Nelayan Kita
Sonny Harry B Harmadi ; Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia; Ketua Umum Koalisi Kependudukan
|
KOMPAS,
19 November 2014
PEMERINTAHAN Joko Widodo-Jusuf Kalla menekankan
pembangunan sektor kemaritiman sebagai salah satu fokus Kabinet Kerja. Tampaknya
blusukan menjadi ciri para anggota Kabinet Kerja, termasuk menteri yang
berada di bawah koordinasi Menko Kemaritiman. Namun, sesungguhnya blusukan
akan lebih efektif jika dibarengi dengan pemahaman komprehensif tentang peta
kependudukan Indonesia.
Tujuannya
tentu saja untuk memperoleh gambaran secara jelas kondisi dan karakteristik
penduduk yang menjadi subyek dan obyek kebijakan. Tanpa memahami situasi
makro kependudukan, pemahaman masalah menjadi parsial dan efektivitas
kebijakan kurang optimal.
Nelayan dalam angka
Meskipun
sektor kemaritiman berdimensi luas, mencakup perikanan, energi, pertambangan,
pariwisata, transportasi, dan sebagainya, subsektor perikanan tampaknya perlu
menjadi salah satu fokus kebijakan kemaritiman pemerintah. Gambaran umum
mengenai kehidupan nelayan yang notabene tinggal di kawasan pesisir menjadi
informasi dasar dalam menyusun perencanaan sektor kemaritiman ke depan.
Berdasarkan
data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 (Badan Pusat Statistik) yang
diolah, diketahui bahwa hanya 2,2 persen rumah tangga di Indonesia yang
memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar
1,4 juta kepala rumah tangga nelayan.
Rata-rata
jumlah anggota rumah tangga di Indonesia sekitar empat orang. Maknanya, ada
sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada
kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai nelayan.
Sementara
secara keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,17
juta (hanya 0,87 persen tenaga kerja). Ada sekitar 700.000 lebih nelayan yang
berstatus bukan sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar nelayan tinggal
tersebar di 3.216 desa yang terkategori sebagai desa nelayan (mayoritas
penduduknya berprofesi sebagai nelayan).
Secara
geografis, nelayan ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak
mengherankan mengingat dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan serta
memiliki potensi perikanan sangat besar.
Provinsi
dengan jumlah nelayan paling banyak di Indonesia ialah Provinsi Jawa Timur
(mencapai lebih dari 334.000 nelayan), diikuti Jawa Tengah (lebih dari
203.000 nelayan) dan Jawa Barat (sekitar 183.000 nelayan). Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, dan Aceh berturut-turut menjadi provinsi dengan jumlah
nelayan terbanyak ke-4, ke-5, dan ke-6 di Indonesia. Jumlah nelayan paling
sedikit ditemui di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Maluku Utara.
Ironisnya,
walaupun seafood menjadi salah satu makanan favorit yang mahal, tingkat
kesejahteraan nelayan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
berprofesi bukan sebagai nelayan. Rata-rata pengeluaran nelayan hanya sekitar
Rp 561.000 per bulan, lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bukan nelayan
dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 744.000 per bulan.
Tingkat
upah nelayan juga hanya sekitar Rp 1,1 juta per bulan, sedikit di bawah
pekerja bukan nelayan yang memiliki upah Rp 1,2 juta per bulan. Namun, ada
sedikit kabar menggembirakan, yaitu lebih dari 84 persen rumah tangga nelayan
memiliki rumah sendiri. Bandingkan dengan kenyataan bahwa hanya 79 persen
rumah tangga bukan nelayan yang memiliki rumah sendiri. Meskipun demikian,
data ini sesungguhnya tidak menunjukkan bagaimana kualitas rumah yang
dimiliki nelayan. Kenyataan lain, komunikasi bukan menjadi hambatan bagi para
nelayan karena sekitar 83 persen nelayan memiliki telepon seluler.
Para
nelayan kurang beruntung ditinjau dari aspek pendidikan, dengan hampir 70
persen nelayan berpendidikan sekolah dasar ke bawah dan hanya sekitar 1,3
persen yang berpendidikan tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek
kesehatan para nelayan.
Makna jumlah nelayan
Survei
Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 menunjukkan bahwa sekitar 25 persen nelayan
mengalami gangguan kesehatan dalam satu bulan terakhir saat disurvei.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa gangguan kesehatan tersebut mengganggu
aktivitas mereka mencari nafkah sehingga berdampak pada ekonomi rumah
tangganya. Hanya 54 persen nelayan yang memiliki jaminan kesehatan sehingga
istilah ”sadikin” (sakit sedikit miskin) menjadi problem para nelayan.
Rumah
tangga nelayan juga cenderung memiliki anak lebih banyak dibandingkan dengan
rumah tangga bukan nelayan. Program Keluarga Berencana (KB) jelas penting
bagi kehidupan para nelayan guna meningkatkan kesejahteraan mereka dalam
jangka panjang.
Secara
umum, jumlah tenaga kerja yang memilih pekerjaan sebagai nelayan kurang dari
1 persen dan mereka memiliki kehidupan yang kurang menguntungkan dibandingkan
dengan para pekerja lainnya secara rata-rata. Sementara data Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006 menyebutkan, ada sekitar 6,2 juta
penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan perikanan.
Bagaimanapun,
jumlah nelayan yang sedikit menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia
tidak berorientasi pada laut sebagai sumber penghidupan. Menjadi nelayan
bukanlah pilihan pekerjaan yang menarik karena mungkin nelayan identik dengan
kemiskinan.
Tidak
mengherankan apabila jarang sekali kita mendengar seorang anak bercita-cita
menjadi nelayan. Padahal, kita meyakini bahwa dari laut kita bisa membangun
kesejahteraan. Membangun negara maritim yang tangguh tentunya diawali dengan
membangun nelayan yang sejahtera. Jika menjadi nelayan memberikan jaminan
kesejahteraan, profesi ini dapat menjadi pilihan menarik bagi angkatan kerja
di Indonesia yang berlimpah.
Nelayan
kita terjebak dalam perangkap kemiskinan yang pelik. Mereka tidak memiliki
akses yang memadai terhadap pendidikan dan kesehatan. Mereka juga kesulitan
mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank beranggapan bahwa
pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi (survei Lembaga Demografi di Sulawesi
Utara, 2014).
Hanya
2,34 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang berasal dari perikanan
laut (BPS, 2013). Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB selama periode
2010-2012 bahkan stagnan di angka 2,33 persen.
Kondisi ini jelas jauh dari memadai mengingat luas laut Indonesia
mencapai 3.257.483 kilometer persegi (belum termasuk perairan zona ekonomi
eksklusif/ZEE) dengan panjang garis pantai 81.497 kilometer. Bagaimanapun,
peningkatan kesejahteraan nelayan dan kontribusi sektor maritim terhadap
perekonomian menjadi salah satu barometer penting keberhasilan pemerintahan
JKW-JK dalam membangun Indonesia yang lebih hebat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar