Jangan
Lupakan Pertanian Skala Kecil
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI)
|
KOMPAS,
19 November 2014
PADA Oktober lalu, FAO menerbitkan buku The State of Food and Agriculture 2014:
Innovation in Family Farming. Buku itu mengulas peran penting pertanian
keluarga.
Saya
menyebut pertanian skala kecil karena 75 persen lebih dari mereka menguasai
lahan kurang dari 1 hektar. Meskipun menguasai lahan gurem, mereka berperan
amat penting dalam memberantas kelaparan dan kemiskinan, serta ketahanan
pangan dan gizi. Mereka meningkatkan mata pencarian, mengelola sumber daya
alam, melindungi lingkungan, dan mencapai pembangunan berkelanjutan,
khususnya di pedesaan. Selama ini peran itu diabaikan.
Sampai
saat ini 75 persen warga miskin adalah petani kecil. Porsi petani kecil di
Asia 85 persen, di Indonesia 55 persen. Menggenjot investasi pada pertanian
skala kecil tidak hanya memberi pangan dunia, tetapi juga menyelesaikan
kemiskinan dan kelaparan.
Sekitar
500 juta dari 570 juta petani di dunia adalah petani skala kecil. Sekitar 70
persen kebutuhan makan lebih dari 7 miliar penduduk bumi saat ini disumbang
oleh mereka (Lowder dkk, 2014). Sisanya diproduksi industri yang membentuk
sistem rantai pangan. Bumi akan dilanda kelaparan akut tanpa pertanian skala
kecil.
Hasil
riset ekstensif menunjukkan pertanian keluarga/kecil jauh lebih produktif
dari pertanian industrial sebab mengonsumsi sedikit energi, terutama apabila
produksi pangan diperdagangkan di tingkat lokal/regional (Rosset, 1999).
Bukti-bukti
menunjukkan pertanian skala kecil dan terdiversifikasi bisa beradaptasi dan
pejal. Ini sekaligus model keberlanjutan yang lebih ramah dari kearifan lokal
dan keragaman hayati. Sejak 1960-an, petani mengembangkan 1,9 juta varietas
tanaman. Pada saat sama, industri pemulia tanaman hanya mengembangkan 72.500
varietas.
Pertanian
skala kecil lebih ramah terhadap perubahan iklim (Altieri, 2008). Di banyak
negara berkembang, tak terkecuali Indonesia, peran pertanian skala kecil
mengalami peminggiran luar biasa. Sejak 1990-an, mengikuti saran Bank Dunia
dan IMF, negara berkembang menyunat investasi pertanian, mempromosikan led-export production. Pertanian
negara berkembang berubah radikal: dari terdiversifikasi dalam skala
kecil-lokal menjadi model ekspor-industrial-monokultur yang digerakkan
korporasi global. Petani pun merana, impor pangan meledak dan kelaparan
meruyak.
Model
pertanian ekspor industrial monokultur yang diklaim mujarab ternyata bukan
resep ampuh mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Bagi International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and
Technology for Development (IAASTD), model pertanian ekspor industrial
monokultur menghancurkan lingkungan (air dan tanah), mengerosi keanekaragaman
hayati dan kearifan lokal, serta mengekspos warga pada kerentanan tak
terperi.
Krisis
pangan terjadi akibat tali-temali suplai dan stok pangan menyusut, gagal
panen, krisis BBM, perubahan iklim, konversi pangan ke biofuel, dan spekulasi.
Namun, bagi IAASTD, akar terdalam krisis pangan karena pemerintah lupa
mengurus pertanian skala kecil, aturan perdagangan tak adil, dan dumping
negara maju.
Untuk
mengikis kemiskinan, kelaparan, dan degradasi lingkungan, IAASTD menyarankan
agar memperkuat pertanian skala kecil, meningkatkan investasi pertanian
agroekologis, mengadopsi kerangka kerja perdagangan yang adil, menolak
transgenik, memberi perhatian khusus pada kearifan lokal, memberi peluang
sama (kepada warga) agar berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, membalik
akses dan kontrol sumber daya (air, tanah, dan modal) dari korporasi ke
komunitas lokal, serta memperkuat organisasi tani, termasuk hak warga
menentukan sendiri sistem (produksi, konsumsi, dan distribusi) pangan mereka,
yang kesemua poin itu merupakan inti konsep kedaulatan pangan.
Di
Indonesia, peran pertanian skala kecil luar biasa. Peran mereka bisa dihitung
secara sederhana. Produksi padi pada 2013 sebesar 71,29 juta ton gabah. Jika
dikalikan Rp 4.500/kg, nilainya Rp 320,8 triliun. Produksi jagung 18,5 juta
ton. Apabila harganya Rp 4.000/kg, nilainya Rp 74 triliun. Produksi kedelai
0,78 juta ton dengan harga Rp 7.500/kg bernilai Rp 5,85 triliun. Produksi
gula 1,78 juta ton dengan harga Rp 9.000/kg nilainya mencapai Rp 16 triliun.
Hanya dari empat komoditas, jika usaha tani dianggap korporasi, omzetnya Rp
416,67 triliun. Apakah ada kekuatan korporasi di Indonesia sebesar itu?
Hebatnya, mereka pakai modal sendiri, bahkan jika gagal panen, ditanggung
sendiri.
Peran Negara
Apa
peran negara dalam membantu petani kecil? Boleh dikatakan minimal, kalau
tidak disebut tak ada. Petani dibiarkan gurem. Akses terhadap lahan nyaris
tertutup. Bendungan, irigasi, dan jalan desa rusak. Transportasi dan rantai
pasok yang amburadul membuat produk pertanian tak terangkut. Kalaupun
terangkut, harganya selangit dan tak mampu bersaing dengan produk serupa dari
luar negeri. Petani dan pertanian dicap tidak layak bank. Kredit tidak
mengalir ke desa, ironisnya justru terjadi pelarian modal dari desa ke kota.
Subsidi pupuk dan bibit sering salah sasaran. Saat terkena puso, ganti rugi
hanya janji. Ujung semua itu, produksi petani mahal dan dituding tidak mampu
bersaing. Padahal, itu terjadi bukan sebab, tetapi akibat: akibat kebijakan
yang meminggirkan.
Sebaliknya,
peran negara dalam membantu korporasi swasta cukup besar. Salah satunya bisa
dilihat dari perkebunan sawit. Lewat Program Perkebunan Besar Swasta Nasional
pada awal 1980-an, perkebunan kelapa sawit mendapat subsidi suku bunga,
kemudahan lahan, dan penyediaan tenaga kerja tak langsung lewat program
transmigrasi. Selama 1991-2011, lahan perkebunan sawit besar naik dari
288.000 hektar jadi 5,23 juta hektar (naik 14 persen per tahun). Sebaliknya,
total luas lahan perkebunan rakyat naik dari 10,7 juta hektar jadi 15,4 juta
hektar (naik 1,7 persen per tahun). Ironisnya lagi, sebagian kebun sawit
dimiliki asing. Data ini menunjukkan pengelolaan lahan bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960. Mengundang investor, termasuk asing,
dan memberi lisensi ribuan hektar tak salah, tetapi menutup akses lahan
petani itu salah besar dan mengusik nurani.
Apa
makna dari fenomena ini? Dalam 400 tahun terakhir evolusi pembangunan selalu
dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subyek pembangunan.
Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas
lebih tinggi daripada petani. Padahal, bukti empiris menunjukkan sebaliknya.
”Sesat pikir” ini hanya bisa diakhiri apabila pertanian dan petani
kembali dipandang sebagai pelaku utama: bukan saja tulang punggung ekonomi
puluhan juta warga, melainkan juga penjaga stabilitas sosial-politik dan
keutuhan NKRI. Lengsernya Soekarno dan Soeharto, diakui atau tidak, disulut
perut warga yang lapar. Apa jadinya jika jutaan petani (kecil) emoh bertani? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar