Ketika
Diplomasi Membumi
Hermansjah Djumala ; Diplomat; Bertugas di Jakarta
|
KOMPAS,
14 November 2014
PADA konferensi pers pertama, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menguraikan pandangan soal langkah kebijakan politik
luar negeri dan diplomasi RI untuk lima tahun ke depan. Dengan berpedoman
pada arahan Presiden bahwa setiap kerja menteri harus berorientasi kepada
rakyat, membumi, dan tidak berjarak dengan rakyat, Kementerian Luar Negeri
akan mengedepankan diplomasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat, diplomacy for the people.
Di tengah persepsi publik yang sudah telanjur memandang diplomasi
adalah kerja elitis, tantangan berat Kemlu dan diplomat adalah bagaimana
membumikan gerak-laku diplomasi Indonesia di dunia internasional agar memberi
manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.
Manfaat
untuk rakyat
Kata kuncinya memang ”manfaat untuk rakyat”. Dari sekian banyak langkah
diplomasi, yang mana yang bermanfaat untuk rakyat secara konkret? Tidak mudah mendefinisikannya. Cakupan isu
yang ditangani diplomasi, baik dalam aras bilateral maupun multilateral, sungguh
sangat luas: mulai dari senjata nuklir (isu keamanan internasional) sampai
alat kontrasepsi (isu kependudukan), mulai dari pembangunan ekonomi dunia
(isu multilateral) sampai TKI (isu bilateral). Semua diplomasi terkait
isu-isu itu dapat berdampak pada rakyat, langsung maupun tidak langsung.
Dengan keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun institusional,
Kemlu harus mampu membuat skala prioritas. Pilihan isu dan medan juang
diplomasi menjadi keniscayaan. Jika ukurannya ”manfaat langsung bagi rakyat”,
diplomasi yang terkait sosial-ekonomi mungkin lebih dirasakan rakyat secara
langsung. Isu sosial-ekonomi perlu kiranya diprioritaskan dalam gerak-laku
diplomasi ke depan, apalagi memang sudah menjadi perintah Presiden Joko
Widodo.
Isu sosial-ekonomi juga biasanya lebih mudah diperjuangkan dalam aras
juang bilateral. Jika Indonesia memiliki kepentingan riil yang bisa
dipertukarkan dengan negara sahabat, dengan keputusan politik, deal mudah
dicapai. Tak perlu proses negosiasi yang berkepanjangan.
Berbeda dengan negosiasi di forum multilateral yang melibatkan puluhan
bahkan ratusan negara sehingga proses negosiasi berlarut-larut, negosiasi isu
sosial-ekonomi di aras bilateral relatif lebih mudah dicapai sehingga
implementasi konkretnya dapat segera dirasakan rakyat.
Namun, apakah dengan demikian diplomasi multilateral tidak memberi
manfaat? Dalam konteks ini, tak perlu kiranya mendikotomikan bilateral dan
multilateral. Justru keduanya harus saling melengkapi (complementary). Bagaimanapun forum multilateral sarat dengan
program pembangunan. Tinggal isu mana, dari sekian banyak isu yang dibahas,
yang harus dipilih sehingga diplomasi memberi manfaat langsung kepada rakyat.
Singkat kata, masalahnya bukan multilateral atau bilateral, melainkan
lebih pada pilihan isu. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen untuk kerja,
kerja, kerja, untuk rakyat, rakyat, rakyat, diplomasi harus memprioritaskan
isu sosial-ekonomi. Ketika diplomasi hendak dibumikan, didekatkan dengan
rakyat, ia harus mengedepankan isu sosial-ekonomi yang konkret bermanfaat
bagi rakyat.
Permintaan
informasi
Pada tataran bilateral, diplomasi yang paling cepat dirasakan
manfaatnya adalah yang terkait TTI (trade,
tourism, investment). Promosi dan pameran dagang, investasi dan
pariwisata, jadi kegiatan rutin setiap perwakilan RI di luar negeri (Kedutaan
Besar dan Konsulat Jenderal). Dari aktivitas diplomasi ekonomi semacam itu,
banyak sekali inquiry (permintaan informasi) mengenai peluang bisnis di
Indonesia dan permintaan untuk dicarikan mitra bisnis di Indonesia.
Semua permintaan dan pertanyaan biasanya disampaikan kepada kementerian
teknis terkait, Kadin, dan asosiasi usaha (pusat dan daerah). Sejatinya
inquiry itu adalah peluang. Dari praktik selama ini, fasilitasi Kemlu dan
perwakilan RI hanya sebatas pada menyampaikan inquiry kepada pihak terkait,
tanpa ada tindak-lanjut di dalam negeri.
Jika Kemlu ingin diplomasinya membumi dan memberi rakyat manfaat
langsung, tak usah jauh- jauh, cukup menindaklanjuti tiap inquiry dengan koordinasi bersama
kementerian terkait, Kadin, dan asosiasi sehingga tercapai kesepakatan
bisnis. Inilah salah satu fungsi diplomasi, yaitu mencari peluang dan
match-making.
Diplomasi membumi pun dapat digenjot di forum multilateral. Mitos
selama ini mempersepsikan negosiasi di forum multilateral hanya berkutat pada
norms setting dan kesepakatan kebijakan makro-politik, tidak konkret.
Padahal, sejatinya forum multilateral sarat dengan kesepakatan mengenai
bantuan pembangunan sosial dan ekonomi.
Tengok, misalnya, UNDP atau GEF (Global
Environment Fund). Kedua skema bantuan pembangunan ini banyak mengalirkan
bantuan bagi negara berkembang untuk program pembangunan sosial-ekonomi dan
lingkungan hidup. Diplomat bisa membumikan diplomasi dengan mengidentifikasi
program bantuan pembangunan UNDP dan GEF yang relevan dengan program
pembangunan Kabinet Kerja dan disampaikan kepada kementerian terkait agar
ditindaklanjuti hingga implementasi.
Ketika diplomasi membumi, Kemlu harus menetapkan prioritas pada isu
sosial-ekonomi tanpa meninggalkan isu lain. Jika diplomasi hendak didekatkan
dengan rakyat, Kemlu harus mampu menindaklanjuti setiap inquiry TTI dan
peluang yang diperoleh di luar negeri sampai tahap kesepakatan bisnis antara
pelaku usaha domestik dan negara sahabat. Ketika ada niat untuk membuat
diplomasi bermanfaat bagi rakyat, Kemlu harus mendomestikasi kesepakatan
bantuan pembangunan multilateral untuk mendukung program pembangunan
nasional. Hanya dengan membangun koneksitas antara peluang di luar negeri dan
tindak lanjut dalam negeri, diplomasi akan membumi dan memberikan manfaat
bagi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar