Indonesia dan Kemerdekaan Palestina
Abdul Mu’ti ;
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
KORAN SINDO, 07 Maret
2016
Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Luar Biasa Negara-Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
berlangsung di Jakarta awal pekan ini.
KTT dengan agenda
utama masalah negara Palestina dan Al-Quds al-Syarif (Yerusalem) memiliki
makna strategis. Pertama, bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), penyelenggaraan
KTT ini merupakan kepercayaan bangsa Palestina kepada Indonesia. Selain
menunjukkan kepercayaan bangsa Palestina kepada Indonesia, KTT ini merupakan
langkah awal untuk memenuhi janji kampanye Presiden Jokowi. Kedua, dalam
konteks perdamaian global, penyelesaian masalah Palestina akan berpengaruh
terhadap perdamaian kawasan Timur Tengah dan internasional.
Masalah Palestina yang
sudah berlangsung selama lebih dari setengah abad belum menunjukkan titik
terang. KTT ini diharapkan menjadi langkah baru dan membuka jalan perdamaian
yang semakin jelas. Harapan dunia Islam tertutup di pundak Indonesia.
Tiga Modal Politik
Terkait dengan masalah
Palestina, Indonesia memiliki tiga modal politik yang sangat menentukan.
Pertama, Indonesia mendapatkan kepercayaan politik yang sangat besar dari
bangsa Palestina. Atas permintaan Palestina KTT OKI yang semula direncanakan
diselenggarakan di Maroko dipindahkan ke Jakarta. Indonesia memiliki hubungan
politik, kesejarahan, keagamaan, dan emosional dengan bangsa Palestina.
Karena faktor Palestina Indonesia sampai saat ini tidak memiliki hubungan
diplomatik dengan Israel.
Solidaritas bangsa
Indonesia terhadap bangsa Palestina juga sangat kuat. Bantuan kemanusiaan
Indonesia untuk bangsa Palestina teruskan mengalir, bahkan dalam beberapa hal
lebih tinggi dibandingkan dengan bantuan bencana di dalam negeri. Bangsa
Indonesia membentuk berbagai organisasi solidaritas seperti
Indonesia-Palestine Friendship Initiative di bawah kepemimpinan Din
Syamsuddin, Solidaritas Indonesia untuk Palestina, dsb.
Kedekatan antara
bangsa Indonesia dengan Palestina membuat Indonesia diterima oleh dua faksi
Palestina yang saling berseteru, yaitu Fatah dan Hamas. Penerimaan ini
merupakan salah satu modal bagi Indonesia untuk menjembatani bahkan
menyelesaikan konflik internal negara Palestina. Kedua, Indonesia diterima
oleh Iran dan Arab Saudi.
Sikap Indonesia yang
terbuka terhadap penganut Syiah adalah faktor penting yang membuat Indonesia
dekat dengan Iran. Dengan Arab Saudi Indonesia memiliki kedekatan historis
dan teologis. Persahabatan bangsa Indonesia dengan Arab tidak diragukan lagi.
Netralitas Indonesia di mata Iran dan Saudi bisa menjadi kunci yang
memungkinkan Indonesia mempengaruhi negara-negara anggota OKI yang lainnya.
Memang, dalam konteks
politik Indonesia harus bernegosiasi dengan negara lain terutama karena
posisi Saudi sebagai ketua OKI. Ketiga, Indonesia memiliki kedekatan politik
dengan Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Obama pada saat
berpidato di Mesir di awal kepemimpinannya, Amerika Serikat adalah sahabat
setia Israel. Beberapa kali resolusi PBB yang merugikan Israel batal karena
veto Amerika Serikat.
Ada alasan kuat bagi
Amerika Serikat untuk mendengar, bahkan mungkin saja mendukung sikap dan
posisi Indonesia. Perpanjangan kontrak Freeport, demokrasi, dan pemberantasan
terorisme adalah sebagian alasan mengapa Amerika Serikat berada di belakang
Indonesia. Jalan Keluar Masalahnya justru ada di pihak Indonesia sendiri.
Pertama, bagaimana sikap Indonesia terhadap negara Palestina.
Ada dua opsi negara
Palestina. Pertama, opsi two states solution yang digagas Amerika Serikat era
Presiden Bill Clinton. Pilihan ini berarti mengakui kemerdekaan dan
kedaulatan Israel dan Palestina. Kedua negara berbagi wilayah dan peran dalam
pengelolaan Yerusalem. Israel di bawah Netanyahu dan Hamas jelas-jelas
menolak opsi two states solution. Pertanyaannya, mampukah Indonesia
meyakinkan Hamas dan pada saat yang sama meminta Amerika Serikat membujuk
Netanyahu untuk menerima opsi tersebut? Rusia sudah secara terbuka mendukung
negara Palestina.
Tapi apa bentuk negara
Palestina versi Rusia masih belum jelas. Kedua, jika Indonesia mengakui
kedaulatan Israel sebagai konsekuensi opsi two states solution, apakah
Indonesia akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel? Di dalam negeri
sudah pasti akan ada penolakan. Kelompok garis keras di Indonesia akan
berdiri tegak menghadang sikap Pemerintah Presiden Jokowi.
Niat baik
menyelesaikan masalah Palestina tidak perlu harus dibayar mahal dengan
kontroversi di dalam rumah tangga sendiri. Ketiga, jika Indonesia tidak
mengakui kedaulatan Israel, jelas Indonesia tidak bisa menjadi negosiator dan
mediator Israel-Palestina. Lalu pada tingkat apa Indonesia akan membangun
relasi dengan Israel? Model relasi Indonesia dengan Taiwan mungkin bisa
menjadi pilihan.
Dengan kebijakan satu
China (One China Policy) Indonesia
hanya membuka hubungan setingkat perwakilan dagang. Ini adalah tingkat
hubungan Indonesia- Israel yang paling aman dan memungkinkan. Harapan kita
semoga KTT Luar Biasa OKI sukses. Damailah Palestina. Damailah dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar