Selasa, 11 November 2014

Kepahlawanan dan Mental

Kepahlawanan dan Mental

Imam Nawawi  ;  Sekretaris Inisiasi Hidayatullah
REPUBLIKA, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Satu dari kebanggaan terbesar setiap negara adalah hadirnya sosok para pahlawan. Keberanian, semangat rela berkorban, dan kecintaan tak terhingga terhadap Tanah Air dari pahlawannya menjadikan negara tersebut merdeka dari segala macam penjajahan dan perbudakan.

Sebagian dari sosok pahlawan mampu menginspirasi generasi pelanjut, bahkan dunia untuk terus bangkit dan maju mengisi amanah kemerdekaan.
Sayangnya, di era globalisasi kepahlawanan itu mulai redup dalam realita kehidupan meski peringatan Hari Pahlawan tak pernah absen diselenggarakan.
Lebih ironis, peringatan Hari Pahlawan ternyata tak lebih dari sekadar seremonial belaka karena rakyat sama sekali tidak merasakan spirit heroisme. Selain karena peringatan Hari Pahlawan diselenggarakan oleh kaum elite dan terpelajar, rakyat hari ini tidak benar-benar melihat heroisme itu sendiri dalam kehidupan mayoritas pemimpin bangsa.

Padahal, kemerdekaan bangsa Indonesia ini hadir atas rahmat-Nya yang berhasil dicapai dengan perantara keberanian, semangat rela berkorban, dan cinta Tanah Air yang luar biasa dari para pahlawan kita sehingga tidak ada pilihan kecuali "merdeka atau mati".

Spirit "merdeka atau mati" membuat bangsa Indonesia tidak pernah lelah dalam perjuangan meski harus menghadapi tentara Sekutu pada 10 November 1945 yang secara nalar sangat sulit dilakukan bangsa Indonesia hingga memukul mundur pasukan Sekutu yang canggih, terlatih, dan lengkap persenjataannya. Tapi, pertolongan Tuhan Yang Maha Esa ada di atas keberanian, semangat rela berkorban, dan cinta Tanah Air yang tinggi sehingga segala kemustahilan nyata saat itu juga. Kemerdekaan berhasil dipertahankan.

Sayangnya, heroisme yang terekam sejarah ini belum menjadi perhatian serius mayoritas bangsa, tidak terkecuali sebagian besar ulama. Dan, ini telah berlangsung sejak masa Presiden RI pertama Ir Soekarno. Dalam buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan, "Boeng Karno mengingatkan pula tentang realitas ulama yang tidak peduli terhadap perlunya studi sejarah. Banyak ulama sangat mengerti tentang tajwid, fikih, hadis, tetapi kurang pemahamannya tentang sejarah. Kalau belajar tarikh, hanya belajar abu tarikh, bukan api sejarahnya. Situasi ini lah yang dimanfaatkan Belanda yang mengubah opini publik rakyat Indonesia agar tidak berkiblat lagi kepada ajaran ulama dan Islam." (Api Sejarah halaman 282).

Mungkin, karena hal ini pula (abai terhadap sejarah), hari ini, mayoritas bangsa, termasuk sebagian besar pejabat negara kurang memiliki spirit yang bisa dibanggakan dalam menghidupkan nilai-nilai heroisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, kemerdekaan yang diraih dengan keringat, darah, dan nyawa para pahlawan tidak dipandang kecuali sebagai kesempatan mendapat kesenangan semu belaka.

Karena itu, upaya menghidupkan api sejarah kepahlawanan tidak saja penting, tapi sangat mendesak. Sebab, disadari atau tidak, bangsa Indonesia kini sedang terpuruk dan rentan terhadap ke rusuhan sosial yang jika terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan memicu perpecahan, bahkan disintegrasi bangsa.
Sebab, bagaimanapun imperialisme tidak akan pernah sirna di muka bumi.
Ter lebih, jika merujuk pada apa yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara bahwa menjajah adalah tugas mulia, merupakan the White Man's Burden (beban bagi orang kulit putih) untuk "memajukan bangsa-bangsa kulit berwarna yang terjajah." (Api Sejarah, 293).

Satu langkah penting yang dibutuhkan bangsa dan negara dalam memanfaatkan momentum 10 November secara luar biasa bagi tumbuhnya kesadaran ke pahlawanan adalah dengan menghidupkan kembali api sejarah bangsa ini, ter utama herosime para pahlawan meng hadapi keberingasan, kekejaman, dan kebrutalan tentara penjajah Belanda dan Sekutu, sebagaimana disampaikan Bung Karno terhadap para ulama.

Langkah lain setelah upaya kembali menghidupkan api sejarah kepahlawanan adalah membangun independensi mental seluruh rakyat Indonesia, terutama pemangku amanah kenegaraan, mulai dari RT hingga Presiden.

Sebenarnya, sikap positif berupa keberanian, semangat rela berkorban, dan cinta Tanah Air yang diteladankan para pahlawan tidak akan pernah bisa hadir tanpa independensi mental. Sebab, independensi mental hubungannya dengan kepahlawanan adalah wujud kemerdekaan paling hakiki. Upaya menghidupkan api sejarah heroisme bangsa harus mampu melahirkan mindsetindependen yang terwujud dalam independensi mental.

Indepensi mental adalah sikap positif atau akhlak mulia yang terus dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan meski orang lain, bahkan lingkungan justru negatif. Independensi mental akan melahirkan kekuatan yang dahsyat melebihi kemampuan ragawi dan rasio manusia.

Logika manakah yang membenarkan diri kita dijajah kepentingan orang atau bangsa lain? Sungguh, hanya manusia yang memiliki indepedensi mental saja yang siap menghidupkan api sejarah heroisme para pahlawannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar