Pembantu-Pembantu Presiden
Irmanputra Sidin ;
Pendiri Sidin Contitution-Law
Office
|
MEDIA INDONESIA,
04 Maret 2016
WAKIL Presiden Jusuf
Kalla memberikan isyarat bahwa kegaduhan di Kabinet Kerja bermula dari
tindakan seorang menteri koordinator di luar kewenangannya. Sang menko
tersebut tanpa persetujuan Presiden dan DPR mengubah nomenklatur
kementeriannya. Perubahan itu menyalahi keppres nomenklatur kementerian.
Berita tentang kegaduhan para pembantu Presiden memang menimbulkan perenungan
tersendiri. Tidak serta merta menganalisis masalah ini untuk kemudian
mengambil kesimpulan dari sisi manajerial politik Jokowi-JK karena itu bukan
bidang saya . Yang utama tentunya adalah menggunakan konstitusi sebagai pisau
bedah sistem ketatanegaraan kita. Seperti diketahui bahwa sistem
ketatanegaraan kita menyiapkan ratusan hingga jutaaan organ-organ negara
hingga daerah sebagai pembantu Presiden.
Namun yang disiapkan
langsung oleh UUD 1945 hanya dua organ negara yaitu wakil Presiden (pasal 4
ayat (2) UUD 1945) dan Menteri-menteri Negara (pasal 17 UUD 1945). Kedua
organ negara pembantu Presiden ini memiliki model pengisian jabatan yang
berbeda. Untuk wakil presiden , pengisian jabatannya melalui pemilu-dipilih
langsung oleh rakyat sebagai bagian satu paket pasangan calon Presiden/Wakil
Presiden. Untuk menteri-menteri negara pengisian jabatannya berdasarkan hak
prerogatif Presiden. Dimana Presiden diberikan keleluasaan penuh tanpa campur
tangan kekuatan kelompok kepentingan apapun untuk memilih dan mengangkat
menteri-menteri negara baik secara objektif maupun subyektif.
Namun tentunya tetap
dalam koridor syarat personal yang diatur dalam UU Kementerian Negara.
Pemberhentian para menteri negara juga merupakan hak prerogatif Presiden.
Sedangkan wakil Presiden untuk pemberhentiannya bukan hak prerogatif Presiden
namun pemberhentian wakil presiden bisa diawali dengan penggunaan kewenangan
penilaian Presiden terhadap wakil Presiden untuk kemudian bisa diproses
melalui DPR dan MPR. Sebagai pembantu-pembantu Presiden tentunya tunduk dan
mengikuti irama politik pemerintahan Presiden, namun lebih dari itu harus
jauh lebih patuh kepada UUD 1945 dan segala peraturan perundang-undangan
selurus-lurusnya.
Memang jikalau melihat
kegaduhan yang timbul dalam pemerintahan Jokowi, nampaknya hal ini sudah
menjadi kegaduhan sempurna. Diantara para menteri-menteri secara horisontal
bahkan vertikal dengan wakil presiden sudah saling kritik. Pertanyaan
besarnya bahwa apakah ini merugikan kepentingan politik bagi yang berkuasa?
Jawabannya mungkin iya. Namun jikalau kemudian pertanyaannya apakah ini
merugikan kepentingan konstitusi atau kepentingan rakyat, nampaknya tidak
otomatis. Yang pasti bahwa jikalau ingin dipersempit analisisnya, maka
kegaduhan ini menimbulkan dua hipotesa . Hipotesa pertama bahwa, kegaduhan
yang terjadi diantara para pembantu Presiden, menunjukkkan bahwa pemerintahan
Jokowi ini adalah pemerintahan yang demokratis dan terbuka, bukanlah
pemerintahan dengan tangan besi. Pembantu-pembantunya, sangat bebas mengeluarkan
pikiran dan pendapatnya di ruang publik. Yang berbahaya adalah jikalau
kemudian pemerintahan Jokowi ini adalah pemerintahan yang tidak demokratis
bahkan tertutup sehingga semua pembantu-pembantunya dalam 24 jam hidupnya
penuh ketakutan.
Seolah sudah
menyerahkan segala nyawanya kepada Presiden. Bahkan bisa jadi untuk izin ke
kamar kecil sekalipun di saat rapat atau diketahui keberadaanya oleh
Presiden, sang pembantunya pun akan rela menahan ber-jam-jam, apalagi saling
mengkritik di ruang publik. Tentunya gejala ini menunjukkan Presidensial
tersebut tidak terbuka dan demokratis terhadap pembantunya. Hipotesa kedua,
adalah bahwa Presidensial Jokowi ini bukanlah presidensial yang kuat nan
berwibawa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Pertanyaanya, mengapa bisa
tak berwibawa? Jawabannya adalah, konstitusi memberikan hak prerogatif kepada
Presiden salah satunya supaya Presidensial itu berwibawa dan kuat. Bisa jadi
dalam melakukan pengisian jabatan menteri, Presiden tidak menggunakan hak
prerogatifnya, karena pengaruh anasir-anasir dari luar.
Anasir luar ini tidak
bisa diartikan parpol, namun juga kekuatan kelompok-kelompok tertentu yang
mewakili kepentingan dalam dan/atau luar negeri (catatan kaki bahwa yang
gaduh nampaknya bukan utusan parpol). Jikalau kemudian anasir luar itu sudah
berhasil menerobos tembok prerogatif maka disitu pula awal dimulainya
runtuhnya kewibawaaan Presiden. Para pembantu Presiden terkesan sudah tak
menyadari diri lagi bahwa mereka bekerja di bawah manajerial pemerintahan Jokowi.
Hipotesa kedua inilah yang kemudia bisa merugikan manajemen Presiden, namun
tidak serta merta merugikan kepentingan konstitusional rakyat.
Intinya bahwa
kegaduhan yang terjadi saat ini di antara pembantu Presiden, bukanlah
kegaduhan ecek-ecek, namun kegaduhan substantif konstitusional. Hal ini
justru membuat hak-hak rakyat atas informasi untuk menilai kemampuan,
keseriusan para pembantu Presiden. Rakyat bisa menilai secara subjektif mana
pembantu yang mau menggadaikan konstitusi, mana pembantu yang pura-pura
menjunjung konstitusi atau mana pembantu yang sungguh-sungguh mengawal
konstitusi. Atau mana pembantu yang tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap
konstitusi. Yang pasti bahwa kalau Presiden menganggap kegaduhan ini masalah
buat pemerintahannya, silahkan gunakan hak prerogatif hingga memberhentikan
para pembantunya yang dianggap suka membuat berita "sexy" tersebut,
tanpa melibatkan wakil presiden juga bisa, konstitusi menjaminnya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar