Minggu, 09 November 2014

Tionghoa atau Bukan, Tak Masalah

Tionghoa atau Bukan, Tak Masalah

Agus Dermawan T  ;  Pengamat Budaya dan Seni
KORAN TEMPO, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Pada rubrik Pendapat Koran Tempo edisi Rabu (5/11/2014) termuat artikel Tom Saptaatmaja yang berjudul Etnis Tionghoa dan Kabinet. Tulisan tersebut mengurai keberadaan keturunan Tionghoa dalam kabinet Republik Indonesia selama 69 tahun terakhir. Disebutkan, hampir semua kabinet enam presiden RI menyertakan menteri dari kalangan Tionghoa. Tom lalu mempertanyakan (bukan menuntut): mengapa pada kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang konon antidiskriminasi itu nama-nama menteri Tionghoa justru tidak ada?

Pertanyaan Tom mungkin bagus, meski untuk masa sekarang terasa sudah kurang relevan. Sebab, sejak reformasi 1998, yang ditandai dengan pencabutan peraturan diskriminatif Instruksi Presiden No.14/1967, pencarian sosok yang mana bumiputra dan mana yang Tionghoa (termasuk Arab atau India), serta-merta tidak ada. Suku Tionghoa disepakati membaur menjadi satu: Indonesia. Dan bukankah sebagian besar warga keturunan Tionghoa sudah memakai nama khas Indonesia?

Kita tahu bahwa mantan menteri Tan Po Gwan, Oei TjoeTat, dan Kwik Kian Gie adalah Tionghoa karena namanya bersuku kata tiga. Begitu juga bakal Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama lantaran ia biasa dipanggil Ahok. Namun siapa yang tahu bahwa mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin adalah Tionghoa asal Makassar bernama asli Tan Toan Sin? Siapa yang mengira bahwa politikus dan tokoh Pemuda Pancasila Yorrys Raweyai adalah Tionghoa kelahiran Papua?

Orang tahu mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sebagai Tionghoa lantaran riwayatnya sebagai putri dari tokoh nasional Pang Lay Kim. Namun siapa pun masih menduga-duga bahwa Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly itu orang Tionghoa. "Laoly itu dalam kosmologi Tionghoa artinya Ly Tua. Saya pikir ia bermarga Lie," begitu pergunjingan berbicara.

Pada 1960-1970-an, perhatian remaja Indonesia digerus oleh komik semacam Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH, Fajar di Tengah Kabut karya Zaldy, sampai Siluman Lembah Neraka karya Floren. Hampir tak ada yang tahu (kecuali kerabat dekatnya) bahwa para komikus itu Tionghoa. Ganes bernama asli Thio Thauw San, Zaldy bernama Touw Bun Tiong, dan Floren bernama Tjia Tjeng Han. Di pojok lain, Teguh Santoso, yang beberapa waktu lalu melukis ulang dan meluncurkan komik wayang Mahabharata dalam kualitas istimewa, juga orang Tionghoa.

"Mereka menyembunyikan Tionghoanya lantaran kala itu komik adalah buku yang dimusuhi pemerintah. Lagipula, orang Tionghoa apa bukan, rasanya tidak penting," kata Hans Djaladara alias Liem Tjong Han, pencipta komik legendaris Panji Tengkorak.

Tionghoa atau bukan, atau diduga Tionghoa atau bukan, untuk Indonesia kontemporer bukan lagi persoalan. Dengan begitu, apakah dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla ada orang Tionghoa atau tidak, sesungguhnya tak perlu menjadi urusan. Itu sebabnya pilihan Presiden atas figur-figur, yang mewakili daerah (dari Aceh, Sunda, sampai Papua), untuk duduk dalam kabinet sah bila mengundang sejumlah kritik. Karena idealnya: pilih saja orang yang sehat, kuat, mau kerja, serta memiliki integritas dan kapabilitas. Sisihkan ihwal tanda nama, suku, dan asal-muasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar