Mark Twain
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom “KREDENSIAL’
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 06 Maret
2016
Mark Twain. Nama lengkapnya adalah Samuel
Langhorne Clemens. Dialah petualang kondang yang menulis novel klasik
Amerika, The Adventures of Tom Sawyer.
Dia juga dikenal sebagai penulis buku Adventures
of Huckleberry Finn.
Samuel Langhorne Clemens lahir 30 November
1835 (meninggal tahun 1910), di Florida, Missouri, AS. Selain dikenal sebagai
petualang, Mark Twain juga dicatat orang sebagai wartawan juga wirausaha dan
penemu.
Kehebatan Mark Twain sebagai penulis diakui
oleh Ernest Hemingway (1899-1961)—pemenang Hadiah Nobel Sastra (1954) dan
salah satu novelis terbesar AS abad ke-20. Karyanya, antara lain, A Farewell to Arms dan The Old Man and the Sea yang
memperoleh Pulitzer. ”Seluruh kesusteraan modern Amerika berasal dari buku
yang ditulis Mark Twain, Huckleberry Finn,” komentar Hemingway.
Perjalanannya ke Lebanon, Suriah, dan Tanah
Suci pada tahun 1867, ditulis dan diterbitkan sebagai buku dengan judul The Innocent Abroad. Buku ini menjadi
best seller, laris manis, dan menahbiskan Mark Twain sebagai penulis besar
Amerika. Gambarannya yang hidup, iklonoklastik, satiris, dan sering kali
menyedihkan tentang Tanah Suci merupakan kesaksian historis penting.
Ia menggambarkan Palestina sebagai, ”...sebuah negeri terpencil, sepi yang
tanahnya cukup subur, tetapi seluruhnya ditumbuhi rumput-rumput liar... suatu
tempat yang sangat memilukan... tandus... kami tidak pernah melihat manusia
di sepanjang perjalanan... di mana-mana hampir tidak ada pohon atau
semak-belukar. Malahan pohon zaitun dan kaktus, yang sangat akrab dengan
tanah seperti itu pun, hampir meninggalkan negeri itu”. Gambaran
deskriptif ini ditulisnya dalam The
Innocents Abroad.
Kunjungan Mark Twain ke Palestina—menyeberangi
Samudra Atlantik dengan menggunakan kapal uap Quaker City, dengan rombongan
berjumlah sekitar 150 orang—merupakan bagian dari obsesi baru orang-orang
Barat terhadap Palestina. Ribuan orang melakukan perjalanan ke Palestina pada
abad ke-19. Hal itu terjadi karena iklim politik yang lebih liberal yang
dikembangkan Kekhalifahan Ottoman waktu itu. Sehingga membuka peluang orang
untuk mengunjungi, untuk berziarah ke Tanah Suci. Kebanyakan orang masuk
Palestina melalui Pelabuhan Jaffa.
Namun, yang terpenting adalah pengakuan Mark
Twain bahwa Palestina adalah negeri kecil yang memiliki sejarah besar.
Apabila ditarik jauh ke belakang—katakanlah sampai 3.000 tahun silam—banyak
peristiwa besar.
Salah satu bab dalam buku Anton La Guardia
yang berjudul War Without End,
Israelis, Palestinians, and the Struggle for a Promised Land, diberi
judul ”Sebuah Negeri Kecil dengan Sejarah Besar”. Sama dengan kesaksian Mark
Twain. Memang, La Guardia mengutip kesaksian Mark Twain.
Palestina memang luar biasa. Negeri itu
memiliki sejarah panjang yang syarat makna. Coba berapa banyak nabi yang
dilahirkan di negeri itu? Abraham (Ibrahim)—Bapak Orang Beriman—pun
meninggalkan tanah leluhurnya di Ur Kasdim, Mesopotamia (Irak Selatan di
zaman kini) dan pergi ke tanah yang kemudian hari disebut Palestina, tanah
yang penuh dengan susu dan madu. Itulah sebabnya, Tanah Palestina, terutama
Jerusalem, adalah sangat penting bagi tiga agama abrahamik: Yahudi, Kristen,
dan Islam.
Berapa banyak peperangan yang terjadi di
negeri itu? Peperangan yang mengubah sejarah umat manusia. Peperangan yang
hingga kini pun sulit dilupakan. Misalnya, Perang Salib, yang menyisakan noda-noda
hitam—meski terus berusaha untuk dihapus—dalam hubungan antarumat beragama.
Kalau ditarik ke belakang, terbentang cerita
panjang yang menunjukkan tingginya nilai strategis—menjadi perlintasan jalan
dari Kairo ke Damaskus (Suriah), Beirut (Lebanon), dan Baghdad (Irak). Jalan
ini yang disebut sebagaiVia Maris, jalan laut—Tanah Palestina sehingga selalu
diperebutkan. Lewat jalan ini pula para migran bergerak.
Pada abad pertama setelah kelahiran Kristus,
Tanah Palestina dihuni orang-orang Yunani, Mesir, Phoenesia (keturunan orang
Filistin), Bedouin, dan Yahudi. Tanah ini diberi nama Palestina setelah
Romawi menumpas pemberontakan Yahudi pada tahun 132, sebagai ejekan terhadap
orang-orang Yahudi.
Perebutan sudah mulai terjadi, katakanlah
sejak zaman Kekaisaran Persia dan era Aleksander Agung (550 SM-330 SM),
bahkan pada zaman sebelumnya; lalu masuk zaman Emperium Romanum (Kekaisaran
Romawi); lahirnya Kristianitas; era penaklukan oleh Arab Islam; lalu pada
zaman para kalifah—Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah—Mamluk;
kemudian era Ottoman. Bahkan sampai Napoleon Bonaparte pun tertarik masuk ke
Tanah Palestina (1798-1801).
Tanah yang berlumuran darah itu, yang telah
melewati inkarnasi religius setelah kaum pagan Romawi menyingkirkan kekuasaan
Maccabe, di kemudian hari dikenal sebagai Tanah Suci, bagi umat Yahudi,
Kristen, dan Muslim. Namun, di Tanah Suci itu, selama bertahun-tahun, sejak
awal abad ke-20, telah terjadi peperangan tidak suci (meminjam istilah yang
digunakan Anton La Guardia dalam buku Holy
Land, Unholy War, Israelis and Palestinians, 2001).
Rangkaian peristiwa, yang terjadi di Tanah
Palestina, membenarkan apa yang dikatakan Mark Twain bahwa Palestina negeri
kecil yang memiliki sejarah besar. Namun, negeri kecil itulah yang sejak abad
lalu menjadi pusara konflik dunia.
Maka orang bertanya, mengapa tanah para nabi
yang agung justru masih terus berdarah-darah? Apakah Tanah Palestina dikutuk
sehingga hanya menghasilkan kebencian, perang, dan balas dendam? Di mana
cinta kasih, saling menghormati sesama manusia, persahabatan, dan
persaudaraan yang dahulu kala diteriakkan oleh para nabi?
Ketika hari ini dimulai KTT Luar Biasa OKI di
Jakarta, kita seperti melihat Mark Twain berjalan melintasi tanah gersang di
Palestina; tanah yang tidak lagi mengalirkan susu dan madu, yang penduduknya
setiap hari bisa meminum air berkelimpahan dari hujan yang turun dari surga,
melainkan seperti di lembah kekelaman yang dipenuhi ratap tangis dan kertak
gigi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar