Revolusi
Mental Pejabat
Donal Fariz ; Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS,
14 November 2014
BEBERAPA hari belakangan ini Komisi Pemberantasan Korupsi disibukkan
dengan imbauan kepada para penyelenggara negara yang baru dilantik atau yang
telah mengakhiri jabatannya untuk menyerahkan laporan harta kekayaan
penyelenggara negara. Berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengimbau para menteri, politisi di lembaga legislatif, bahkan presiden
keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, segera menyetorkan informasi
kekayaannya.
Imbauan KPK semacam ini seolah-olah menjadi ritual periodik dalam
setiap pergantian kekuasaan. Khususnya saat momen rotasi lima tahunan setelah
pemilu. Padahal, kewajiban ini bukanlah barang baru bagi siapa pun pejabat
publik di negeri ini.
Zaman Gus Dur
Tak jauh sebelum KPK lahir, pada zaman Presiden Abrurrahman Wahid sudah
pernah dibentuk sebuah komisi yang dinamai Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN). Pembentukannya merupakan mandat dari Pasal 10
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Setelah KPKPN bubar, tugas pelaporan
dan pemeriksaan kekayaan pejabat negara dialihkan kepada KPK.
Pelbagai aturan yang menjadi dasar hukum laporan harta kekayaan
penyelenggara negara (LHKPN) mensyaratkan kewajiban melaporkan kekayaan
tersebut bukan hanya kepada para pejabat yang baru saja menjabat. Akan
tetapi, juga turut ditujukan kepada setiap penyelenggara negara yang baru
saja mangkat.
Setiap penyelenggara negara yang baru dilantik berdasarkan Keputusan
KPK Nomor KEP.07/IKPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan
Pemeriksaan LHKPN diberikan waktu selama dua bulan untuk melaporkan
kekayaannya.
Berdasarkan data LHKPN KPK 2013 yang lalu, dari 2,1 juta orang lebih
penyelenggara negara di Indonesia yang wajib lapor kekayaan, ada lebih dari
600.000 orang yang tidak menyetorkan
daftar kekayaan. Ini artinya hampir 30 persen di antaranya tidak melaksanakan
kewajiban tersebut.
Masalah yang sama berpotensi terulang kembali pada tahun ini. Sudah
berkali-kali KPK mengimbau semua penyelenggara negara untuk segera melapor.
Namun, panggilan ini belum mendapatkan respons positif dari mayoritas para
pejabat dan mantan pejabat. Problem yang sama terus berulang karena berakar
pada buruknya kesadaran para pejabat untuk taat aturan.
Bahkan, bukan tidak mungkin pada tahun ini tingkat partisipasi pelaporan
akan semakin turun. Pasalnya, dalam pikiran sebagian penyelenggara negara ,
tengah muncul dilema dalam pelaporan harta kekayaan. Khususnya bagi mereka
yang memiliki harta yang telah terjadi percampuran dengan kekayaan lain yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan asalnya. Semisal dari hasil kejahatan.
Apalagi kalau ada peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment)
Melihat
aksi KPK
Kekhawatiran sebagian penyelenggara negara muncul karena melihat aksi
KPK dalam menyita pelbagai aset para tersangka kasus korupsi dalam sejumlah
kasus yang tengah ditangani. Selama ini KPK hampir selalu menggunakan data
LHKPN sebagai salah satu data sekunder apabila ada para tersangka kasus
korupsi yang berlatar belakang penyelenggara negara terlibat.
Data LHKPN tersebut digunakan sebagai penyanding antara aset yang
dilaporkan dan aset faktual. Ujung-ujungnya, kalau ada perbedaan jumlah yang
signifikan, besar kemungkinan KPK akan menilai aset tersebut tidak wajar. Di
titik inilah biasanya penggunaan UU pencucian uang biasanya dilakukan.
Akan tetapi, penting digarisbawahi bahwa kekhawatiran ini hanya terjadi
pada mereka yang punya persoalan dengan harta-harta yang tak bisa
dipertanggungjawabkan asal-usul perolehannya. Tentu bagi mereka yang hartanya
bersih tak perlu risi.
Jangan jangka pendek
Langkah KPK, yang telah menyurati Presiden Joko Widodo, untuk mendorong
bawahannya melaporkan kekayaan merupakan sesuatu yang tepat. Namun, hal
tersebut hanya solusi jangka pendek.
Untuk jangka panjang, agar tidak menjadi lembaga penagih laporan
kekayaan terus-menerus, sebaiknya KPK menginisiasi perubahan aturan mengenai
LHKPN kepada Menteri Hukum dan HAM
beserta presiden agar dikeluarkan aturan baru berbentuk Peraturan Pemerintah (PP)
tentang LHKPN. UU Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN bisa menjadi dasar
hukum penerbitan PP tersebut karena pelbagai aturan tentang LHKPN yang ada
saat ini sarat dengan berbagai kelemahan.
Perubahan harus dilakukan karena aturan-aturan yang ada tentang
kewajiban LHKPN selama ini juga tidak operatif. Misalkan dalam Pasal 13
Peraturan KPK tentang Tata Cara Pelaporan LHKPN mengatur rekomendasi sanksi
kepada mereka yang tidak melaporkan LHKPN.
Namun, kewenangan KPK hanya terbatas kepada pemberian rekomendasi
kepada pemimpin instansi yang bersangkutan untuk selanjutnya dilakukan
penindakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan ini tidak operatif
karena tidak ada dasar hukum lain bagi pemimpin lembaga untuk harus
menjalankan rekomendasi KPK dan tidak ada pula aturan yang mengatur sanksi penyelenggara
negara karena tidak menyerahkan LHKPN sehingga ini bukti bahwa aturan
tersebut tidak bisa diimplementasikan.
Upaya
paksa
Mekanisme sanksi yang lebih jelas dan tegas penting dibangun untuk
melawan ketidakpatuhan. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan daya paksa
kepada semua pejabat untuk melaporkan kekayaan karena jika sebatas bersandar
kepada kesadaran dari penyelenggara negara saja, hal itu terbukti tidak
efektif. Harus ada upaya ”paksa” terhadap kewajiban tersebut.
Mereka para pejabat publik yang membalela dengan kewajiban lapor
kekayaan ini bisa saja nantinya diberikan sanksi berupa penangguhan hak-hak
tertentu dan pencabutan sejumlah fasilitas tertentu sebagai pejabat publik.
Pada akhirnya tentu semua akan berpulang kepada Presiden Joko Widodo
selaku kepala negara untuk mengeluarkan peraturan tersebut sehingga
tarik-menarik LHKPN ini tidak berakhir
pada tataran polemik saja.
Dari laporan kekayaan ini, Presiden Jokowi bisa memulai komitmen menuju
pemerintahan yang bersih dan transparan, sekaligus momentum untuk melakukan
”Revolusi Mental Pejabat dan Birokrat” yang cepat dalam mengejar fasilitas,
tetapi lamban dalam menyetorkan tugas dan kewajiban mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar