Ahok
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 10 Maret
2016
Pemilihan kepala
daerah DKI Jakarta baru tahun depan, tetapi kegaduhan sudah terasa sekarang
ini. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak bisa menunggu lebih lama lagi
sikap PDI-P. Sebaliknya PDI-P pun tidak suka didesak-desak Ahok. Akhirnya,
Gubernur DKI Jakarta ini memilih maju lewat jalur independen dengan dukungan
Teman Ahok.
Karena gagal
bersanding dengan kader PDI-P, Ahok pun pisah dengan Djarot Saiful Hidayat
(wakil gubernur yang juga petinggi PDI-P). Ahok memilih Heru Budi Hartono,
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta. Pilihan ini
bukan tanpa risiko. Meskipun terburuk, sebutlah sampai gagal nyalon pada
Pilkada 2017, Ahok tampaknya sudah menyadarinya.
Pilihan Ahok lewat
jalur independen sebetulnya bukan karena ia tidak laku di partai politik.
Saat memilih jalur independen, parpol seperti Nasdem pun mendukungnya.
Sebenarnya banyak parpol yang mau meminangnya. Namun, tunggu waktu karena
parpol memiliki proses dan aturan masing-masing. Sebaliknya, Ahok juga
berkalkulasi. Ia berpacu dengan waktu. Menunggu sikap parpol yang
berlama-lama juga bukan tanpa risiko. Jika pada menit-menit terakhir parpol
tak jadi mengusungnya, juga sama runyamnya.
Selama ini, Ahok
memang paling unggul dalam beberapa survei. Namun, Ahok pula yang paling
kontroversial. Wataknya keras. Bicaranya ceplas-ceplos, sering tak
terkontrol, suka marah-marah. Reaksi keras pun bermunculan, bahkan isu SARA.
Sampai-sampai muncul semacam gerakan "menolak Ahok" atau "asal
bukan Ahok".
Namun, Ahok sepertinya
tak peduli. Sebaliknya, komitmennya bekerja untuk rakyat sulit dibantah.
Suatu hari ia menggusur rumah-rumah di pinggir kali, tetapi ia sudah
menyiapkan rumah susun untuk tempat tinggal korban penggusuran. Dan, lain
hari nyaris tak terdengar Jakarta tenggelam. Ahok menjanjikan, banjir datang,
tetapi airnya cepat pergi. Suatu kali ia menggusur Kalijodo, tetapi mulut
lawan-lawan politiknya terkunci kehabisan kata-kata. Sebab, Ahok menggusur lokalisasi
prostitusi yang sudah puluhan tahun beroperasi.
Barangkali buat Ahok,
bekerja membenahi Jakarta lebih penting ketimbang berlagak santun, padahal
kerjanya nol besar. Ahok memang tampil beda. Padahal pada era demokrasi
langsung, para politisi dan pemimpin adalah "sosok baik nan
santun". Itulah politik pencitraan. Popularitas figur, baik dan positif,
hampir linier dengan elektabilitas.
Ahok mungkin anomali
dari pencitraan era sekarang. Buatnya kalau terpilih disyukuri, tidak
terpilih pun diterima saja. Maka, bicaranya tetap saja kasar dan suka
marah-marah. Rupanya, banyak anak-anak muda yang suka gaya "koboi"
Ahok.
Namun, banyak orang
tua yang kupingnya panas. Apa pun juga merendahkan nada bicara dan
menghindari kata-kata sarkastis dan kotor menjadi nasihat yang patut
dipertimbangkan. Menurut Marc Bloch (1962), di Eropa sejak abad ke-11, aturan
tingkah laku kesopanan dan sifat-sifat yang lebih dipersantun memang untuk
menggambarkan kualitas kebangsawanan.
Jika mengikuti pikiran
Ahok, barangkali di dunia yang disesaki perilaku hipokrit sekarang ini,
basa-basi dan muka manis tidak perlu lagi. Straight to the point saja! Karena itu, ada yang menilai Ahok
termasuk pemimpin orisinal, autentik, apa adanya; bukan hasil polesan politik
pencitraan. Dengan sendirinya justru terbentuk citra Ahok sebagai pemimpin
keras, tegas, dan berani. Ia membangun pencitraan sendiri, menegasi
pencitraan selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar