Minggu, 09 November 2014

Jokowi-Indonesia Berhijrah

Jokowi-Indonesia Berhijrah

Saratri Wilonoyudho  ;  Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


TANGGAL pelantikan Jokowi-JK mendekati 1 Muharam. Berbeda dari tahun baru Masehi, tahun baru Islam tidak ditandai dari tanggal kelahiran Rasulullah tapi berdasarkan tahun hijrah Bani saw ke Madinah. Periode Madinah inilah yang merupakan tonggak sesungguhnya pengamalan Islam mengingat di kota itu Rasulullah berhasil menata masyarakat madani yang demokratis, dan dengan semangat pluralisme mampu membangun peradaban baru.

Ada satu pemikiran Nabi saw yang terkenal, yakni Piagam Madinah, perjanjian agung yang menyatukan kaum Nasrani, Yahudi, Majusi, dan Islam. Mereka saling menghargai, untuk urusan dunia selalu bersahabat dan bahu-membahu membangun peradaban. Sebaliknya untuk urusan akhirat mereka menghormati dengan menyerahkan kepada pribadi masing-masing.

Di Madinah, Rasulullah mewakafkan sebagian besar hartanya untuk membangun infrastruktur dan sarana perekonomian lainnya seperti (dalam istilah sekarang) koperasi, UMKM, irigasi, pertanian, dan sebagainya. Hasilnya adalah peradaban baru yang diwarnai nilai-nilai religiositas.

Dari peristiwa itulah mestinya tiap kali kita memperingati tahun baru Islam maka semangat untuk berhijrah perlu terus ditanamkan dan diupayakan kenyataannya. Kita sering terjebak hanya sebatas perayaan seremoni tak bermakna, bahkan dihubungkan dengan hal-hal mistis 1 Syura.

Mengapa kita harus berhijrah? Pasalnya saat ini kita berada di titik nadir sebagai bangsa yang selalu kalah. Sikap kalahan ini terlihat dari pembiaran bangsa lain ”menjajah” kita dengan mendikte perekonomian. Mereka habis-habisan mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa kompensasi yang memadai.

Padahal pada zaman dulu Bung Karno gigih melawan kapitalisme asing yang tidak adil terhadap bangsa ini. Go to hell with your aid, kata Bung Karno yang berprinsip biarkan hasil tambang tersimpan dulu sebelum bangsa ini sanggup menggali dan mengolahnya sendiri.

Demikian pula kemembanjiran barang impor yang tidak dapat dicegah, membuktikan kekalahan telak bangsa ini. Hanya sekadar buah, sayur, bahkan garam pun kini produksi asing, terutama dari Tiongkok, Taiwan, Thailand, dan Amerika Serikat. Padahal tanah bocoran surga ini sangat kaya hasil bumi.

Kita memerlukan pemimpin seperti Gandhi yang cerdas, berani, dan memiliki etika-spiritualistik tinggi. Untuk melawan penjajah Inggris, dia melancarkan jurus swadesi, alias memproduksi barang-barang sendiri. Gandhi memberi contoh bagaimana ia merajut sendiri benang dan membuat tekstil tanpa harus bergantung Inggris. Gandhi tidak mengajarkan kekerasan karena itu akan kontraproduktif. Melalui ahimsa, Gandhi yakin dengan kekuatan sendiri maka bangsanya bisa menjadi hebat dan jaya.

Bung Karno pun punya jurus Berdikari, akronim dari berdiri di atas kaki sendiri. Dulu, untuk melancarkan jurus penaklukan, Belanda menggolongkan pribumi sebagai warga kelas tiga di bawah bangsa Eropa dan bangsa Timur Jauh (Arab, Tiongkok, dan India). Kaum pribumi digambarkan malas dan dicitrakan suka mencambuk kerbau atau sapi, yang juga disimbolkan sebagai hewan malas (Brooshooft dalam Het Leven in Indie atau Kehidupan di Hindia/Indonesia).

Bangsa Kuli

Para pekerja Inlander selalu diletakkan pada kasta paling bawah dalam setiap urusan. Kalaupun bekerja di kantor pemerintah kolonial, pangkat maksimal hanya sampai juru ketik atau klerk rendahan yang tidak memerlukan kecerdasan otak. Lebih ”jahat” lagi politik pencitraan kolonial sebagaimana dikatakan Brooshooft tersebut, kaum pribumi disebutnya bangsa kuli.

Dalam berhijrah, harus ada upaya kembali membangkitkan bangsa ini. Dalam bahasa ilmiah harus ada ”etos kerjaî yang mengacu orientasi kepada dunia batin dan duniawi-material. Penyeimbangan dua hal itu akan memunculkan kepuasan batin.

Dalam istilah Gordon Allport dan David Reisman, motivasi kuat untuk meraih cita-cita akan membawa pada perasaan penuh optimisme. Manusia adalah the center of human action — meminjam istilah Megawangi (1995)— yang mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan mimpinya.

Etos kerja dapat dibangkitkan lewat dunia pendidikan. Di tengah kemerebakan tawuran pelajaran, kasus pelecehan siswa di ajang MOS, rendahnya hasil uji kompetensi guru dan sebagainya harus ada upaya komprehensif. Dunia pendidikan tidak hanya menanamkan aspek kognitif yang diukur dari keberhasilan dalam ujian nasional, tapi juga aspek etos kerja lain seperti kreativitas siswa, disiplin, tanggung jawab, tahan banting, dan aneka keterampilan psikomotorik lain yang mendukung terbentuknya etos bangsa.

Kasihan nenek moyang kita yang dulu jaya di era Majapahit dan Sriwijaya, yang sanggup memimpin bangsa lain sembari mengembangkan budaya kerja melintasi dari Asia sampai Afrika. Namun kini anak cucunya menjadi bulan-bulanan bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar