Akhir Sejarah
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom “KREDENSIAL”
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 13 Maret
2016
Pada tahun 1992,
Francis Fukuyama—lahir di Chicago pada tahun 1952, generasi ketiga
Jepang-Amerika, yang berayah seorang sosiolog agama, Yoshio—menerbitkan buku The End of History and the Last Man.
Gagasan Fukuyama bahwa sejarah telah berakhir, dalam pengertian bahwa dunia
telah mencapai suatu titik di mana demokrasi liberal telah membuktikan
dirinya sendiri sebagai satu-satunya bentuk organisasi politik yang dapat
tetap hidup terus, tampaknya dapat dipercaya (Tom Butler-Bowdon: 2015).
Apalagi, Tembok Berlin
yang menjadi simbol pemisahan dunia diruntuhkan (dimulai 13 Juni 1990 hingga
1992) dan Blok Komunis ambruk. Runtuhnya blok ini ditandai dengan bubarnya
Uni Soviet, akhir Desember 1991. Beberapa hari kemudian para wakil dari 11
republik Soviet—Ukraina, Federasi Rusia, Belarusia, Armenia, Azerbaijan,
Kazakhstan, Kirgistan, Moldova, Turkmenistan, Tajikistan, dan
Uzbekistan—bertemu di Alma-Ata, sebuah kota di Kazakhstan. Mereka mengumumkan
tidak lagi menjadi bagian dari Uni Soviet. Tiga republik Soviet di wilayah
Baltik—Latvia, Lituania, dan Estonia—sudah lebih dahulu memerdekakan diri
dari Uni Soviet. Satu negara yang masih bertahan: Georgia.
Tetapi, pendapat
Fukuyama itu menjadi olok-olok ketika Irak di bawah Saddam Hussein menginvasi
Kuwait (Agustus 1990). Fukuyama menanggapi olok-olokan itu dengan menjelaskan
arti istilah ”sejarah”. Dalam penjelasannya ia mengatakan tidak pernah
menyatakan kejadian-kejadian besar tidak akan terjadi lagi, hanya sejarah
sebagai ”sebuah proses evolusioner, tunggal, dan bertalian secara logis”,
seperti pendapat Hegel dan Marx, telah mencapai titik akhirnya.
Apa pun penjelasannya,
dunia menyaksikan berakhirnya Uni Soviet yang pada suatu masa pernah menjadi
kekuatan besar, adikuasa. Akhir tahun 1991 menjadi titik berakhirnya sejarah
Uni Soviet (Negara sosialis Soviet didirikan pada tahun 1917, setelah
revolusi Bolshevik, dengan menyingkirkan pemerintahan tsar. Pada tahun 1922
berdiri Uni Republik Sosialis Soviet). Uni Soviet hancur setelah serangkaian
reformasi—glasnost dan perestroika—yang dilakukan oleh
Mikhail Gorbachev. Melihat hasilnya, Gorbachev juga kecewa dan mengundurkan
diri pada 25 Desember 1991.
Dunia kini juga sedang
menyaksikan ”akhir sejarah”. Sejarah Timur Tengah—salah satu palungan
peradaban manusia—yang dilanda peperangan dan belum menunjukkan titik akhir.
Suriah masih bergolak, demikian pula Yaman, Irak, dan Libya. Perang, konflik
bersenjata, pembantaian tidak hanya terjadi di Timur Tengah, tetapi juga di
Afrika. Sejarah memang sudah berakhir bagi ratusan ribu orang yang menjadi
korban perang, yang menjadi korban keganasan manusia lain di negara-negara
itu.
Tidak hanya kelompok
Negara Islam di Irak dan Suriah, tetapi juga Boko Haram di Nigeria yang telah
mengakhiri ”sejarah hidup” banyak orang. PBB mengungkapkan, Boko Haram
membunuh lebih dari 20.000 orang dan menyebabkan lebih dari 2,5 juta orang
mengungsi dan menderita kelaparan.
NIIS dan Boko Haram
serta banyak kelompok ”anak-anak kegelapan” telah melemparkan banyak orang ke
”akhir sejarah”. Perbuatan mereka, dalam istilah Paus Fransiskus, adalah
perbuatan Iblis. Komentar itu disampaikan setelah NIIS membunuh sejumlah
orang lanjut usia dan empat biarawati di Yaman, awal bulan ini. Orang yang
sehat dan waras akal budinya tidak mungkin membunuh orang-orang tak berdosa,
orang-orang tua yang tak berdaya. Hanya Iblis-lah yang melakukan kejahatan
seperti itu.
Mengapa Iblis?
Gregorius Agung mengatakan, Certe
iniquorum omnium caput diabolus est; et hujus capitis membra sunt omnes
iniqui (Iblis adalah kepala segala yang jahat, dan segala sesuatu yang
jahat adalah anggota-anggotanya). Dialah yang membawa ”kegelapan” di muka
bumi. Iblis tidak bergerak sendiri dalam aksinya. Manusia dipakai sebagai
instrumennya. Mereka itu—yang tidak peduli pada manusia lain, yang menginjak-injak
nilai-nilai kemanusiaan, yang membunuh orang-orang tidak berdosa, yang tidak
toleran pada orang lain, yang mencari kebahagiaan di atas penderitaan orang
lain, yang memburu kekuasaan dengan segala cara demi pemuasan nafsu kuasa—ada
di sekitar kita.
Mereka itulah yang
melemparkan dunia ke ”akhir sejarah” dunia yang beradab. Apakah setelah
”akhir sejarah” di negara-negara itu akan terbit ”fajar budi dan fajar baru”
di mana manusia menjadi ”anak-anak terang”? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar