Sabtu, 01 November 2014

“Quo Vadis” Kombatan Indonesia

“Quo Vadis” Kombatan Indonesia

Noor Huda Ismail  ;  Alumnus Pondok Pesantren Ngruki dan Dosen Mata Kuliah Religion as Culture in the Malay World di Monash University, Melbourne, Australia
KOMPAS, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SALAH satu agenda jangka panjang yang perlu terencana dan sistematis bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah bagaimana negara harus menyikapi dampak dari keterlibatan diaspora Indonesia di dalam konflik mondial seperti di Irak dan Suriah. 

Berdasarkan data Security Council pada 24 September 2014, dari sekitar 15.000 pria dan beberapa wanita dari 81 negara yang telah pergi ke Irak dan Suriah, serta diduga bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan Jabhat al-Nusra, terselip jumlah relatif kecil dari Asia Tenggara. Mungkin tak lebih dari 300 orang. Mayoritas orang Asia Tenggara ini adalah Indonesia.

Sementara data resmi Kepolisian Negara RI menyebutkan 56 orang telah teridentifikasi. Data ini diperoleh berdasarkan interogasi polisi terhadap beberapa kombatan Indonesia yang telah tertangkap, juga beberapa pengakuan mereka yang telah kembali ke Tanah Air.

Namun, melalui ”chatter” (istilah dalam intelijen yang berarti obrolan di internet yang diduga dari para pelaku atau jaringan yang dekat dengan pelaku) diduga ada 200-an orang Indonesia yang telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk alasan non-kemanusiaan. Dari jumlah itu, diperkirakan  50-an orang telah kembali ke Tanah Air dan 40-an dari Malaysia, Singapura, dan Filipina juga sudah kembali.

Monitoring chatter ini salah satunya didapatkan dari kombatan bernama Lotfie Ariffin. Ia adalah mantan politikus Malaysia dan veteran kombatan perang Afganistan pada 1980-an. Sebelum tewas dalam serangan rudal oleh pasukan rezim Suriah di Hama, pertengahan September 2014, ia secara teratur mem-posting foto dirinya di Facebook dengan pejuang asing lainnya, terutama Malaysia.

Perilaku para kombatan Indonesia tak jauh berbeda. Mereka juga rajin mem-posting status mereka di Facebook menggunakan nama samaran dan menutupi wajah mereka. Namun, pertengahan tahun ini, NIIS meluncurkan video perekrutan melalui Youtube dengan bahasa Indonesia, dibintangi orang Indonesia dengan menggunakan ”nom de guerre” Abu Muhammad al Indonesi. Kombatan bernama asli Bachrumsyah itu mengajak umat Islam Indonesia bergabung dan bersumpah setia kepada NIIS.

Dengan adanya serangan udara pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat terhadap basis NIIS di Suriah dan Irak, beberapa kombatan asing, termasuk Abu Muhammad al Indonesi, mungkin akan tewas. Namun, jika ia dan teman-temannya selamat, akankah kembali ke Tanah Air dan balas dendam terhadap warga negara dari anggota koalisi di mana pun mereka berada, seperti yang pernah difatwakan oleh Osama bin Laden tahun 1998?

Mereka yang kembali

Thomas Hegghammer dalam American Political Science Review edisi Februari 2013 menuliskan bahwa tidak lebih dari satu dari sembilan kombatan asing diidentifikasi antara tahun 1990 dan 2010 kembali dan kemudian melakukan kekerasan politik di Barat.  Namun, dalam risetnya, ia juga mengatakan bahwa pengalaman para kombatan asing di medan pertempuran menjadi salah satu pendorong terkuat keterlibatan mereka dalam kekerasan domestik.

Memang narasumber Hegghammer hanya kombatan dari negara Barat. Namun, wawancara penulis dengan para eks kombatan Indonesia menunjukkan pola serupa: hampir semua aksi kekerasan selama 12 tahun terakhir ini direncanakan dan dilakukan oleh para veteran kombatan wilayah konflik. Bahkan, mereka yang memutuskan untuk meninggalkan terorisme dan menyatakan menyesal terhadap aksi-aksi mereka sering masih merasa rindu untuk terlibat kembali dalam konflik mondial.

Bagi mereka, waktu terbaik dari kehidupan mereka adalah ketika berlatih dengan senjata di Afganistan atau berjuang di hutan Filipina. Sebab, pada saat itu mereka merasa menemukan arti hidup yang sebenarnya, yaitu berjuang untuk menghadapi musuh yang jelas. Sementara di dalam kehidupan baru mereka, batas antara siapa kawan dan siapa lawan telah memudar.

Di antara mereka pun masih percaya bahwa mereka memiliki kewajiban membalas dengan kekerasan kepada setiap orang ataupun institusi negara yang terlibat dalam memerangi umat Islam, dan jihad bersenjata sebagai ”jihad fardiah” atau kewajiban pribadi yang tidak memerlukan izin dari pemimpin mereka.

Lalu kenapa negara dan masyarakat harus bisa memberikan kesempatan kedua dengan rasa welas asih kepada para eks kombatan yang ingin menata hidup baru dengan menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat bagi sesama?  Ada dua alasan utama. Pertama, tidak setiap eks kombatan asing itu akan membawa dampak bahaya. Mayoritas dari mereka ingin kembali ke masyarakat karena berbagai alasan, yang umumnya karena rasa kecewa karena berbeda antara yang mereka bayangkan dan realitas di lapangan.

Kedua, setiap penilaian ancaman dari mereka yang kembali bergantung pada kombinasi motivasi, kemampuan, dan niat. Kita harus mampu menjelaskan tiga pertanyaan: mengapa mereka pergi; apa yang mereka lakukan di sana; dan mengapa mereka pulang?

Untuk mencari jawaban itu, negara tidak cukup mengedepankan kekerasan sebab hanya akan mendaur ulang rasa kebencian dan balas dendam. Negara perlu merangkul seluruh lapisan masyarakat, mulai dari tokoh agama, pendidik, hingga penggiat masyarakat madani, untuk bersama-sama memberikan harapan baru bagi mereka yang telah kembali.

Pada saat yang sama, negara perlu meningkatkan sumber daya manusia di tataran akar rumput dengan  menyuntikkan harga diri, kemampuan berpikir kritis bagi anak muda, sehingga mereka dengan sendirinya menangkal propaganda kelompok kekerasan yang telah menembus batas negara-bangsa karena adanya globalisasi dan teknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar