Arah
Partai Golkar
Yorrys Raweyai ; Ketua DPP Partai Golkar
|
KOMPAS,
13 November 2014
Politik
internal Partai Golkar saat ini terus bergolak. Ini sebenarnya dinamika wajar
sebuah partai besar, tetapi menjadi lebih panas akibat silang pendapat
tentang eksistensi dan arah Partai Golkar ke depan.
Kegagalan
Partai Golkar mencapai target politik dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden 2014—meski bersama Koalisi Merah Putih kini menguasai
parlemen—sebenarnya telah menyisakan persoalan besar.
Persoalan
ini mengurai sejauh mana kinerja politik internal partai yang juga
menempatkan Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai mandataris Musyawarah Nasional
Partai Golkar 2009.
Kegagalan
Partai Golkar dalam mencapai seluruh target pada tahun politik 2014 bukanlah
semata kegagalan yang datang secara tiba-tiba.
Kegagalan
tersebut lahir dari serangkaian program agenda Catur Sukses, mekanisme dan
manajemen internal kepartaian yang tidak berjalan baik. Meski demikian,
kegagalan tersebut tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
pembelajaran tentang bagaimana merespons situasi politik yang dinamis.
Sebaliknya,
berbagai evaluasi kritis direspons dengan reaksi emosional, sepihak, dan
pragmatis. Hal itu terlihat dari berbagai kebijakan Partai Golkar yang tidak
mencerminkan dirinya sebagai partai politik modern, terbuka, dan demokratis.
Kebijakan-kebijakan
strategis partai di-drive dan
dihasilkan berdasarkan pertimbangan elitis tanpa mempertimbangkan aspirasi
komponen Partai Golkar pada tataran bawah (grass root).
Pada
kenyataannya, sejumlah kebijakan menuai kegagalan. Tidak hanya agenda besar
Partai Golkar untuk meloloskan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden, bahkan
sekadar menjadikannya calon wakil presiden pun tidak mampu. Pada akhirnya,
dukungan kepada calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan
Hatta Rajasa tidak maksimal.
Ironisnya,
aspirasi kritis yang memunculkan perbedaan pandangan ditanggapi dengan sikap
reaktif hingga memosisikan beberapa pengurus Partai Golkar yang dipilih
secara demokratis sebagai bentuk penentangan.
Klimaksnya,
dua kader Partai Golkar yang terpilih secara demokratis dalam Pemilihan
Legislatif 2014, Agus Gumiwang dan Nusron Wahid, memperoleh sanksi pemecatan
karena mereka mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden
2014.
Perbedaan
pilihan politik yang bersumber dari ide dan gagasan rasional seharusnya
direspons dengan memberikan kesempatan kepada kader untuk menjelaskan pilihan
sebagai bentuk pembelaan diri.
Sebab,
pilihan politik tersebut merupakan kritik bagi Partai Golkar yang justru
menetapkan pilihan pada calon presiden dan calon wakil presiden yang belum
memiliki kejelasan manfaat dan mudarat bagi Partai Golkar ke depan.
Pemecatan
dengan alasan perbedaan pilihan politik telah menafikan eksistensi Partai
Golkar dengan ”paradigma baru” yang disandangnya. Perbedaan politik tidak
lagi dipandang sebagai dinamika politik yang demokratis, tetapi ancaman yang
seakan-akan dapat meruntuhkan eksistensi Partai Golkar di mata publik.
Penyelamatan partai
Sejumlah
kebijakan Partai Golkar yang dihasilkan dalam masa kepemimpinan Aburizal
Bakrie tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai pada tahun politik
2014. Elitisme dan pragmatisme kepartaian yang cukup mentradisi menampakkan
wajah Partai Golkar yang tidak lagi aspiratif terhadap berbagai masukan yang
justru lahir dari rahim konstituennya.
Setelah
kisruh pemecatan menuai polemik dan kontroversi, Partai Golkar turut
mendorong pengesahan RUU Pilkada yang mengembalikan kewenangan pemilihan
gubernur, bupati, dan wali kota di tangan DPRD. Sebuah keputusan yang
berpotensi mencederai, memasung, dan mengembalikan tradisi rezim otoritarian
masa lalu.
Pemecatan
terhadap Agus Gumiwang dan Nusron Wahid dan keputusan untuk mendukung pilkada
lewat DPRD tentu saja mengeliminasi potensi suara Partai Golkar ke depan.
Tidak
hanya itu, keputusan sepihak elite Partai Golkar yang me-reshuffle para ketua
dewan pimpinan daerah (DPD) II yang tidak
sejalan dengan kebijakan pragmatis Partai Golkar pun secara langsung akan
memengaruhi keterwakilan suara Partai Golkar pada tingkar akar rumput di
daerah.
Perilaku
politik elite Partai Golkar sudah mencerminkan perilaku otoriter dan
despotik. Kesewenang-wenangan tidak sekadar menggerus wajah Partai Golkar,
tetapi juga menyisakan kekecewaan bagi sebagian besar komponen Partai Golkar
yang terepresentasi di tingkat bawah melalui peran vital ketua DPD II.
Kondisi
inilah yang semakin menggerus kepentingan Partai Golkar ke depan. Upaya
membangkitkan gairah dan energi dari keterpurukan akan menuai jalan terjal
mengingat potensi dan mesin kepartaian semakin lama semakin terdegradasi oleh
kebijakan yang salah arah. Kondisi ini juga telah mendegradasi daya saing dan
nilai tawar Partai Golkar.
Dinamika
internal Partai Golkar yang semakin berkembang menunjukkan bahwa kondisi ini
tidak lagi cukup dipandang sebelah mata, atau bahkan sebagai rongrongan dan
ancaman, melebihi maksud dan itikad baik yang tulus demi kebaikan Partai Golkar
masa datang.
Pada
gilirannya, kondisi ini memerlukan penyelamatan yang signifikan. Mekanisme
dan manajemen kepartaian memerlukan ”suasana baru”. Penyelamatan itu hanya
bisa dilakukan dengan membersihkan seluruh anasir yang merupakan bagian dari
kekeliruan selama ini.
Agenda
penyelamatan Partai Golkar inilah yang perlu segera dilakukan melalui agenda
Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar. Munas ke-9 menjadi tonggak awal
konstitusional untuk membangun kembali serpihan-serpihan keterpurukan Partai
Golkar demi kejayaan masa depan.
Momentum
itu pula yang akan menjadi titik balik bagi perbaikan manajemen internal
kepartaian yang berperan dan berperilaku untuk kepentingan partai, bukan
kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar