Waktu
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom “PARODI’ Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 06 Maret
2016
“Apa kabar? Sudah lama
enggak jumpa. Sehat, kan?” Demikian kira-kira pesan yang saya terima dari
seorang dokter di suatu Selasa pagi yang berhujan. Awalnya saya berpikir ia
akan memberi tahu satu berita penting yang mungkin akan membuat saya
deg-degan. Ternyata, pak dokter, demikian saya memanggilnya, hanya ingin
menanyakan keadaan saya saja.
Egois dan basa-basi
Tetapi, selang
beberapa menit, suara nurani saya bersuara. Kapan kamu terakhir menanyakan
kabar pak dokter? Suara yang datang dari nurani itu acap kali membuat jantung
tak hanya deg-degan, tetapi juga nyaris lepas.
Saya tak pernah
menyediakan waktu khusus hanya untuk menanyakan kabar ataupun keadaan si pak
dokter. Biasanya, saya hanya menyematkan kalimat apa kabar sebagai kalimat
pembuka sebelum saya menanyakan nasihatnya tentang penyakit yang sedang saya
alami. Sebuah kalimat penuh basa-basi.
Setelah saya
mendapatkan apa yang saya inginkan, maka ada kalimat penutup sebagai sebuah
ungkapan terima kasih. Itu pun sebuah ungkapan basa-basi. Jadi, saya memulai
dengan basa-basi dan mengakhiri dengan basa-basi. Saya ini pada dasarnya
egois dan suka basa-basi.
Pada 25 Desember lalu,
ketika orang merayakan hari Natal bersama yang dicintai, saya berada dalam
kesendirian di rumah. Tak ada acara ataupun kegiatan yang saya lakukan.
Kira-kira pukul 9 pagi, seorang teman yang tak merayakan Natal mengirimkan
pesan. ”Mas, yuk, aku ajak kamu makan siang sama pacarku. Kamu enggak ke
mana-mana, kan?”
Kebaikan hati teman
saya dan pacarnya itu sudah lama saya lupakan, sampai pada suatu pagi
berhujan itu, saya diingatkan kembali tentang kebaikan mereka di tengah
kegulanaan saya pada hari Natal. Jadi, pada Selasa pagi berhujan itu, saya
diteriaki oleh nurani dua kali untuk dua kasus. Anda bisa membayangkan bukan,
kalau teriaknya sudah sumbang dan keras pula.
Gara-gara teriakan
keras dan sumbang itu, saya bermaksud mengajukan pertanyaan kepada Anda
sekalian. Saya mohon maaf sekiranya dua pertanyaan berikut ini terdengar
sumbang. Pertama. Kapan terakhir Anda meluangkan waktu khusus, hanya untuk
menanyakan kabar seseorang atau beberapa orang yang jarang Anda jumpai atau
malah sama sekali tak pernah dijumpai?
Kedua. Kalau Anda
pernah melakukan aktivitas kebaikan itu, apakah Anda melakukannya seperti
saya, hanya membutuhkan sesuatu dari mereka yang jarang atau tak pernah
berniat Anda jumpai? Apakah Anda melakukan sebuah kebaikan yang penuh
basa-basi?
Dua menit saja
Buat saya, salah satu
yang paling berharga di dunia itu adalah memiliki waktu. Karena merasa
berharga, maka saya menghabiskannya nyaris untuk diri sendiri. Sayakeblinger
dengan yang berharga itu, kemudian menjadi tidak peka pada kebutuhan orang
lain karena asyik memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Salah satu sahabat
saya tinggal di ”Pulau Dewata”. Di tengah kesibukannya sebagai seorang public
relations, ia menyediakan waktu di akhir pekan untuk belajar bahasa isyarat
karena ia bermaksud membantu mereka yang tunarungu. Selain itu, ia juga
menyediakan waktu sebagai seorang relawan dan bertindak sebagai fasilitator
untuk menolong proses kesembuhan bagi korban pelanggaran hak asasi di daerah
konflik.
Pada Selasa pagi
berhujan itu, setelah dinyanyikan lagu sumbang yang kencang dan menyetrum,
saya jadi berpikir. Kebaikan yang ditunjukkan mereka bukan dalam bentuk
menanyakan apa kabar, mengajak makan siang, atau menjadi sukarelawan buat
yang tak mendengar dan yang dizalimi.
Kebaikan mereka buat
saya ada dalam bentuk menyisihkan waktu untuk orang lain yang bukan teman,
yang bukan keluarga, dan yang bukan darah daging sendiri, di tengah sejuta
kerepotan hidup yang juga mereka alami.
Waktu yang berharga
itu tidak dihabiskan untuk mencari kekayaan tiada henti, bergosip, berjudi,
berselingkuh, eksis di sosial media, jalan-jalan ke mal dari pagi hingga
petang, dan menghabiskan waktu mencari cara untuk menjatuhkan orang.
Mereka mendepositokan
waktu untuk kebahagiaan orang lain. Karena sejujurnya di hari saya merasa
kesepian yang sangat, ajakan untuk makan siang di hari Natal itu seperti
sebuah pelipur lara.
Bayangkan, kalau saja
saya ini bisa menyediakan waktu dua menit saja, satu minggu dua kali saja,
untuk dua orang saja, maka Anda bisa menolong saya untuk menghitung, berapa kali
dalam setahun saya bisa membuat orang lain tidak lara, tidak merasa kesepian,
merasa dihargai, bisa curhat dan bisa naik kelas?
Bukankah saya juga
merasa bersukacita dan dihargai ketika ada yang menyisihkan waktu yang
berharga dalam bentuk mengirim pesan sesederhana apa kabar, misalnya? Nah,
kalau demikian adanya, bukankah dapat dibayangkan orang lain mengalami
perasaan yang sama kalau saya mau menyisihkan waktu untuk mereka?
Menyisihkan waktu
untuk orang lain itu sebuah pembelajaran bahwa kebahagiaan itu ternyata bisa
diwujudkan karena memberi dan bukan semata-mata karena menyimpan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar