Meningkatkan Mutu Pendidikan
Syamsul Rizal ;
Guru Besar Universitas Syiah Kuala
|
KOMPAS, 10 Maret
2016
Baru-baru ini, Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan SK Nomor 492a tentang
Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 2015.
Sudah dapat diduga,
peringkat lima besar secara berturut-turut diduduki Institut Teknologi
Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB),
Universitas Indonesia (UI), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya. Tak ada yang aneh!
Di level
internasional, Times Higher Education
juga memublikasi World University
Rankings 2015-2016. Indonesia hanya berhasil menempatkan satu perguruan
tinggi negeri (PTN): UI di urutan ke-601-800. PTN kuat lain, seperti ITB,
IPB, dan UGM, tak termasuk dalam daftar itu.
Untuk level Asia
Tenggara, National University of
Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University—keduanya dari
Singapura—menduduki peringkat ke-1 dan ke-2. Malaysia menempatkan lima universitasnya
(di peringkat ke-3, 5, 7, 8, dan ke-9), Thailand diwakili dua universitas
(urutan ke-4 dan ke-6), dan Filipina satu universitas (posisi ke-10).
Indonesia? Tak ada di posisi 10 besar. UI hanya menduduki tempat ke-11.
Jago kandang
Saya mengamati bahwa
PTN kuat kita hanya mampu bertarung dan memenangi pertempuran di dalam negeri
dengan mengalahkan PTN lemah. Dalam bahasa persepakbolaan kita: mereka jago
kandang. Padahal, kebijakan pendidikan tinggi di negara kita sangat
menguntungkan PTN kuat ini. Alasannya sering dibuat sangat rasional:
akreditasi mereka yang tinggi dan pengalaman mereka yang hebat. Akibatnya,
hampir semua fasilitas disapu bersih oleh PTN kuat.
Dengan menyedot dana
bantuan operasional yang sangat tinggi, dengan merekrut para calon mahasiswa
kelas satu dari berbagai daerah di Tanah Air, dengan jejaring yang mereka
punyai, serta alumni yang bekerja di lingkungan swasta dan negeri yang mereka
miliki, seharusnya PTN kuat bisa berjaya, paling tidak di level Asia
Tenggara.
Dengan rekor-rekor
yang makin terpuruk itu, klaim PTN kuat untuk menyapu bersih semua fasilitas
di negeri ini tak selayaknya dipertahankan lagi. Tak cukup alasan kuat
memberi perlakuan khusus buat mereka.
Akreditasi dan
peringkat yang tinggi di dalam negeri, suatu hal yang pantas mereka dapatkan.
Tak ada yang aneh. Dengan kualitas tinggi dari mahasiswa yang masuk serta
fasilitas VIP dan VVIP lain yang mereka dapatkan, sudah sangat wajar mereka
beroleh akreditasi dan peringkat yang tinggi di dalam negeri.
Dan, pengalaman pun
tak bisa lagi dijadikan acuan sebab kalau pengalaman pada masa lalu yang
dijadikan acuan, justru acuan ini bisa menjadi bumerang bagi PTN kuat. PTN
kuat telah menunjukkan pengalaman buruk dan gagal dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan dan risetnya. Ini terbukti: PTN kuat kita tak bisa berbuat banyak,
bahkan untuk level Asia Tenggara pun.
Sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila yang mengakui keberadaan Tuhan, yang
berperikemanusiaan, yang adil dan beradab, dan ingin mempertahankan persatuan
Indonesia, sudah tak pantas lagi kita mempertahankan kebijakan pendidikan
selama ini: kebijakan yang membuat jurang kualitas antara PTN kuat dan PTN
lemah di daerah yang semakin dalam.
Saya melihat strategi
pengembangan pendidikan di Indonesia telah salah arah. Kita membiarkan
pertarungan tak seimbang antara PTN kuat dan PTN lemah. Pertarungan yang tak
manusiawi ini harus dihentikan karena hanya menciptakan kebanggaan semu bagi
para PTN kuat dan menciptakan mentalitas inferior bagi PTN lemah. Tak ada yang
diuntungkan. Seluruh komponen bangsa turut merugi. Karena itu, seluruh
komponen negara ini harus bahu-membahu menyejajarkan mutu PTN di seluruh
Indonesia. Untuk itu, terlebih dulu isu ini harus dianggap sangat penting.
Sama penting, misalnya, dengan isu korupsi. Karena itu, perlu ada gerakan
besar-besaran untuk mengontrol mutu pendidikan di seluruh Indonesia.
Dua hal mendesak
Hal pertama yang
paling mendesak dilakukan adalah mekanisme perekrutan pengajar. Untuk
sementara ini saya melihat infrastruktur di PTN daerah bukan faktor utama
yang menghambat kemajuannya, melainkan kualitas pengajar merupakan masalah
yang sangat vital yang harus jadi perhatian kita semua.
Selama ini, perekrutan
pengajar dilakukan seperti kegiatan rutin saja. Tak serius. Padahal, pada
titik inilah nasib sebuah PTN dipertaruhkan. Karena itu, harus ada target
pemerintah dan para rektor PTN lemah di daerah menyamaratakan kualitas antara
pengajar di PTN lemah dan kuat. Untuk itu, pemerintah harus berusaha merekrut
dengan sengaja dan sungguh-sungguh para pemuda-pemudi hebat dari seluruh
Indonesia dan ditempatkan di berbagai PTN di daerah.
Program penyamarataan
kualitas pengajar ini mungkin tak bisa berlangsung cepat. Kalau kita rekrut
kandidat yang baru lulus S-1, perlu waktu 5-7 tahun menunggu mereka sampai
tamat S-3. Kalau program ini bisa berjalan sukses, maka di berbagai fakultas
pada PTN di seluruh negeri ini kita akan mempunyai pengajar yang relatif
selevel.
Kedua, karena mutu
perguruan tinggi ditentukan juga oleh kualitas input dari mahasiswa yang
masuk, maka kualitas mahasiswa yang masuk pun harus menjadi pertimbangan
pemerintah. Ini artinya, mutu pendidikan dasar dan menengah di seluruh negeri
ini harus disamaratakan juga kualitasnya.
Sama halnya dengan
pendidikan tinggi, saya menilai faktor kualitas guru yang menjadi faktor
dominan sebuah sekolah akan hebat atau sebaliknya. Bukan masalah
infrastruktur atau kurikulum yang menjadi faktor utama. Di sini pun
pemerintah harus turun tangan membenahi masalah kompetensi guru.
Pemerintah pusat dan
daerah sebaiknya fokus membelanjakan dana untuk merekrut guru dengan
kompetensi yang tinggi sekali. Ke depan, tidak boleh lagi ada guru yang salah
rekrut karena kompetensinya yang kurang atau sedang-sedang saja. Banyak anak
bangsa ini yang kualitasnya hebat, tetapi tidak punya akses bisa jadi guru.
Akses harus dibuka seluas-luasnya dengan saringan yang seketat-ketatnya untuk
mencari guru yang terbaik.
Masalah kompetensi ini
harus dipantau terus-menerus. Keberadaan guru yang kompetensinya rendah akan
berbahaya. Mengapa? Sebab murid yang dihadapi di dalam kelas tidak akan dapat
mengontrol guru di dalam kelas atau memberi feedback, umpan balik, mengingat
umur dan ilmu mereka belum cukup.
Saya kira kalau
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla fokus terhadap dua masalah ini saja,
yaitu penyamarataan kualitas guru dan dosen di seluruh negeri ini, banyak
masalah pendidikan di negeri ini terselesaikan. Termasuk cita ke-3 dari
Nawacita: ”Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangk negara kesatuan”.
Menguatnya kualitas
pendidikan dasar dan menengah akan menguatkan mutu pendidikan tinggi.
Menguatnya kualitas dosen di PTN lemah akan membuat dunia PTN di Indonesia
menjadi lebih semarak. Dan, pada gilirannya, tentu saja akan ikut
meningkatkan mutu PTN kuat di Indonesia juga karena PTN kuat akan memperoleh
kawan tanding atau sparring partners
yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar