Sabtu, 01 November 2014

Tantangan Pemberantasan Kemiskinan

Tantangan Pemberantasan Kemiskinan

Ivan Hadar  ;  Direktur Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education); Koordinator Target MDGs 2007-2010
MEDIA INDONESIA, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SEKITAR 27 tahun lalu, tepatnya pada Oktober 1987, dilapangan Trocadero, Paris, sekitar 100.000 pembela HAM berkumpul menghormati para korban kelaparan dan kekerasan. Sebuah prasasti ditorehkan melalui tekad mereka menolak kekerasan dan kemiskinan. Semboyannya, Bangkit dan Suarakan! Kemudian PBB berinisiatif membakukan sem boyan tersebut dalam melawan kemiskinan dan berbagai bentuk pemiskinan.

Menurut Bank Dunia (22/9), tingkat penurunan kemiskinan di Indonesia sebesar 0,7% pada kurun waktu 2012-2013 ialah yang terkecil dalam satu dekade terakhir. Pada saat bersamaan, ketimpangan juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir yang berpotensi mencip takan konflik sosial. Sementara sekitar 68 juta penduduk Indonesia tetap rentan untuk jatuh miskin. Pendapatan mereka hanya sedikit lebih tinggi jika dibandingkan de ngan keluarga miskin. Ada fakta lain yang memprihatinkan.

Pada 2011, misalnya, ketika kete rangan pemerintah yang menyebut kemiskinan di negeri ini turun satu juta jiwa, ditambah embel-embel mereka yang hampir miskin naik 5 juta jiwa, laporan ADB menyebut: “...ketika kemiskinan di Asia dalam 5 tahun terakhir mengalami penu runan, terdapat tiga negara yaitu Indonesia, Pakistan, dan Nepal yang mengalami pertambahan penduduk miskin. Hal tersebut tidak seimbang jika dibandingkan kenaikan GDP, sehingga menyebabkan semakin me ningkatnya kesenjangan sosial“ (ADB, 2011).

Ternyata, perbedaan data kemiskinan pemerintah dan lembaga internasional tersebut disebabkan oleh kriteria batas kemiskinan yang berbeda. ADB menggunakan angka US$1,25 (saat ini, sekitar Rp15.000), lebih tinggi dari kriteria pemerintah (Kemenkeu) yang menggunakan angka Rp7.000 per hari sebagai batas kemiskinan.Angka Rp 7.000 per hari atau sekitar Rp 230 ribu/ bulan. Menggunakan kriteria ADB, apalagi Bank Dunia yang menetapkan angka US$2 per hari, persentase kemiskinan Indonesia mencapai angka fantastis 45%-60% total penduduk.

Paradigma

Terlepas dari kriteria tersebut, terdapat dua paradigma yang berseberangan tentang cara pemberantasan kemiskinan. Paradigma pertama berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi ialah resep terbaik karena akan menyerap tenaga kerja. Meski kenyataan empiris sering kali memunculkan bukti berbeda akibat maraknya cara berproduksi industrial yang padat modal dan hemat tenaga kerja.
Paradigma yang berseberanganya ialah keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu memperoleh penghasilan. Usaha mikro dan kecil diyakini sebagai pendukung utama perekonomian rakyat, sehingga lebih mampu menyejahterakan.

Meski tidak ada resep instan dan dipastikan manjur, beberapa hal berikut ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi pemerintahan baru dalam kebijakan pemberantasan kemiskinan. Pertama, manusia, kesejahteraan dan pengamanan masa depannya harus selalu menjadi fokus utama kebijakan pembangunan. Kebijakan tersebut bukan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita baik kemampuan bersaing ataupun integrasi ke dalam pasar dunia.

Kedua, lewat kebijakan dan regulasi, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan baik antara usaha mikro-kecil dengan usaha menengah-besar padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri. Ketiga, pemberantasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus memperhatikan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara dalam pasar dunia.

Keempat, negara berkembang dengan potensi pasar luas seperti halnya Indonesia sering kali akan ditekan oleh lembaga multilateral serta negara adidaya untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Bila hal ini dituruti, secara jangka pendek berdampak pada anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah orang miskin.

Reforma agraria

Mayoritas penduduk miskin di negeri ini bertempat tinggal di daerah pedesaan.Oleh karena itu, tercapainya target pemberantasan kemiskinan amat tergantung pada keberhasilan pembangunan pedesaan. Sebagai pembelajaran penting dari pengalaman mancanegara, aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi pembangunan pertanian (Brandt/Otzen, 2002).

Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen dan asumsinya tentang entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses (untuk memproduksi) makanan (Sen, 1981).

Usai Perang Dunia II, tiga negara Asia yang melakukan land reform dengan cukup berhasil adalah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Petani penyewa berubah status menjadi pemilik, sementara para tuan tanah dianjurkan untuk menginvestasikan hasil ganti rugi atas tanahnya ke dalam sektor industri. Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi berdampak positif.

Reformasi agraria ialah kewajiban penegakkan HAM oleh negara, yaitu hak atas makanan.Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar itu dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumbersumber produktif lainnya agar mereka bisa menyediakan sendiri makanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar