Selasa, 08 Maret 2016

Aku Duluan

Aku Duluan

Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya punya kebiasaan jalan-jalan santai, keliling kompleks tempat tinggal saya, juga ke kompleks-kompleks perumahan sekitar. Sering pula ke kampung-kampung asli di dekat kompleks. Biasanya saya mulai berjalan pada pukul 05.00 pagi setelah subuh dan kembali ke rumah sejam kemudian. Masih gelap memang, tetapi masih sepi dan udara masih segar betul.

Nah, pada suatu pagi, ketika saya berjalan-jalan santai itu, saya hendak menyeberangi jalan lingkungan yang masih sepi menuju pulang. Ketika tinggal beberapa langkah lagi mencapai seberang, ada sebuah sepeda motor yang mau lewat, tetapi dia hendak memaksakan lewat di depan saya, padahal di belakang saya jalan terbuka luas untuk dilewati. Baru setelah jelas dia tidak bisa masuk di depan saya, dia mengambil jalan di belakang saya.

Saya heran, beda waktunya antara dia lewat di depan saya atau di belakang saya adalah nol detik, alias tidak ada sama sekali, tetapi kok dia memaksa? Maka saya pikir, mungkin buat pengendara motor itu ”yang penting aku duluan!”

Peristiwa kedua saya alami ketika saya baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Dari terminal kedatangan ke tempat kendaraan penjemput, ada jalan yang cukup luas, untuk para penumpang menyeberang. Tempat penyeberangan itu dibuat sangat aman: ada zebra cross, lampu lalu lintas dan satpam yang berjaga.

Pada waktu itu saya sedang menyeberang, kebetulan sendirian, karena masih pagi, belum banyak penumpang. Saya berada di zebra cross, lampu lalu lintas sedang hijau untuk saya (pejalan kaki) dan satpam juga sudah mengacungkan tangan untuk memberhentikan kendaraan. Ada satu taksi yang saya lihat akan lewat, namun saya terus saja berjalan karena saya harapkan taksi itu akan berhenti untuk memberi jalan.

Nyatanya taksi itu memaksa lewat dan memilih lewat di depan saya, bukan di belakang saya. Saya terkejut dan secara refleks saya hantam taksi itu dengan tas yang kebetulan saya pegang. Kena kap mesinnya dengan suara keras. Saya pun sudah siap-siap jika sopirnya turun, jadi saya sudah pasang kuda-kuda (buat lari, bukan buat mengajak kungfu), tetapi nyatanya taksi itu lanjut terus, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Kembali saya heran, kok dia memaksa ya? Maka saya pikir pokoknya buat sopir taksi itu, ”yang penting aku duluan!”

Dalam psikologi, ”yang penting aku duluan!” adalah perwujudan egoisme. Yaitu pandangan bahwa aku adalah sentral (pusat) segalanya, yang paling utama dan semua harus dilihat dari kepentinganku. Saya yakin bahwa para pembaca pun sering mengalami peristiwa seperti saya.

Karena itulah orang Indonesia segan mengantre, senang menyerobot jalan, melawan arus, bergaya katak dalam meniti karier (tendang ke bawah, sikut ke samping, sembah ke atas untuk mencapai kenaikan pangkat), dsb. Karena itu, cukup sering kita dengar berita betapa mudahnya orang cabut pistol dan menembak kepala orang hanya karena saling salip di jalanan. Buat mereka ”yang penting aku duluan!”.  

Beda sekali dengan suasana di ruang kuliah atau ceramah. Rata-rata mahasiswa atau audiens tidak mau langsung mengisi saf terdepan walaupun tidak ada tamu VIP yang akan datang. Sesudah saya panggil-panggil dan saya imbau-imbau, barulah beberapa mahasiswa atau audiens menggeser beberapa baris ke depan, itu pun dengan enggan.

Padahal dalam agama (Islam) diajari kalau mau salat berjamaah penuhi dulu saf paling depan untuk mempermudah yang hadir belakangan. Ajaran yang baik ini dalam praktik sehari-hari juga tidak dilaksanakan dengan baik. Lihat saja betapa banyaknya jamaah Jumat yang tidak masuk ke dalam masjid (apalagi mengisi saf terdepan), dan lebih memilih mengobrol di pinggir-pinggir masjid walaupun khotbah sudah mulai.

Contoh lain lagi bisa diajukan. Ketika tiba saat makan pada suatu acara para tamu dipersilakan mengambil makanan yang digelar secara prasmanan. Biasanya para tamu tidak langsung berdiri untuk mengambil makanan, melainkan saling menunggu, yang lainnya mulai duluan.

Nanti, kalau sudah ada yang mulai, yang lain pun menyerbu mengambil makanan dan yang tadi menolak untuk duluan sudah mengambil di barisan paling depan dan mengambil paling banyak, tanpa memikirkan nasib tamu-tamu lain yang sama-sama kelaparan. Kembali saya heran, mengapa orang sudah lapar kok masih menolak untuk mengambil makanan? Atau menolak untuk duduk di depan pada acara kuliah atau ceramah, atau bahkan waktu Jumatan di masjid?

Kalau buat orang-orang yang saya ceritakan di atas tadi ”yang penting aku duluan!”, buat tipe yang belakangan ini ”yang penting kamu duluan!”
Dalam psikologi, kecenderungan untuk mendahulukan orang lain, kalau perlu tanpa memedulikan kesehatan atau keselamatan diri sendiri, dinamakan ”altruisme”.

Altruisme dan egoisme sebetulnya saling bertolak belakang. Tetapi orang Indonesia punya dua-duanya. Kadang dia egois, tetapi kadang dia altruis. Bagaimana mungkin?

Ketidakmungkinan itu bisa terjawab jika kita mau sedikit mendalami gejala ini. Apa yang menyebabkan mahasiswa atau audiens tidak mau duduk di depan atau mengambil makan duluan?  Motivasinya sebenarnya bukan untuk menolong atau mendahulukan orang lain, melainkan takut dikenali, atau ditanya-tanya oleh dosen, oleh panitia atau oleh senior atau oleh siapa saja dan tidak bisa menjawab, kan malu?

Buat yang malas mengisi saf depan di masjid, motivasinya pun bukan untuk memberi ruang ke jamaah lain, melainkan agar nanti bisa cepat pulang duluan. Jadi tetap saja ”yang penting aku duluan!” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar