek domino yakni pengangguran yang
selanjutnya mengunci masyarakat dalam kemiskinan material. Sangat penting
untuk saat ini, pemerintah dan pengusaha bahu membahu mengantisipasi gelombang
serbuan produk negara-negara ASEAN.
Jangan dilupakan bahwa
pasar konsumen domestik adalah sangat besar. Oleh sebab itu jangan sampai
pasar domestik ini hanya menjadi kaplingnya produk-produk dari mancanegara.
Produsen dalam negeri bisa tetap berkiprah memuaskan demand konsumen dalam
negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar