Selasa, 08 Maret 2016

Mark Twain

Mark Twain

Trias Kuncahyono ;   Penulis Kolom “KREDENSIAL’ Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 06 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mark Twain. Nama lengkapnya adalah Samuel Langhorne Clemens. Dialah petualang kondang yang menulis novel klasik Amerika, The Adventures of Tom Sawyer. Dia juga dikenal sebagai penulis buku Adventures of Huckleberry Finn.

Samuel Langhorne Clemens lahir 30 November 1835 (meninggal tahun 1910), di Florida, Missouri, AS. Selain dikenal sebagai petualang, Mark Twain juga dicatat orang sebagai wartawan juga wirausaha dan penemu.
Kehebatan Mark Twain sebagai penulis diakui oleh Ernest Hemingway (1899-1961)—pemenang Hadiah Nobel Sastra (1954) dan salah satu novelis terbesar AS abad ke-20. Karyanya, antara lain, A Farewell to Arms dan The Old Man and the Sea yang memperoleh Pulitzer. ”Seluruh kesusteraan modern Amerika berasal dari buku yang ditulis Mark Twain, Huckleberry Finn,” komentar Hemingway.

Perjalanannya ke Lebanon, Suriah, dan Tanah Suci pada tahun 1867, ditulis dan diterbitkan sebagai buku dengan judul The Innocent Abroad. Buku ini menjadi best seller, laris manis, dan menahbiskan Mark Twain sebagai penulis besar Amerika. Gambarannya yang hidup, iklonoklastik, satiris, dan sering kali menyedihkan tentang Tanah Suci merupakan kesaksian historis penting.

Ia menggambarkan Palestina sebagai, ”...sebuah negeri terpencil, sepi yang tanahnya cukup subur, tetapi seluruhnya ditumbuhi rumput-rumput liar... suatu tempat yang sangat memilukan... tandus... kami tidak pernah melihat manusia di sepanjang perjalanan... di mana-mana hampir tidak ada pohon atau semak-belukar. Malahan pohon zaitun dan kaktus, yang sangat akrab dengan tanah seperti itu pun, hampir meninggalkan negeri itu”. Gambaran deskriptif ini ditulisnya dalam The Innocents Abroad.

Kunjungan Mark Twain ke Palestina—menyeberangi Samudra Atlantik dengan menggunakan kapal uap Quaker City, dengan rombongan berjumlah sekitar 150 orang—merupakan bagian dari obsesi baru orang-orang Barat terhadap Palestina. Ribuan orang melakukan perjalanan ke Palestina pada abad ke-19. Hal itu terjadi karena iklim politik yang lebih liberal yang dikembangkan Kekhalifahan Ottoman waktu itu. Sehingga membuka peluang orang untuk mengunjungi, untuk berziarah ke Tanah Suci. Kebanyakan orang masuk Palestina melalui Pelabuhan Jaffa.

Namun, yang terpenting adalah pengakuan Mark Twain bahwa Palestina adalah negeri kecil yang memiliki sejarah besar. Apabila ditarik jauh ke belakang—katakanlah sampai 3.000 tahun silam—banyak peristiwa besar.
Salah satu bab dalam buku Anton La Guardia yang berjudul War Without End, Israelis, Palestinians, and the Struggle for a Promised Land, diberi judul ”Sebuah Negeri Kecil dengan Sejarah Besar”. Sama dengan kesaksian Mark Twain. Memang, La Guardia mengutip kesaksian Mark Twain.

Palestina memang luar biasa. Negeri itu memiliki sejarah panjang yang syarat makna. Coba berapa banyak nabi yang dilahirkan di negeri itu? Abraham (Ibrahim)—Bapak Orang Beriman—pun meninggalkan tanah leluhurnya di Ur Kasdim, Mesopotamia (Irak Selatan di zaman kini) dan pergi ke tanah yang kemudian hari disebut Palestina, tanah yang penuh dengan susu dan madu. Itulah sebabnya, Tanah Palestina, terutama Jerusalem, adalah sangat penting bagi tiga agama abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Berapa banyak peperangan yang terjadi di negeri itu? Peperangan yang mengubah sejarah umat manusia. Peperangan yang hingga kini pun sulit dilupakan. Misalnya, Perang Salib, yang menyisakan noda-noda hitam—meski terus berusaha untuk dihapus—dalam hubungan antarumat beragama.

Kalau ditarik ke belakang, terbentang cerita panjang yang menunjukkan tingginya nilai strategis—menjadi perlintasan jalan dari Kairo ke Damaskus (Suriah), Beirut (Lebanon), dan Baghdad (Irak). Jalan ini yang disebut sebagaiVia Maris, jalan laut—Tanah Palestina sehingga selalu diperebutkan. Lewat jalan ini pula para migran bergerak.

Pada abad pertama setelah kelahiran Kristus, Tanah Palestina dihuni orang-orang Yunani, Mesir, Phoenesia (keturunan orang Filistin), Bedouin, dan Yahudi. Tanah ini diberi nama Palestina setelah Romawi menumpas pemberontakan Yahudi pada tahun 132, sebagai ejekan terhadap orang-orang Yahudi.

Perebutan sudah mulai terjadi, katakanlah sejak zaman Kekaisaran Persia dan era Aleksander Agung (550 SM-330 SM), bahkan pada zaman sebelumnya; lalu masuk zaman Emperium Romanum (Kekaisaran Romawi); lahirnya Kristianitas; era penaklukan oleh Arab Islam; lalu pada zaman para kalifah—Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah—Mamluk; kemudian era Ottoman. Bahkan sampai Napoleon Bonaparte pun tertarik masuk ke Tanah Palestina (1798-1801).

Tanah yang berlumuran darah itu, yang telah melewati inkarnasi religius setelah kaum pagan Romawi menyingkirkan kekuasaan Maccabe, di kemudian hari dikenal sebagai Tanah Suci, bagi umat Yahudi, Kristen, dan Muslim. Namun, di Tanah Suci itu, selama bertahun-tahun, sejak awal abad ke-20, telah terjadi peperangan tidak suci (meminjam istilah yang digunakan Anton La Guardia dalam buku Holy Land, Unholy War, Israelis and Palestinians, 2001).

Rangkaian peristiwa, yang terjadi di Tanah Palestina, membenarkan apa yang dikatakan Mark Twain bahwa Palestina negeri kecil yang memiliki sejarah besar. Namun, negeri kecil itulah yang sejak abad lalu menjadi pusara konflik dunia.

Maka orang bertanya, mengapa tanah para nabi yang agung justru masih terus berdarah-darah? Apakah Tanah Palestina dikutuk sehingga hanya menghasilkan kebencian, perang, dan balas dendam? Di mana cinta kasih, saling menghormati sesama manusia, persahabatan, dan persaudaraan yang dahulu kala diteriakkan oleh para nabi?

Ketika hari ini dimulai KTT Luar Biasa OKI di Jakarta, kita seperti melihat Mark Twain berjalan melintasi tanah gersang di Palestina; tanah yang tidak lagi mengalirkan susu dan madu, yang penduduknya setiap hari bisa meminum air berkelimpahan dari hujan yang turun dari surga, melainkan seperti di lembah kekelaman yang dipenuhi ratap tangis dan kertak gigi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar