Kamis, 20 November 2014

Menggagas Pendidikan Khas Indonesia

                     Menggagas Pendidikan Khas Indonesia

Tans Feliks  ;   Guru Besar FKIP Universitas Nusa Cendana;
Peserta Senior Research Program Fulbright 2008-2009 di Amerika Serikat
KOMPAS, 18 November 2014

                                                                                                                       


SISTEM pendidikan Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi saat ini, adalah warisan pendidikan gaya lama. Sistem ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman ketika pembagian kerja dalam masyarakat sudah sangat spesifik.
Karena itu, yang dibutuhkan adalah individu yang (sangat) kompeten dengan karakter yang (sangat) terpuji dalam bidang yang sangat khusus itu. Namun, di sekolah anak-anak kita tetap saja diharuskan belajar banyak hal, seolah-olah mereka akan bekerja dalam banyak bidang.
Dampak mempelajari banyak hal adalah membuat anak-anak kehilangan fokus, yang pada gilirannya berdampak pada, misalnya, semangat belajar menurun, daya juang dan daya saing lemah, mutu rendah, pengangguran setelah belajar secara formal bertahun-tahun, dan penghalalan segara cara untuk mencapai tujuan.
Ketidakmampuan lembaga pendidikan formal seperti itu mendorong pemikir pendidikan, seperti Ivan Illich (Deschooling Society, 1976, Harmondsworth: Penguin Books) mendesak supaya pendidikan formal seperti sekarang diganti dengan ”jejaring belajar”. Bentuknya antara lain penciptaan pembelajaran informal yang efektif-kondusif dengan bantuan individu tertentu yang kompeten dalam bidang yang dipelajari.
Selain itu, banyak orang yang merasa bahwa pendidikan formal tidak akan pernah mampu membuatnya lebih baik sehingga meninggalkan pendidikan formal secara sengaja. Sebagai gantinya, mereka belajar secara mandiri dan hasilnya mengagumkan. Sebutlah, misalnya, Gunawan Mohammad dan Emha Ainun Nadjib. Dengan belajar mandiri, Gunawan sukses menjadi wartawan dan Emha budayawan.
Pendidikan formal yang terbaikan itu juga terlihat dalam diri banyak orang yang sukses justru setelah mereka drop out, seperti Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar, dan Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Mereka adalah orang yang sukses tanpa pendidikan formal tinggi. Mereka pun tidak berusaha kembali ke dunia pendidikan formal, apalagi mengelabui masyarakat dengan membeli ijazah palsu.
Pendidikan khas
Fenomena seperti itu seharusnya mendorong bangsa ini segera merombak secara substansial pembelajaran gaya sekolah formal yang kurang efektif. Sekolah kita harus membiarkan anak-anak belajar secara terfokus. Di SD, mereka cukup belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Ditambah, misalnya, dengan mata pelajaran agama, untuk pembentukan karakter yang berterima secara universal, dan beberapa mata pelajaran yang berkaitan dengan keterampilan, seperti menyanyi, menari, atau olahraga sesuai bakat dan minat siswa.
Pada level pendidikan yang lebih tinggi, yaitu ketika bakat-potensi anak-anak itu mulai terlihat, mereka pun belajar hanya mata pelajaran yang mereka minati atau mata pelajaran yang sesuai dengan bakat-potensi mereka.
Dalam konteks ini, Indonesia harus berani tampil beda dalam mengurus sistem pendidikan formal yang khas dengan antara lain mendirikan sekolah menengah pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas (SMP dan SLTA) yang tidak lagi bersifat umum seperti sekarang, tetapi sekolah khusus seperti SMP Matematika, SMP Bahasa Inggris, SMP Fisika, dan seterusnya.
Untuk mendukung pembelajaran khas seperti itu, kebebasan bagi guru untuk mendidik dan menentukan lulus atau tidaknya seorang murid dari jenjang pendidikan tertentu harus bersifat mutlak. Karena itu, UN harus dihapus; sekolah harus diberi wewenang penuh untuk menyusun kurikulum yang pelaksanaannya diawasi ketat oleh pemerintah pusat dan daerah, juga lembaga lain yang terkait pendidikan.
Lebih kompeten
Dengan belajar secara lebih terfokus, tidak mustahil akan lahir banyak genius baru dari rahim pendidikan formal bangsa ini. Kalau bukan genius, mereka pasti lebih kompeten, lebih mandiri, dan lebih kompetitif dengan karakter yang lebih baik karena terdidik dalam suasana yang bebas-merdeka, pas dengan bakat dan minatnya (baca, misalnya, Carl Rogers, 1983, Freedom to Learn, New York, Merill; Bernie Neville, 2005, Educating Psyche, Melbourne, Flatchat).
Sebaliknya, hasil pendidikan formal yang selama ini sudah dilaksanakan dengan biaya amat tinggi, 20 persen dari APBN/D, akan tetap gagal. Kita tentu tidak menghendaki itu. Kehendak kita adalah bahwa biaya setinggi itu sepadan dengan produk pendidikan formal yang lebih mantap untuk pembentukan bangsa ini menjadi bangsa yang agung. Itu sebabnya, mengapa sistem pendidikan khas Indonesia harus segera dibangun.
Presiden Joko Widodo, yang sudah terbiasa dengan berbagai langkah fenomenal melalui revolusi mentalnya, pasti mampu melakukan perubahan sistem pendidikan itu. Sebab, untuk berubah memang hanya soal mental. Setelah berubah, seharusnya bangsa Indonesia menjadi lebih kompeten dalam mengatasi masalah diri, keluarga, dan bangsa sekaligus berbagai persoalan dunia. Semuanya, via pendidikan khas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar