Minggu, 09 November 2014

Kerbau

Kerbau

Nur Haryanto  ;  Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Namanya Bagong. Nama tenar dari tokoh punakawan dalam kisah pewayangan ini disematkan kepada seekor kerbau milik Keraton Kasunanan Surakarta. Pekan lalu, Bagong meninggal, atau lebih tepatnya mati. Kematiannya cukup tragis, karena Bagong ditusuk dengan tombak oleh seseorang dua pekan sebelum mengembuskan napas terakhir.

Bagong adalah kerbau albino yang disebut orang Jawa sebagai kebo bule. Meski keturunan "darah biru" dari kerbau Keraton Surakarta, yakni Kyai Slamet, Bagong dipelihara bersama kerbau warga di area persawahan di Sukoharjo, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari keraton. Sebagai penghormatan terakhir, Bagong dikubur di Siti Hinggil halaman keraton.

Alangkah istimewanya kerbau ini. Sebenarnya budaya mengistimewakan kerbau bukan milik orang Jawa saja, tapi juga orang Toraja. Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dalam upacara Rambu Solok-upacara kematian-yang agung dan sakral, ratusan kerbau dipotong. Salah satu kerbau yang menjadi favorit adalah Tedong Bonga, kerbau yang mempunyai warna belang hitam dam putih. Harga kerbau jenis ini bisa mencapai Rp 350 juta, untuk dipancung dalam upacara itu. Mungkin orang Jawa memilih untuk membeli mobil dengan uang sebesar itu.

Tanduk kerbau yang tersisa dalam upacara itu kemudian disusun di depan tongkonan, sebutan rumah adat Toraja. Tanduk kerbau ini menjadi perlambang status sosial warga Tana Toraja. Semakin banyak susunan tanduk kerbau di depan tongkonan, semakin tinggi pula status sosial maupun ekonomi seseorang.

Tak kurang 95 persen populasi kerbau di dunia ada di Asia, termasuk di Pakistan, India, Bangladesh, Bhutan, Nepal, Cina, dan kawasan Asia Tenggara. Hewan ternak ini tak cuma membantu petani membajak sawah, tapi juga rata-rata diambil daging dan susunya.

Ada dua subspesies kerbau yang hidup di Asia, yaitu kerbau sungai yang dapat dijumpai di Nepal pada ketinggian 2.800 meter dan kerbau rawa yang ada di Danau Panggang, Kalimantan Selatan. Untuk kerbau rawa di tempat ini, harganya sekitar Rp 10 juta-kalah jauh dibanding harga kerbau di Toraja. Namun peternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan rata-rata memiliki 40-100 ekor. Jika pemiliknya hendak naik haji, tinggal jual 3-4 kerbau.

Khasanah kerbau sebagai hewan istimewa juga telah ada dalam masyarakat muslim di Kudus, Jawa Tengah, sejak abad ke-14. Saat Idul Adha, umat muslim di Kudus memilih untuk memotong kerbau dibanding sapi atau kambing.

Konon, Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus melarang pengikutnya menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Mayoritas penduduk Kudus yang menganut agama Hindu meyakini sapi sebagai hewan suci. Untuk menghormati umat Hindu, Sunan Kudus menganjurkan umat Islam menyembelih kerbau sebagai hewan kurban pada hari raya Idul Adha.

Soal kerbau, masih ada lagi kisah uniknya. Dalam sebuah demo 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, 28 Januari 2010, para pengunjuk rasa menyeret kerbau besar dengan tanduk panjang ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Tubuh kerbau itu dicat dengan tulisan "SiBuYa". Berselang beberapa hari setelah demo, Presiden SBY di sela-sela pengantar pembuka rapat kerja mengatakan: "Ada yang bawa kerbau, SBY badannya besar, malas, dan bodoh…."

Bagong, Tedong Bonga, atau SiBuYa, bagi saya hanyalah kerbau dalam keseharian kita. Ia mewakili kelas dan profesi: menjadi bangsawan, hartawan, atau demonstran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar