Palestina dan KTT Luar Biasa OKI
Smith Alhadar ;
Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for
Democracy Education (IDE)
|
MEDIA INDONESIA,
05 Maret 2016
PADA 6 Maret 2016
besok berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) di Jakarta. KTT yang akan diikuti 56 negara anggota OKI ini
merupakan respons terhadap situasi mutakhir di Palestina.
Sebagaimana diketahui,
sejak awal Oktober silam, meletus Intifada III di Jerusalem yang dipicu
kunjungan para pemuda ekstremis Yahudi ke Masjidil Aqsa untuk beribadah.
Khawatir kunjungan itu akan diikuti kunjungan-kunjungan berikutnya. Yang
belakangan ini semakin intensif dilakukan warga Yahudi, yang dapat berujung
pada perobohan Masjid Al-Aqsa untuk kepentingan pembangunan kembali kuil
Yahudi di atas puing-puing masjid tersuci ketiga setelah Masjidil Haram di
Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah itu, warga Palestina pun bereaksi dengan
menyerang warga Yahudi di mana pun mereka ditemukan. Akibatnya, kekerasan
meluas ke seluruh wilayah Palestina, bahkan sampai ke wilayah Israel. Sejak
itu, 28 warga Yahudi tewas ditusuk dengan pisau oleh warga Palestina dan 180
warga Palestina tewas ditembak mati pemukim Yahudi di Tepi Barat dan tentara
Israel.
Masalah Masjid Al-Aqsa
hanyalah puncak gunung es. Masalah lain yang membuat warga Palestina
frustrasi ialah mandeknya proses perdamaian sejak April 2014. Sementara itu,
kenyataan di Palestina sangat menyedihkan. Pada 1947, Liga Bangsa-Bangsa
membagi wilayah Palestina menjadi dua, yakni 53% untuk Israel dan 47% untuk
Palestina. Kini wilayah Palestina tinggal 20%.
Berbagai kebijakan
Israel sejak merdeka pada 1948, mulai dari teror, pengusiran, perampasan
tanah, hingga membangun pemukiman Yahudi di Tepi Barat, membuat tanah untuk
Palestina semakin mengecil. Ironisnya, hal itu diintensifkan justru setelah
Kesepakatan Oslo ditandatangani (1993). Sebuah kesepakatan yang akan
menyerahkan tanah Palestina secara bertahap selama lima tahun melalui
perundingan.
Kenyataan lain yang
membuat Palestina kian frustrasi ialah pertama, Jerusalem Timur yang ingin
dijadikan ibu kota Palestina telah dibangun Israel sedemikian rupa sehingga
tidak mungkin lagi tempat bercokol Masjid Al-Aqsa itu dinegosiasikan sesuai
dengan Kesepakatan Oslo.
Pada 1999, mantan Wali
Kota Yerusalem, Teddy Kolek, mengungkapkan pemerintahannya punya target
rahasia untuk membatasi populasi Palestina pada angka 28,8%. Inilah inti
kebijakan pemerintah kota dan pusat. Alasan mengapa target ini penting ialah
supaya tidak ada yang dapat menggugat kepemilikan Israel atas Jerusalem di
masa datang.
Kedua, Tepi Barat saat
ini berubah menjadi serangkaian kantong-kantong wilayah yang membingungkan
tanpa memiliki daerah teritorial yang menyatu. Kekhawatiran awal Palestina
telah jadi kenyataan. Kebijakan memecah belah daerah ini membuat pembangunan
sebuah negara Palestina menjadi hal yang mustahil.
Hampir semua pengamat
melihatnya sebagai sebuah bentuk baru apartheid. Sejak menjadi PM Israel pada
1995, Benjamin Netanyahu membangun sebuah matriks jalanan bebas hambatan di
Tepi Barat yang menghindari desa-desa dan menghubungkan antarpermukiman
Yahudi. Jalan-jalan ini memotong tanah orang Palestina, selanjutnya memecah
masyarakat dan mencegah pertumbuhan desa-desa Palestina. Alih-alih menawarkan
perdamaian, konsekuensi Kesepakatan Oslo yang terus terjadi ini ialah hal
tragis bagi warga Palestina.
Kemudian, pada 2 Maret
lalu, Netanyahu mengungkapkan keinginannya untuk mengusir warga Palestina
dari Jalur Gaza. Mereka dituduh menjadi bagian dari serangan terhadap warga
dan aparat Israel. Ia telah meminta Jaksa Agung untuk melakukan kajian yang
memungkinkannya melakukan pengusiran tersebut. Kalau hal ini kemudian
dilaksanakan, tentu situasi di Palestina semakin genting.
Tujuan lain dari KTT
Luar Biasa OKI ini adalah sebagai salah satu batu pijakan untuk mendorong
lagi pembicaraan damai untuk Palestina. Selama ini proses pembicaraan damai
terkait dengan isu Palestina yang dimotori Uni Eropa, Amerika Serikat, Rusia,
dan PBB telah terhenti. Melalui KTT Luar Biasa ini, Indonesia dan
negara-negara anggota OKI ingin pembicaraan damai tersebut kembali
dilanjutkan. Sejak proses pembicaraan damai macet pada April 2014, isu
Palestina tenggelam oleh konflik di Irak, Suriah, dan Yaman.
KTT Luar Biasa OKI
tidak berhenti di Jakarta. OKI juga akan membawa isu Palestina ke berbagai
forum, termasuk untuk dibicarakan kembali di PBB. Indonesia ingin menempatkan
kembali isu Palestina menjadi salah satu isu penting yang harus dibicarakan.
Pertengahan bulan ini Indonesia akan membangun konsulat kehormatan di
Ramalah, Palestina, dengan tujuan memudahkan komunikasi dengan Israel demi
mewujudkan negara Palestina merdeka melalui jalan damai sebab peran Indonesia
dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina tidak akan maksimal tanpa adanya
kontak dengan Israel.
Upaya OKI dan
Indonesia ini belakangan memunculkan permintaan dari Palestina untuk
mengangkat perundingan damai dalam forum konferensi internasional. Diharapkan
hal itu menghasilkan solusi seperti pada isu nuklir Iran yang disepakati pada
Juli tahun lalu. Proposal forum konferensi internasional itu tengah disiapkan
Prancis untuk mewujudkan solusi dua negara. Beberapa waktu lalu, Prancis
menyatakan sekiranya Israel menolak proposalnya, ia akan mengakui kemerdekaan
Palestina. Tentu ini akan menekan Israel. Dengan demikian, hasil KTT Luar
Biasa OKI dan proposal Prancis diharapkan dapat menggerakkan lagi proses
perdamaian Israel-Palestina. Selamat ber-KTT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar