Takhayul Tubuh
Bre Redana ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 06 Maret
2016
Sensor tubuh yang
marak sekarang mencerminkan pemikiran penuh takhayul termasuk takhayul tubuh.
Tubuh, gejala paling jujur, paling empiris dari diri, disikapi dengan
sejumlah pengingkaran. Implikasinya sudah dengan nyata terlihat, ceto welo-welo orang Jawa bilang, kita
mulai teralienasi dari kebudayaan kita sendiri. Di bandara, beberapa waktu
lalu, saya ketemu teman fotografer yang katanya baru dari Jawa Tengah untuk
berburu dan coba mengabadikan peristiwa-peristiwa pengantin berpakaian
tradisional Jawa.
”Sulit sekali menemukan pengantin wanita yang rambutnya dipaes,” katanya. Paes adalah
riasan di atas dahi pengantin wanita, simbol kecantikan tradisional wanita
Jawa. ”Bagian itu sekarang ditutup.
Rambut tak lagi kelihatan. Kalau tidak diabadikan sekarang, nanti kita tidak
akan mengenal lagi paes,” lanjutnya.
Begitu pula busana
yang disebut basahan atau dodot berupa kemben panjang dan lebar dari batik.
Seluruh tata rias dan busana berikut pernak-perniknya menyimbolkan berbagai
hal, termasuk basahan yang konon simbol rasa berserah kepada Yang Maha Kuasa.
Ketika kemudian semua
kena sensor, ketika tubuh diingkari, segala upaya mencari kesejatian menjadi
tidak relevan. Dalam jejak kebudayaan yang terkubur karena semua diburamkan,
termasuk kartun binatang di televisi (segawon,
komentar teman di Yogya sopan), ikut terkubur sejumlah memori.
Padahal, di tengah
genangan realitas virtual di mana yang nyata dan tak nyata tidak lagi mudah
dibedakan, empirisme tubuh inilah yang sangat tidak mudah dimanipulasi dilusi
dunia digital. Tubuh hadir dan merasakan. Pengalaman tubuh berbeda dengan
pengalaman sekadar mendengar, yang dari situ otak mengembara ke mana-mana,
berempati secara keliru, memuja secara membabi-buta, atau membenci tanpa
sebab-musabab jelas. Persis relasi dalam media sosial sekarang.
Sekitar 20 tahun lalu,
hal-hal semacam hiperrealitas, simulakra, realitas gadungan, dianggap
kenes-kenesan wacana post-modernisme. Kini, disadari atau tidak, kita hidup
di tengah kenyataan gadungan, atau menurut istilah Baudrillard, kenyataan
yang tak lagi memiliki asal-usul. Dalam dunia media, perhatian terhadap
proses, refleksi, dan kontemplasi ditengarai menghambat laju percepatan
bisnis. Tidak sesuai dengan zaman yang bergegas. Siapa yang mempertahankan
akurasi tradisi literer media cetak dianggap kuno, ndeso, tidak mampu
beradaptasi dengan perubahan.
Otak manusia sekarang
banyak yang tidak seimbang karena terlalu banyak memproses
informasi-informasi tak berkejuntrungan, yang berasal dari katanya katanya.
Mengira semua yang digerojokkan media online dan media sosial benar belaka.
Ironi teknologi,
kemajuan terutama teknologi informasi yang diandaikan mampu memandirikan dan
membuat individu kian otonom, malah membuat masyarakat kian konservatif. Tak
boleh seseorang berbeda sedikit saja dari suara mayoritas. Anda bisa lihat
sendiri sekarang: adakah kritik di bidang seni sastra, sinema, drama, dan
lain-lain? Semua mati. Yang ada cuma proses masturbasi. Rezim moral mendesak
kriteria lain, seperti sejarah, filsafat, estetika, kebudayaan, paham
kebangsaan, dan lain sebagainya.
Jadi ingat puluhan
tahun lalu di kota kecil kami terdapat bioskop Rex yang memasang poster dan
foto-foto dari film yang sedang atau hendak main. Banyak adegan pemeran
berpakaian minim bahkan telanjang. Toh rasanya orang-orang seangkatan kami
tidak lalu tumbuh menjadi manusia yang rusak-rusak amat.
Moral telah menjadi
takhayul baru sekaligus penggada baru untuk menakut-nakuti, menggerebek, men-sweeping, dan menistakan
kelompok-kelompok kecil yang berusaha mempertahankan nalar sehat, memori
otak, memori tubuh.
Kalau Anda paham dunia
kanuragan, bukan hanya otak yang menyimpan memori, melainkan juga tubuh.
Upacara pengantin tradisional bisa diabadikan dalam foto, tetapi kalau yang
terdistorsi memori otak, memori tubuh?
Ah, kecantikan
termasuk seginya yang transendental itu, di mana nanti kami mencarimu... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar