Senin, 14 Maret 2016

Pembantu-Pembantu Presiden

Pembantu-Pembantu Presiden

Irmanputra Sidin ;   Pendiri Sidin Contitution-Law Office
                                             MEDIA INDONESIA, 04 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

WAKIL Presiden Jusuf Kalla memberikan isyarat bahwa kegaduhan di Kabinet Kerja bermula dari tindakan seorang menteri koordinator di luar kewenangannya. Sang menko tersebut tanpa persetujuan Presiden dan DPR mengubah nomenklatur kementeriannya. Perubahan itu menyalahi keppres nomenklatur kementerian. Berita tentang kegaduhan para pembantu Presiden memang menimbulkan perenungan tersendiri. Tidak serta merta menganalisis masalah ini untuk kemudian mengambil kesimpulan dari sisi manajerial politik Jokowi-JK karena itu bukan bidang saya . Yang utama tentunya adalah menggunakan konstitusi sebagai pisau bedah sistem ketatanegaraan kita. Seperti diketahui bahwa sistem ketatanegaraan kita menyiapkan ratusan hingga jutaaan organ-organ negara hingga daerah sebagai pembantu Presiden.

Namun yang disiapkan langsung oleh UUD 1945 hanya dua organ negara yaitu wakil Presiden (pasal 4 ayat (2) UUD 1945) dan Menteri-menteri Negara (pasal 17 UUD 1945). Kedua organ negara pembantu Presiden ini memiliki model pengisian jabatan yang berbeda. Untuk wakil presiden , pengisian jabatannya melalui pemilu-dipilih langsung oleh rakyat sebagai bagian satu paket pasangan calon Presiden/Wakil Presiden. Untuk menteri-menteri negara pengisian jabatannya berdasarkan hak prerogatif Presiden. Dimana Presiden diberikan keleluasaan penuh tanpa campur tangan kekuatan kelompok kepentingan apapun untuk memilih dan mengangkat menteri-menteri negara baik secara objektif maupun subyektif.

Namun tentunya tetap dalam koridor syarat personal yang diatur dalam UU Kementerian Negara. Pemberhentian para menteri negara juga merupakan hak prerogatif Presiden. Sedangkan wakil Presiden untuk pemberhentiannya bukan hak prerogatif Presiden namun pemberhentian wakil presiden bisa diawali dengan penggunaan kewenangan penilaian Presiden terhadap wakil Presiden untuk kemudian bisa diproses melalui DPR dan MPR. Sebagai pembantu-pembantu Presiden tentunya tunduk dan mengikuti irama politik pemerintahan Presiden, namun lebih dari itu harus jauh lebih patuh kepada UUD 1945 dan segala peraturan perundang-undangan selurus-lurusnya.

Memang jikalau melihat kegaduhan yang timbul dalam pemerintahan Jokowi, nampaknya hal ini sudah menjadi kegaduhan sempurna. Diantara para menteri-menteri secara horisontal bahkan vertikal dengan wakil presiden sudah saling kritik. Pertanyaan besarnya bahwa apakah ini merugikan kepentingan politik bagi yang berkuasa? Jawabannya mungkin iya. Namun jikalau kemudian pertanyaannya apakah ini merugikan kepentingan konstitusi atau kepentingan rakyat, nampaknya tidak otomatis. Yang pasti bahwa jikalau ingin dipersempit analisisnya, maka kegaduhan ini menimbulkan dua hipotesa . Hipotesa pertama bahwa, kegaduhan yang terjadi diantara para pembantu Presiden, menunjukkkan bahwa pemerintahan Jokowi ini adalah pemerintahan yang demokratis dan terbuka, bukanlah pemerintahan dengan tangan besi. Pembantu-pembantunya, sangat bebas mengeluarkan pikiran dan pendapatnya di ruang publik. Yang berbahaya adalah jikalau kemudian pemerintahan Jokowi ini adalah pemerintahan yang tidak demokratis bahkan tertutup sehingga semua pembantu-pembantunya dalam 24 jam hidupnya penuh ketakutan.

Seolah sudah menyerahkan segala nyawanya kepada Presiden. Bahkan bisa jadi untuk izin ke kamar kecil sekalipun di saat rapat atau diketahui keberadaanya oleh Presiden, sang pembantunya pun akan rela menahan ber-jam-jam, apalagi saling mengkritik di ruang publik. Tentunya gejala ini menunjukkan Presidensial tersebut tidak terbuka dan demokratis terhadap pembantunya. Hipotesa kedua, adalah bahwa Presidensial Jokowi ini bukanlah presidensial yang kuat nan berwibawa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Pertanyaanya, mengapa bisa tak berwibawa? Jawabannya adalah, konstitusi memberikan hak prerogatif kepada Presiden salah satunya supaya Presidensial itu berwibawa dan kuat. Bisa jadi dalam melakukan pengisian jabatan menteri, Presiden tidak menggunakan hak prerogatifnya, karena pengaruh anasir-anasir dari luar.

Anasir luar ini tidak bisa diartikan parpol, namun juga kekuatan kelompok-kelompok tertentu yang mewakili kepentingan dalam dan/atau luar negeri (catatan kaki bahwa yang gaduh nampaknya bukan utusan parpol). Jikalau kemudian anasir luar itu sudah berhasil menerobos tembok prerogatif maka disitu pula awal dimulainya runtuhnya kewibawaaan Presiden. Para pembantu Presiden terkesan sudah tak menyadari diri lagi bahwa mereka bekerja di bawah manajerial pemerintahan Jokowi. Hipotesa kedua inilah yang kemudia bisa merugikan manajemen Presiden, namun tidak serta merta merugikan kepentingan konstitusional rakyat.

Intinya bahwa kegaduhan yang terjadi saat ini di antara pembantu Presiden, bukanlah kegaduhan ecek-ecek, namun kegaduhan substantif konstitusional. Hal ini justru membuat hak-hak rakyat atas informasi untuk menilai kemampuan, keseriusan para pembantu Presiden. Rakyat bisa menilai secara subjektif mana pembantu yang mau menggadaikan konstitusi, mana pembantu yang pura-pura menjunjung konstitusi atau mana pembantu yang sungguh-sungguh mengawal konstitusi. Atau mana pembantu yang tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap konstitusi. Yang pasti bahwa kalau Presiden menganggap kegaduhan ini masalah buat pemerintahannya, silahkan gunakan hak prerogatif hingga memberhentikan para pembantunya yang dianggap suka membuat berita "sexy" tersebut, tanpa melibatkan wakil presiden juga bisa, konstitusi menjaminnya! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar