Aku Duluan
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 05 Maret
2016
Saya punya kebiasaan
jalan-jalan santai, keliling kompleks tempat tinggal saya, juga ke
kompleks-kompleks perumahan sekitar. Sering pula ke kampung-kampung asli di
dekat kompleks. Biasanya saya mulai berjalan pada pukul 05.00 pagi setelah
subuh dan kembali ke rumah sejam kemudian. Masih gelap memang, tetapi masih
sepi dan udara masih segar betul.
Nah, pada suatu pagi,
ketika saya berjalan-jalan santai itu, saya hendak menyeberangi jalan
lingkungan yang masih sepi menuju pulang. Ketika tinggal beberapa langkah
lagi mencapai seberang, ada sebuah sepeda motor yang mau lewat, tetapi dia
hendak memaksakan lewat di depan saya, padahal di belakang saya jalan terbuka
luas untuk dilewati. Baru setelah jelas dia tidak bisa masuk di depan saya,
dia mengambil jalan di belakang saya.
Saya heran, beda
waktunya antara dia lewat di depan saya atau di belakang saya adalah nol
detik, alias tidak ada sama sekali, tetapi kok dia memaksa? Maka saya pikir,
mungkin buat pengendara motor itu ”yang penting aku duluan!”
Peristiwa kedua saya
alami ketika saya baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Dari terminal
kedatangan ke tempat kendaraan penjemput, ada jalan yang cukup luas, untuk
para penumpang menyeberang. Tempat penyeberangan itu dibuat sangat aman: ada zebra cross, lampu lalu lintas dan
satpam yang berjaga.
Pada waktu itu saya
sedang menyeberang, kebetulan sendirian, karena masih pagi, belum banyak
penumpang. Saya berada di zebra cross,
lampu lalu lintas sedang hijau untuk saya (pejalan kaki) dan satpam juga
sudah mengacungkan tangan untuk memberhentikan kendaraan. Ada satu taksi yang
saya lihat akan lewat, namun saya terus saja berjalan karena saya harapkan
taksi itu akan berhenti untuk memberi jalan.
Nyatanya taksi itu
memaksa lewat dan memilih lewat di depan saya, bukan di belakang saya. Saya
terkejut dan secara refleks saya hantam taksi itu dengan tas yang kebetulan
saya pegang. Kena kap mesinnya dengan suara keras. Saya pun sudah siap-siap
jika sopirnya turun, jadi saya sudah pasang kuda-kuda (buat lari, bukan buat
mengajak kungfu), tetapi nyatanya taksi itu lanjut terus, seakan-akan tidak
terjadi apa-apa.
Kembali saya heran,
kok dia memaksa ya? Maka saya pikir pokoknya buat sopir taksi itu, ”yang
penting aku duluan!”
Dalam psikologi, ”yang
penting aku duluan!” adalah perwujudan egoisme. Yaitu pandangan bahwa aku
adalah sentral (pusat) segalanya, yang paling utama dan semua harus dilihat
dari kepentinganku. Saya yakin bahwa para pembaca pun sering mengalami
peristiwa seperti saya.
Karena itulah orang
Indonesia segan mengantre, senang menyerobot jalan, melawan arus, bergaya
katak dalam meniti karier (tendang ke bawah, sikut ke samping, sembah ke atas
untuk mencapai kenaikan pangkat), dsb. Karena itu, cukup sering kita dengar
berita betapa mudahnya orang cabut pistol dan menembak kepala orang hanya
karena saling salip di jalanan. Buat mereka ”yang penting aku duluan!”.
Beda sekali dengan
suasana di ruang kuliah atau ceramah. Rata-rata mahasiswa atau audiens tidak
mau langsung mengisi saf terdepan walaupun tidak ada tamu VIP yang akan
datang. Sesudah saya panggil-panggil dan saya imbau-imbau, barulah beberapa
mahasiswa atau audiens menggeser beberapa baris ke depan, itu pun dengan
enggan.
Padahal dalam agama
(Islam) diajari kalau mau salat berjamaah penuhi dulu saf paling depan untuk
mempermudah yang hadir belakangan. Ajaran yang baik ini dalam praktik
sehari-hari juga tidak dilaksanakan dengan baik. Lihat saja betapa banyaknya
jamaah Jumat yang tidak masuk ke dalam masjid (apalagi mengisi saf terdepan),
dan lebih memilih mengobrol di pinggir-pinggir masjid walaupun khotbah sudah
mulai.
Contoh lain lagi bisa
diajukan. Ketika tiba saat makan pada suatu acara para tamu dipersilakan
mengambil makanan yang digelar secara prasmanan. Biasanya para tamu tidak
langsung berdiri untuk mengambil makanan, melainkan saling menunggu, yang
lainnya mulai duluan.
Nanti, kalau sudah ada
yang mulai, yang lain pun menyerbu mengambil makanan dan yang tadi menolak
untuk duluan sudah mengambil di barisan paling depan dan mengambil paling
banyak, tanpa memikirkan nasib tamu-tamu lain yang sama-sama kelaparan.
Kembali saya heran, mengapa orang sudah lapar kok masih menolak untuk
mengambil makanan? Atau menolak untuk duduk di depan pada acara kuliah atau
ceramah, atau bahkan waktu Jumatan di masjid?
Kalau buat orang-orang
yang saya ceritakan di atas tadi ”yang penting aku duluan!”, buat tipe yang
belakangan ini ”yang penting kamu duluan!”
Dalam psikologi,
kecenderungan untuk mendahulukan orang lain, kalau perlu tanpa memedulikan
kesehatan atau keselamatan diri sendiri, dinamakan ”altruisme”.
Altruisme dan egoisme
sebetulnya saling bertolak belakang. Tetapi orang Indonesia punya dua-duanya.
Kadang dia egois, tetapi kadang dia altruis. Bagaimana mungkin?
Ketidakmungkinan itu
bisa terjawab jika kita mau sedikit mendalami gejala ini. Apa yang
menyebabkan mahasiswa atau audiens tidak mau duduk di depan atau mengambil
makan duluan? Motivasinya sebenarnya
bukan untuk menolong atau mendahulukan orang lain, melainkan takut dikenali,
atau ditanya-tanya oleh dosen, oleh panitia atau oleh senior atau oleh siapa
saja dan tidak bisa menjawab, kan malu?
Buat yang malas
mengisi saf depan di masjid, motivasinya pun bukan untuk memberi ruang ke
jamaah lain, melainkan agar nanti bisa cepat pulang duluan. Jadi tetap saja
”yang penting aku duluan!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar