Minggu, 13 Maret 2016

MEA, Pengangguran dan Kemiskinan

MEA, Pengangguran dan Kemiskinan

Ali Khomsan ;   Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia dan Kaprodi S-3 Ilmu Gizi IPB
                                                  KORAN SINDO, 12 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rontoknya beberapa industri di awal tahun 2016 telah menjadi kenyataan. Ini terjadi di tengah lesunya perekonomian kita, dan bisa pula karena produk industri tersebut kalah bersaing dengan industri kompetitor.

Dideklarasikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) apakah akan kita sikapi sebagai berkah ataukah musibah? Kalau kita takut, sebenarnya negara-negara ASEAN lainnya juga sama takutnya. Yang jelas negara yang berani mengambil peluang, niscaya akan menganggap bahwa MEA merupakan peluang besar untuk memasarkan produk-produk domestik di pasar global yang lebih luas yaitu ASEAN.

Negara yang dapat memproduksi barang dengan efisien, harganya murah, dan kualitasnya baik dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke pasar ASEAN. Indonesia akan menjadi pasar yang paling empuk karena daya beli rendah dan jumlah penduduknya banyak. Bila produk-produk industri dalam negeri lalai menggarap pasar domestik, hal ini dapat menjadi bumerang.

Konsumen Indonesia akan semakin termanjakan dengan produk luar negeri, sehingga demand produk dalam negeri kolaps yang dapat memicu PHK bagi tenaga kerja Indonesia. Kekuatan perdagangan domestik kita menghadapi ujian berat. Jangan-jangan MEA akan menambah kisruh upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan.

Bukankah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di dunia industri akan menyebabkan tingginya pengangguran yang kemudian akan menambah jumlah orang miskin? Pengangguran di Indonesia tidak hanya dihadapi oleh kaum terdidik tingkat menengah, yakni lulusan SMA ke bawah, namun juga lulusan sarjana. Banyak sarjana baru yang harus menunggu lebih dari satu tahun sebelum mendapatkan pekerjaan.

Mereka yang telah mendapat pekerjaan tidak secara otomatis bebas dari kemiskinan. Ada yang bekerja dengan curahan waktu yang kurang sehingga penghasilannya juga minimal, dan ada pula yang bekerja dengan upah tidak layak meski curahan waktunya sudah maksimal.

Inti dari pemecahan masalah kemiskinan adalah tersedianya lapangan kerja. Dan, hal ini dapat diwujudkan apabila sektor industri berjalan lancar. Pada tahun 2009, tingkat kemiskinan nasional 14,5%. Saat ini jumlah orang miskin adalah 28 juta orang atau sekitar 11% dari total penduduk. Ada penurunan, tapi PR untuk mengentaskan kemiskinan masih cukup besar menghadang di depan mata.

Program-program bantuan untuk orang miskin yang selama ini ada harus lebih ditingkatkan kinerjanya seperti raskin, Bidikmisi (beasiswa bagi mahasiswa miskin), asuransi jaminan kesehatan, dan lain-lain. Ketersediaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab berbagai sektor.

Sektor perindustrian dan perdagangan akan menjadi pilar penting untuk menggerakkan ekonomi masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan pada setiap keluarga-keluarga di Indonesia. Disadari bahwa sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan. Populasi petani kita lebih banyak didominasi oleh petani gurem dengan pemilikan lahan sangat sempit.

Persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/ provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencarian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran.

Daripada disebut penganggur, lebih baik bekerja di pertanian. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World Development Report 2003, yakni bahwa penduduk desa yang tinggal di area fragile (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.

MEA semakin membuka peluang membanjirnya produk-produk dari ASEAN seperti mainan anak-anak, garmen, dan mungkin produk hortikultura. Selama ini konsumen Indonesia sudah menikmati beragam buah-buahan impor yang dari segi penampilan lebih menarik, dan dari segi harga lebih murah.

Ketidakmampuan petani-petani Indonesia menghasilkan produk pertanian bermutu menyebabkan rendahnya daya saing menghadapi produk pertanian ASEAN. Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu di antaranya adalah kesulitan pembiayaan usaha tani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen.

Banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah. Para petani kini semakin tidak memiliki bargaining position lagi. Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah.

Seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya.

Deklarasi Copenhagen yang dirumuskan dalam UN World Summit on Social Development menjelaskan, fenomena kemiskinan sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, air bersih dan informasi.

Kemiskinan di Indonesia mungkin merupakan kombinasi beragam kemiskinan yakni kemiskinan subsistens yang dicirikan oleh rendahnya daya beli, waktu kerja panjang, lingkungan tempat tinggal yang buruk, dan sulit mendapatkan air bersih. Selain itu masyarakat juga mengalami kemiskinan kultural yaitu keengganan untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.

Mereka yang mengalami kemiskinan kultural mungkin sudah pasrah dan menerima keadaan apa adanya. Kemiskinan kultural menimbulkan mental suka meminta. Membahas soal kemiskinan tidak bisa terlepas dari standar kebutuhan hidup minimum/layak, yang merupakan garis pembatas untuk membedakan orang miskin dan tidak miskin.

Mencermati garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 yaitu Rp345.000 per kapita per bulan (USD0,85 per hari), maka garis kemiskinan tersebut lebih rendah dari pada yang ditetapkan oleh Bank Dunia USD1 atau USD2 per kapita per hari. Apabila kita menggunakan garis kemiskinan versi Bank Dunia niscaya jumlah orang miskin akan jauh di atas 28 juta orang.

Lari dari kemiskinan tampaknya kian menjadi sulit. Industri yang collapse akan menimbulkan efek domino yakni pengangguran yang selanjutnya mengunci masyarakat dalam kemiskinan material. Sangat penting untuk saat ini, pemerintah dan pengusaha bahu membahu mengantisipasi gelombang serbuan produk negara-negara ASEAN.

Jangan dilupakan bahwa pasar konsumen domestik adalah sangat besar. Oleh sebab itu jangan sampai pasar domestik ini hanya menjadi kaplingnya produk-produk dari mancanegara. Produsen dalam negeri bisa tetap berkiprah memuaskan demand konsumen dalam negeri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar