Kepahlawanan
dan Mental
Imam Nawawi ; Sekretaris
Inisiasi Hidayatullah
|
REPUBLIKA,
10 November 2014
Satu dari kebanggaan terbesar
setiap negara adalah hadirnya sosok para pahlawan. Keberanian, semangat rela
berkorban, dan kecintaan tak terhingga terhadap Tanah Air dari pahlawannya
menjadikan negara tersebut merdeka dari segala macam penjajahan dan
perbudakan.
Sebagian dari sosok pahlawan
mampu menginspirasi generasi pelanjut, bahkan dunia untuk terus bangkit dan
maju mengisi amanah kemerdekaan.
Sayangnya, di era globalisasi
kepahlawanan itu mulai redup dalam realita kehidupan meski peringatan Hari
Pahlawan tak pernah absen diselenggarakan.
Lebih ironis, peringatan Hari
Pahlawan ternyata tak lebih dari sekadar seremonial belaka karena rakyat sama
sekali tidak merasakan spirit heroisme. Selain karena peringatan Hari
Pahlawan diselenggarakan oleh kaum elite dan terpelajar, rakyat hari ini
tidak benar-benar melihat heroisme itu sendiri dalam kehidupan mayoritas
pemimpin bangsa.
Padahal, kemerdekaan bangsa
Indonesia ini hadir atas rahmat-Nya yang berhasil dicapai dengan perantara keberanian,
semangat rela berkorban, dan cinta Tanah Air yang luar biasa dari para
pahlawan kita sehingga tidak ada pilihan kecuali "merdeka atau mati".
Spirit "merdeka atau
mati" membuat bangsa Indonesia tidak pernah lelah dalam perjuangan meski
harus menghadapi tentara Sekutu pada 10 November 1945 yang secara nalar
sangat sulit dilakukan bangsa Indonesia hingga memukul mundur pasukan Sekutu
yang canggih, terlatih, dan lengkap persenjataannya. Tapi, pertolongan Tuhan
Yang Maha Esa ada di atas keberanian, semangat rela berkorban, dan cinta
Tanah Air yang tinggi sehingga segala kemustahilan nyata saat itu juga.
Kemerdekaan berhasil dipertahankan.
Sayangnya, heroisme yang
terekam sejarah ini belum menjadi perhatian serius mayoritas bangsa, tidak
terkecuali sebagian besar ulama. Dan, ini telah berlangsung sejak masa
Presiden RI pertama Ir Soekarno. Dalam buku Api Sejarah, Ahmad Mansur
Suryanegara menuliskan, "Boeng
Karno mengingatkan pula tentang realitas ulama yang tidak peduli terhadap
perlunya studi sejarah. Banyak ulama sangat mengerti tentang tajwid, fikih,
hadis, tetapi kurang pemahamannya tentang sejarah. Kalau belajar tarikh,
hanya belajar abu tarikh, bukan api sejarahnya. Situasi ini lah yang
dimanfaatkan Belanda yang mengubah opini publik rakyat Indonesia agar tidak
berkiblat lagi kepada ajaran ulama dan Islam." (Api Sejarah halaman 282).
Mungkin, karena hal ini pula
(abai terhadap sejarah), hari ini, mayoritas bangsa, termasuk sebagian besar
pejabat negara kurang memiliki spirit yang bisa dibanggakan dalam
menghidupkan nilai-nilai heroisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya,
kemerdekaan yang diraih dengan keringat, darah, dan nyawa para pahlawan tidak
dipandang kecuali sebagai kesempatan mendapat kesenangan semu belaka.
Karena itu, upaya menghidupkan
api sejarah kepahlawanan tidak saja penting, tapi sangat mendesak. Sebab,
disadari atau tidak, bangsa Indonesia kini sedang terpuruk dan rentan
terhadap ke rusuhan sosial yang jika terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan
memicu perpecahan, bahkan disintegrasi bangsa.
Sebab, bagaimanapun
imperialisme tidak akan pernah sirna di muka bumi.
Ter lebih, jika merujuk pada
apa yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara bahwa menjajah adalah tugas mulia,
merupakan the White Man's Burden (beban
bagi orang kulit putih) untuk "memajukan
bangsa-bangsa kulit berwarna yang terjajah." (Api Sejarah, 293).
Satu langkah penting yang
dibutuhkan bangsa dan negara dalam memanfaatkan momentum 10 November secara
luar biasa bagi tumbuhnya kesadaran ke pahlawanan adalah dengan menghidupkan
kembali api sejarah bangsa ini, ter utama herosime para pahlawan meng hadapi
keberingasan, kekejaman, dan kebrutalan tentara penjajah Belanda dan Sekutu,
sebagaimana disampaikan Bung Karno terhadap para ulama.
Langkah lain setelah upaya
kembali menghidupkan api sejarah kepahlawanan adalah membangun independensi
mental seluruh rakyat Indonesia, terutama pemangku amanah kenegaraan, mulai
dari RT hingga Presiden.
Sebenarnya, sikap positif
berupa keberanian, semangat rela berkorban, dan cinta Tanah Air yang
diteladankan para pahlawan tidak akan pernah bisa hadir tanpa independensi
mental. Sebab, independensi mental hubungannya dengan kepahlawanan adalah
wujud kemerdekaan paling hakiki. Upaya menghidupkan api sejarah heroisme
bangsa harus mampu melahirkan mindsetindependen yang terwujud dalam
independensi mental.
Indepensi mental adalah sikap
positif atau akhlak mulia yang terus dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan
meski orang lain, bahkan lingkungan justru negatif. Independensi mental akan
melahirkan kekuatan yang dahsyat melebihi kemampuan ragawi dan rasio manusia.
Logika manakah yang membenarkan
diri kita dijajah kepentingan orang atau bangsa lain? Sungguh, hanya manusia
yang memiliki indepedensi mental saja yang siap menghidupkan api sejarah heroisme
para pahlawannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar