Anti Versus Pro-LBGT di Medsos
Brahmanto Anindito ;
Alumni S-1 Ilmu Komunikasi
Unair; Pengguna Facebook
|
REPUBLIKA, 03 Maret
2016
Unggahan menyoal
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) mendadak menghilang di
Facebook. Pada saat bersamaan beberapa artis Tanah Air terjerat kasus asusila
terhadap sesama jenis. Amerika Serikat juga telah melegalkan pernikahan
sejenis pada 26 Juni 2015. Tak heran, banyak kalangan semakin khawatir. Tren
dunia sedang melazimkan fenomena LGBT.
Bersama brand besar
lainnya di dunia teknologi informasi (seperti Google, Apple), Facebook memang
terang-terangan menegaskan dukungan terhadap kebebasan berekspresi LGBT.
Media sosial terbesar di dunia ini bahkan sempat memopulerkan aplikasi
pelangi (simbol aneka orientasi seksual) dan tagar #LoveWins. Facebook pun
tak segan membabat unggahan dan melenyapkan akun aktivis anti-LGBT. Novelis
Tere Liye adalah salah satu korbannya.
Dalam standar
komunitasnya, Facebook sejak awal memang menyatakan akan menghapus unggahan
yang mengandung kebencian terhadap ras, suku, asal kebangsaan, keyakinan
beragama, orientasi seksual. Maka, kalau mau jernih memandang, media sosial
besutan Mark Zuckerberg ini bukannya memihak LGBT semata, melainkan juga
semua pihak. Facebook siap menindak siapa pun yang ditengarai
"menyerang" pihak lain melalui status (teks), foto, maupun video.
Meskipun, dalam
pantauan penulis, unggahan yang menghina agama atau Nabi Muhammad banyak juga
yang tetap dibiarkan. Dalih Zuckerberg soal ini kurang lebih, "Dalam
iklim kebebasan berpendapat, kami tidak ingin ada golongan tertentu yang
mendikte apa yang seharusnya di-posting dan apa yang seharusnya tidak."
Standar ganda? Mungkin saja.
Yang jelas, berkaitan
dengan raibnya postingan yang menyindir LGBT, tentu itu bukan karena program
canggih Facebook yang otomatis mendeteksi dan menghapus setiap kali kata
"LGBT" diunggah seseorang. Unggahan itu lenyap lantaran ada yang
melaporkannya. Jadi, tak peduli kata itu diubah jadi "eljibiti",
"lagi bete", "lima golf bravo tango",
"penyimpangan", atau lainnya, tetap saja akan bermasalah jika
pendukung LGBT memergoki dan menganggapnya tidak menguntungkan bagi
kampanyenya.
Mereka yang pro-LGBT
sengaja membuat grup-grup tertutup di Facebook. Salah satunya, bernama
"Hak-hak untuk LGBTIQ Indonesia" yang anggotanya sudah ribuan.
Begitu seorang anggota menemukan unggahan miring seputar LGBT, entah itu dari
teman Facebook atau dari pencariannya terhadap kata tertentu, dia akan
menginfokannya ke grup. Anggota lain bisa berduyun-duyun melaporkan ke
Facebook.
Mendapat puluhan atau
ratusan laporan, Facebook tidak ada pilihan selain menghapusnya secara
sepihak. Pada tingkatan tertentu penghapusan itu disertai pula ancaman
pemblokiran atau penutupan akun si pengunggah.
Pro-LGBT bekerja kompak
dalam senyap. Sehingga, pola "serangan" ini mustahil dibalikkan. Di
Facebook, pro-LGBT tidak memperlihatkan gelagat terorisme, kriminal,
kekerasan, eksploitasi seksual, prostitusi, dan sebagainya.
Pihak pro-LGBT juga
tidak mengunggah hal-hal berbau kebencian, serangan terhadap tokoh tertentu,
atau ancaman yang dapat mengganggu keamanan publik maupun pribadi. Padahal,
itulah alasan-alasan Facebook mengeliminasi sebuah unggahan.
Mengapa Facebook tidak
mempertimbangkan aspek sosio-kultural Indonesia tentang LGBT? Apakah karena
Facebook dari Amerika, sehingga menggunakan patokan liberal? Tidak juga.
Pada akhirnya,
Facebook adalah bisnis multinasional yang harus menghargai nilai-nilai
setempat. Dalam melihat "ketelanjangan" saja, standar komunitas
Facebook menyatakan, "Kami membatasi tampilan ketelanjangan karena
beberapa pemirsa dalam komunitas global kami mungkin sensitif terhadap jenis
konten ini--khususnya karena latar belakang budaya atau usia." Artinya,
sebenarnya Facebook juga bisa diajak mempertimbangkan ulang kebijakannya,
mengingat di Indonesia pendukung LGBT sedikit sekali.
Lembaga riset
internasional Pew Research Center
pernah menyurvei sikap warga di 39 negara terhadap homoseksualitas.
Penelitian yang dilakukan terhadap 37.653 responden itu menyatakan,
penerimaan homoseksualitas di Indonesia hanya tiga persen pada 2007. Angka
tersebut tak berubah pada 2013.
Mayoritas orang
Indonesia memang tidak menerima orientasi kaum LGBT, saat ini. Antara lain,
karena semua agama melarangnya. Indonesia memang bukan negara agama. Namun,
sila pertama dari Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri negara sudah
cukup menjelaskan bahwa Indonesia didirikan berdasarkan nilai-nilai
Ketuhanan.
Jika Facebook belum
melihat itu, tidak demikian halnya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Baru-baru ini, KPI mengeluarkan larangan televisi dan radio mengampanyekan
LGBT.
Alasannya, hal itu
melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI tahun
2012. KPI meminta media elektronik tidak lagi memberikan ruang yang dapat
menjadikan perilaku LGBT dipandang pemirsa atau pendengar sebagai hal yang
lumrah.
Perang wacana di
Facebook dimenangkan oleh pro-LGBT. Sementara, perang di udara dimenangkan
oleh anti-LGBT. Satu pihak dimudahkan untuk mengeklik report ke otoritas
Facebook, pihak lainnya dimudahkan melapor ke situs web KPI.
Di luar itu, sekali
lagi, Facebook adalah bisnis. Dan, sebuah bisnis perlu mengambil hati
konsumennya. Dalam hal ini, warga Indonesia pengguna Facebook yang jumlahnya
69 juta (menurut the Wall Street Journal, 2014) dan mayoritas tak setuju
paham LGBT diumbar bebas ke publik. Kalau mau, seharusnya pemerintah bisa
membicarakan persoalan ini bahwa tidak semestinya suara-suara anti-LGBT
dibungkam di era kebebasan berpendapat seperti ini.
Bukankah Presiden
Jokowi sudah saling mengenal baik dengan Mark Zuckerberg setelah saling
mengunjungi? Harusnya, semua dikembalikan ke nilai-nilai luhur Pancasila.
Hormati sila pertama,
ketuhanan. Namun, jangan lupakan sila kedua, kemanusiaan. Juga, sila kelima,
keadilan sosial. Dan, tentu saja, sila ketiga, persatuan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar