Kamis, 20 November 2014

Pekerjaan Rumah Pascakenaikan Harga BBM

           Pekerjaan Rumah Pascakenaikan Harga BBM

Enny Sri Hartati  ;   Direktur Indef
MEDIA INDONESIA, 19 November 2014

                                                                                                                       


PADA awal pemerintahannya, Presiden Jokowi mengambil keputusan yang cukup berani dengan menetapkan kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2.000 baik untuk premium maupun solar. Argumen yang dijadikan dasar kebijakan tersebut antara lain keterbatasan ruang fiskal dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Selama lima tahun terakhir, nilai subsidi BBM memang terus meningkat dari Rp139,1 triliun pada APBN 2010 menjadi Rp211,89 triliun pada APBN-P 2014. Jika ditambah dengan subsidi listrik, total subsidi energi mencapai hampir Rp365 triliun.Kondisi itu memang menjadi salah satu penyebab ruang fiskal menjadi terbatas untuk membiayai belanja yang produktif.

Argumen lainnya ialah subsidi yang tidak tepat sasaran, karena lebih dari 80% dinikmati pemilik kendaraan pribadi. Belum lagi, tingginya konsumsi BBM menyebabkan ketergantungan impor dan menjadi sumber defisit neraca perdagangan. Indonesia sudah menjadi negara net importer BBM dan berpotensi menjadi importir minyak terbesar di dunia.

Publik pun tentu sudah sangat mafhum dengan semua argumen dan alasan yang dipaparkan pemerintah tersebut. Namun, setiap rencana kebijakan penaikan harga BBM tetap saja menimbulkan kontroversi.

Warisan masalah

Di samping itu, berbagai permasalahan krusial diwariskan pemerintahan sebelumnya. Pertama, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Triwulan III 2014 ekonomi hanya tumbuh 5,01%, dan penopang utama pertumbuhan ialah konsumsi. Jika konsumsi masyarakat menurun, pertumbuhan ekonomi bisa semakin anjlok di bawah 5%. Adapun jumlah pengangguran terselubung atau pekerja tidak penuh masih mencapai 35,77 juta orang dan jumlah masyarakat miskin dan rentan miskin hampir mencapai 100 juta orang.

Kedua, penurunan daya beli masyarakat. Selama tiga tahun berturut-turut pemerintah telah melakukan penaikan TDL dan gas elpiji.Kebijakan itu mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap penurunan daya beli masyarakat. Ketiga, ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Sektor riil menghadapi tekanan biaya logistik, depresiasi rupiah, tuntutan kenaikan UMP, dan suku bunga tinggi.

Keempat, penurunan daya saing dan deindustrialisasi. Akibat tekanan ekonomi biaya tinggi, pertumbuhan sektor industri terus mengalami penurunan. Pada triwulan III 2014 sektor industri manufaktur besar sedang hanya mampu tumbuh 4,96% dan IKM tumbuh 5,18%. Kelima, ancaman stabilitas harga komoditas pokok. Tata niaga komoditas pokok, kecuali beras sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah tidak lagi mempunyai instrumen mengendalikan harga seperti stok penyangga (buffer stock) komoditas strategis sebagai instrumen stabilisasi harga.

Pekerjaan rumah

Dengan kompleksitas persoalan yang mengiringi kebijakan penaikan harga BBM kali ini, tantangan Pemerintahan Jokowi menjadi sangat besar. Minimal, pemerintah harus mampu membuktikan bahwa kebijakan itu telah direncanakan dan dikalkulasi ekonomi secara matang dan komprehensif. Juga telah disiapkan berbagai program realokasi yang bersifat produktif dan memastikan kebijakan itu benar-benar sebagai langkah penyehatan perekonomian serta mampu mereduksi berbagai gejolak perekonomian.

Minimal, terdapat 8 agenda yang harus segera dilakukan, yaitu pertama, program stabilisasi harga kebutuhan pokok. Pemerintah harus telah menyiapkan langkah-langkah pengendalian harga kebutuhan pokok, baik menjaga kepastian pasokan maupun jalur distribusi. Termasuk membenahi pola tata niaga komoditas strategis yang dikuasai kartel. Kedua, realokasi subsidi tepat sasaran. Realokasi subsidi tidak hanya terbatas pada program tiga kartu sakti, tapi konkret pada alokasi subsidi produktif. Misalnya pemberdayaan untuk petani, nelayan, dan usaha mikro kecil.

Ketiga, meningkatkan peran stimu lus fiskal. Dengan adanya kendali perencanaan pembangunan dikembalikan kepada Bappenas (berbasis pada program Nawa Cita), menjadi awal terjadinya koordinasi dan sinergitas program yang fokus pada peningkatan kinerja sektor riil yang menjadi prioritas (pertanian, kemaritiman, industri, pertambangan, pariwisata, dsb). Untuk itu, harus dilakukan reformasi secara fundamental postur APBN-P 2015 untuk fokus pada peran stimulus fiskal.

Keempat, percepatan program konservasi dan diversifikasi energi.Realokasi subsidi BBM harus diutamakan untuk percepatan program konservasi dan diversifikasi energi serta adanya konsistensi Kebijakan Energi Nasional. Kelima, menekan ekonomi biaya tinggi. Sumber ekonomi biaya tinggi yang segera dapat dilakukan tanpa alokasi anggaran yang besar ialah percepatan perbaikan dan penyederhanaan sistem perizinan dan birokrasi. Selanjutnya, koordinasi kebijakan fiskal¬moneter yang tepat untuk menurunkan y pengetatan likuiditas moneter dan p optimalisasi stimulus fiskal.

Keenam, meningkatkan ruang fiskal. Ruang fiskal masih sangat memungkinkan dioptimalkan untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur baik melalui efisiensi belanja pemerintah yang tidak produktif, boros, dan tumpang tindih anggaran maupun mengoptimalkan sumber penerimaan pajak atau penerimaan sumber daya dan penerimaan negara non pajak (PNBP).

Ketujuh, memperbaiki tata kelola migas. Dapat dimulai dengan upaya yang serius untuk memberantas perilaku rent seeker (mafia migas), mengoptimalkan kemampuan kilang (impor BBM mentah bukan olahan), dan kerja sama impor langsung dari negara produsen. Tak kalah penting ialah memperbaiki pola distribusi BBM terutama di daerah dan luar Jawa. Keterbatasan jumlah pom bensin dapat disiasati dengan Pertamina membentuk depo mini atau agen resmi secara terdaftar dan menggunakan sistem kuota. Hal itu untuk menghindari melonjaknya harga BBM yang harus dibayar masyarakat yang berada jauh dari jangkauan pom bensin.

Kedelapan, pengendalian konsumsi BBM. Kebijakan kenaikan harga BBM tidak serta-merta mampu mengurangi besaran konsumsi dan impor BBM. Oleh karenanya harus disertai upaya pengendalian dari sisi permintaan. Menciptakan transportasi umum yang aman dan nyaman menjadi salah satu solusi yang urgen. Jika langkah-langkah tersebut segera dilakukan, kebijakan ini akan membawa penyehatan perekonomian, bukan justru sebaliknya membuat ekonomi semakin terpuruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar