Kamis, 20 November 2014

Subsidi Tetap Hindari Politisasi BBM

                       Subsidi Tetap Hindari Politisasi BBM

Heri Susanto  ;   Direktur Riset Katadata Indonesia
MEDIA INDONESIA, 19 November 2014

                                                                                                                       


PEMERINTAH baru yang di dipimpin pasangan Presiden Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku Rabu (19/11) mulai pukul 00.00 WIB. Sebelumnya sejumlah penolakan mulai mengemuka, termasuk yang dilakukan dua kader PDIP, Effendi Simbolon dan Rieke Diah Pitaloka.

Namun, perlu disadari para penentang penaikan harga BBM bahwa Indonesia bukan lagi negara dengan produksi minyak yang melimpah seperti era Presiden Soeharto. Pada masa kejayaan Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak, 1970-2000, minyak menjadi sumber utama devisa penopang pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tiga dekade tersebut, rata-rata produksi minyak 1,4 juta barel per hari, sedangkan konsumsi minyak hanya 500 ribu barel per hari. Artinya, Indonesia memiliki surplus 1 juta barel per hari yang bisa diekspor dan hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan atau memberi subsidi BBM domestik.

Sebaliknya, dalam 14 tahun terakhir, produksi minyak Indonesia terus merosot. Pada 2013 produksi hanya sebesar 882 ribu barel per hari. Sebaliknya, konsumsi minyak kian melonjak seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, yakni mencapai 1,6 juta barel per hari. Artinya, ada defisit minyak lebih dari 800 ribu barel yang harus diimpor Indonesia hingga membebani fiskal, cadangan devisa, neraca perdagangan, dan nilai tukar rupiah.

Yang tak kalah penting dicermati, dengan harga Rp6.500 per liter, sesungguhnya harga premium di Indonesia sebenarnya tergolong sangat murah di dunia.Harga tersebut hampir sejajar, bahkan lebih murah jika dibandingkan dengan harga bensin di negara-negara kaya minyak, seperti Irak dan Kazakhstan.Bahkan, jika mengacu ke data Global Petrol Price, harga BBM Indonesia ialah ke-16 termurah di dunia.

Dengan berkaca pada kondisi tersebut, menuntut agar harga BBM tetap dijual murah tidaklah realistis.Bahkan, sangat tidak adil dan tidak bijaksana bagi generasi penerus bangsa Indonesia karena sumber daya minyak telah dikuras dan digunakan secara boros. Bayangkan, dalam lima tahun terakhir saja, 2009-2014, sekitar Rp1.300 triliun subsidi energi telah habis dibakar.

Pola subsidi

Mengingat BBM merupakan komoditas strategis dan diamanatkan konstitusi soal pemanfaatannya, pemerintah perlu mempertimbangkan konsep dan solusi jangka panjang mengenai penanganan subsidi BBM. Era BBM murah memang perlu diakhiri secara bertahap, tetapi subsidi tetap perlu diberikan sesuai dengan amanat konstitusi.

Dengan berkaca pada persoalan tersebut, konsep kebijakan subsidi tetap perlu dipertimbangkan kembali oleh pemerintah baru. Dengan mekanisme itu, subsidi per liter BBM diberikan sesuai dengan plafon dengan kisaran tertentu yang mengacu ke harga pasar. Misalnya, subsidi diberikan secara tetap sebesar Rp500 atau Rp1.000 per liter.

Dengan pola tersebut, harga BBM bersubsidi tidak tetap seperti sekarang. Namun, itu bisa berubah setiap bulan, sesuai dengan perkembangan harga di pasar, seperti halnya pertamax. Saat harga minyak dunia naik, harga BBM bersubsidi akan naik. Namun, saat minyak dunia merosot, harga BBM bersubsidi juga akan menurun.

Kebijakan itu sebenarnya pernah dilakukan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dengan menerapkan pola subsidi tetap, setidaknya ada tiga manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, besaran subsidi BBM akan terkendali dan tidak mengganggu APBN. Pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan anggaran subsidi BBM akan selalu jebol seperti terjadi dalam 10 tahun terakhir.

Selama ini, hampir setiap tahun, realisasi subsidi BBM selalu melebihi alokasi atau kuota yang ditetapkan pemerintah bersama DPR. Itu terjadi karena konsumsi BBM terus melonjak, penyelundupan, serta upaya penghematan yang tidak berjalan efektif. Akibatnya, pemerintah kerapkali kembali datang ke DPR untuk meminta tambahan jatah kuota subsidi BBM.

Kedua, meminimalkan potensi politisasi kebijakan BBM. Selama ini, siapa pun yang memegang posisi pemerintahan akan memilih kebijakan menaikkan harga BBM karena ruang gerak fiskal sangat terbatas. Sebaliknya, partai oposisi cenderung menolak kebijakan penaikan harga BBM. Namun, ketika partai oposisi memegang posisi sebagai pemerintah, penaikan harga BBM kembali menjadi pilihan agar mereka memiliki anggaran lebih banyak untuk infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan sosial.

Landasan konstitusi

Dengan kebijakan subsidi tetap, BBM subsidi akan sulit digunakan sebagai komoditas politik oleh dua kubu yang berseberangan, yakni pemerintah dan oposisi. Ketika harga minyak dunia naik, dengan sendirinya harga BBM akan naik tanpa harus susah payah meminta persetujuan DPR. Gejolak politik yang kerap muncul akibat kis ruh kebijakan harga BBM pun bisa dihindari.

Ketiga, memiliki landasan hukum putusan Mahkamah Konstitusi pada 2003, yang menyatakan harga BBM di dalam negeri ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan golongan masyarakat tertentu dan mempertim bangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Dalam menyampaikan pendapatnya tentang harga BBM, MK menekankan campur tangan pemerintah harus menjadi kewenangan yang diuta makan untuk cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun, pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga, termasuk harga yang ditawarkan mekanisme pasar. Itu berarti bahwa MK memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur harga BBM bersubsidi.

Dengan berkaca pada realitas yang dihadapi bahwa Indonesia bukan lagi negara kaya minyak, tetapi menjual BBM secara murah, pengurangan subsidi BBM tidak terelakkan. Namun, dengan mengacu ketiga alasan tersebut, penerapan kebijakan subsidi dalam jumlah tetap perlu dipertimbangkan pemerintah agar tidak melanggar konstitusi Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar