Sabtu, 01 November 2014

Perang Jokowi Melawan Korupsi

Perang Jokowi Melawan Korupsi

Refly Harun  ;  Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
MEDIA INDONESIA, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KORUPSI masih menjadi penyakit akut bangsa ini. Sepuluh tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), indeks persepsi korupsi Indonesia tetap di bawah tiga. Artinya, Indonesia masih terkategorikan negeri yang sangat korup. Presiden Jokowi dan para menteri yang baru dilantik pada 27 Oktober lalu tidak boleh berdiam diri. Mereka semua harus menjadi bagian dari pemecahan masalah (part of solution). Para menteri itu, terutama tidak boleh menjadi bagian dari masalah (part of problem). Apalagi sampai dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu hari nanti, seperti halnya tiga menteri Presiden SBY yaitu Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik. Belum lagi pejabat-pejabat eselon I kementerian yang juga ditangkap KPK, yang menunjukkan menteri tempat pejabat tersebut bernaung sudah gagal.

Berikut beberapa saran kecil yang mudah-mudahan bisa berdaya kerja (workable) bagi Presiden Jokowi dan kabinet untuk berperang melawan korupsi pada 100 hari pertama. Tidak perlu berdalih bahwa kabinet kerja tidak hanya untuk 100 hari pertama. Tunjukkan saja ada tren positif dalam 100 hari pertama tersebut. Rakyat akan percaya dan terus mendukung bila perubahan itu dirasakan. Itulah perwujudan nyata dari revolusi mental tersebut.

Mulai dari istana

Pertama, dimulai dari diri Presiden Jokowi. Lantai kotor tidak mungkin disapu oleh sapu yang juga kotor, atau piring kotor tidak mungkin diputihkan oleh air yang juga kotor, begitulah tamsilnya. Presiden harus mendeklarasikan secara terbuka harta kekayaan yang ia miliki. Ia harus berjanji, selama menjabat sebagai presiden tidak akan melakukan korupsi. Tidak akan memperkaya diri sendiri atau kerabatnya dengan cara yang menyimpang.

Presiden juga harus melarang keras sanak kerabat terdekatnya untuk memanfaatkan kekuasaan yang ia miliki. Bahkan, bila perlu, melarang mereka untuk berbisnis selama ia menjabat presiden. Di negeri ini, kerabat pejabat yang berbisnis kerap mendapatkan kemudahan. Presiden harus bekerja keras untuk memberikan contoh bahwa daerah steril korupsi ialah lingkungan kepresidenan. Kantor kepresidenan harus menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi. 
Tanpa keteladanan itu sulit menyebarkan serum antikorupsi ke unit-unit pemerintahan lain. Logikanya sederhana, bila kantor presiden saja penuh dengan mafia korupsi, apatah lagi unit-unit pemerintahan yang lain.

Kedua, semua menteri dan semua anggota kabinet diberi mandat untuk membersihkan lingkungan kementerian dari virus-virus korupsi selama 100 hari pertama menjabat. Mulai dari lingkaran terdekat, para pejabat eselon I setingkat sekretaris jenderal atau direktur jenderal, hingga lingkaran paling jauh yang selama ini nasibnya abai diperhatikan seperti tukang sapu, tukang parkir, satpam, dan pekerja-pekerja kecil lainnya.

Komitmen 100 hari itu harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan dengan strategi yang jitu. Reward dan punishment diperlakukan dengan tegas dan keras. Mereka yang terbukti masih melanggar harus dihukum bila perlu sampai dikeluarkan. Semua karyawan, misalnya, diperintahkan untuk menandatangani fakta antikorupsi. Bila terbukti melakukan korupsi, mereka siap dipecat.

Menteri yang terindikasi gagal melaksanakan program pembersihan yang diindikasikan dengan adanya perubahan signifikan dalam 100 hari pertama harus pula menerima punishment, yaitu diberhentikan dari jabatannya. Karena itu, mereka juga harus menandatangani fakta antikorupsi, juga dengan ancaman pemecatan bila terbukti melakukan korupsi. Untuk itu harus dibuat kesepakatan, sanksi pemecatan tersebut bisa langsung diterapkan tanpa harus menunggu terlebih dulu formalisme hukum yang kerap menghambat pemberantasan korupsi, yaitu putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). 
Secara teoretis, sebagai kepala kekuasaan eksekutif tertinggi, presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya, dengan atau tanpa persetujuan sang menteri.

Ketiga, Presiden harus menjalin sebuah koalisi besar, sebuah gerakan rakyat melawan korupsi. Untuk menghadapi serangan balik para koruptor dengan kekuatan financial yang dimiliki, para koruptor dan pengusaha hitam berpotensi membangun kekuatan perlawanan. Misalnya, mereka dapat membeli media massa, baik cetak maupun elektronik, untuk menyuarakan kepentingan mereka. “Kita tentu saja juga harus mengakui bahwa korupsi juga ada dalam profesi jurnalisme,” ujar Jeremy Pope (2003: 223). Mereka juga dapat membeli massa untuk berdemonstrasi menentang sang presiden.

Komitmen yang tidak lip service untuk memberantas korupsi, Presiden Jokowi akan lebih mudah mendapatkan dukungan massa atau kelompok massa yang selama ini pun geram dengan fenomena korupsi. Lembaga swadaya masyarakat, kelompok mahasiswa, para pengusaha putih, intelektual perguruan tinggi yang belum terbeli, dan anasir-anasir putih dalam parpol, ialah kelompok-kelompok potensial yang dapat berdiri di belakang presiden.

Keempat, the last but not least, Presiden tetap harus mencontohkan pola hidup sederhana. Korupsi kerap muncul dari pola hidup pamer dan konsumtif yang dicontohkan pemimpin kepada bawahannya, orangtua kepada anaknya, orang kaya kepada yang miskin, dan masyarakat kepada lingkungannya. Lihatlah para calon menteri yang datang ke Istana menemui Jokowi, hampir semua pamer mobil mewah dan wah.

Melihat orang lain hidup wah, sering terlintas di hati untuk pula mendapatkannya. Kesederhanaan dari seorang presiden akan menjadi contoh kuat, mudah-mudahan dapat membunuh keinginan untuk hidup enak dengan jalan pintas.

Korupsi memang sudah berurat berakar. Kanker ganas itu sudah hampir membawa kematian bagi bangsa ini. Susah membunuh penyakit yang satu itu, kecuali dengan sebuah perang besar dan dahsyat yaitu dengan keteguhan. Saya masih yakin, dengan keteguhan dan komitmen yang kuat, korupsi bias diberantas. Tidak ada rintangan yang tidak bisa diatasi dengan keteguhan dan komitmen yang kuat. Selama ini, dua hal itulah yang absen dari bangsa ini, dari kita, dan terutama dari pemimpin-pemimpin kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar