Selasa, 04 November 2014

MK Harus Bersih

MK Harus Bersih

Refly Harun  ;  Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 25 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Waktu telah menunjukkan lebih dari pukul 01.00 WIB ketika saya sadar bahwa hari ini adalah tanggal 25 Oktober. Hari ini, empat tahun yang lalu, saya menulis artikel di Harian Kompas dengan judul “MK Masih Bersih?”. Saat menulis artikel itu, saya masih ingat waktunya, juga dinihari, 20 Oktober 2010.

Tulisan itu sebenarnya respons terhadap pernyataan Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu, pada tanggal 19 Oktober 2010, bahwa lembaga yang dipimpinnya masih bersih 100 persen. Sebagai wujud kecintaan terhadap MK, karena pernah menjadi staf ahli MK selama empat tahun (2003-2007), saya mengingatkan Pak Mahfud bahwa gosip tentang MK yang sudah mulai masuk angin sering saya dengar. Tidak itu saja, dalam tulisan, saya menyatakan, “…saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar AS senilai Rp 1 miliar, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim MK.”

Pagi hari ketika tulisan itu dimuat, saya ditelepon Pak Mahfud. Dengan nada datar Pak Mahfud menyatakan setuju dengan usulan saya untuk membentuk tim investigasi. Bahkan, Pak Mahfud menyatakan tidak hanya tim investigasi internal seperti usulan saya dalam tulisan, tetapi juga melibatkan pihak luar. “Saya minta Mas Refly menjadi ketua timnya,” begitu kurang lebih kata Pak Mahfud.

Setelah berkonsultasi dengan beberapa teman, akhirnya saya menerima permintaan Pak Mahfud itu, kendati belakangan sadar bahwa tim itu dibentuk seperti sengaja untuk ‘menghukum’ saya. Singkat cerita, tim investigasi yang terdiri dari saya, Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjojanto, Bambang Harymurti, dan Saldi Isra itu bekerja selama kurang lebih satu bulan.

Hasilnya disampaikan kepada Pak Mahfud dan kemudian disampaikan pula dalam konferensi pers tanggal 9 Desember 2010. Hasil investigasi itu setidaknya mampu mengungkap kasus lain yang melibatkan panitera pengganti MK yang menerima uang dari pihak yang berperkara, yang membuktikan MK tidak bersih 100 persen. Namun, soal dugaan pemerasan yang dilakukan salah seorang hakim konstitusi tidak terungkap secara utuh lantaran saksi utama menolak bersaksi. Tim hanya menemukan indikasi yang bisa ditindaklanjuti penegak hukum.

Sebagaimana dapat dibaca dari pemberitaan media sekitar akhir Oktober hingga akhir Desember 2010, tulisan saya dan hasil tim investigasi tersebut telah memunculkan gonjang-ganjing pemberitaan, yang celakanya justru malah menyudutkan saya. Banyak makian yang saya terima karena dianggap mafia itu sendiri dan mau merusak MK, terutama bila membaca komentar-komentar pembaca atas berita yang dimuat situs berita seperti detik.com. Bahkan, di twitter baru-baru ini, Triomacan2000 masih juga menulis, “si refly harun itu mafia suap di MK hehe.” Entah siapa itu Triomacan2000.

Sejak kejadian itu, saya banyak ‘dikucilkan’ media. Televisi yang biasanya mengundang saya sebagai narasumber masalah-masalah ketatanegaraan ikut menjauhi. Kalangan MK pun banyak yang ‘membenci’. Sebagai konsultan hukum tatanegara, hampir tidak ada pihak yang mau menggunakan jasa saya, baik sebagai kuasa hukum maupun ahli. Alasan mereka, saya sedang ‘dimusuhi’ MK, tidak strategis menggunakan jasa saya.
Saya pun juga harus tahu diri, situasi memang tidak menguntungkan, hal yang dalam titik tertentu juga masih saya rasakan hingga saat ini. Ada rekan yang bercanda bahwa saya adalah orang yang paling bodoh sedunia karena membakar sendiri lapak atau lumbungnya. Bersikap kritis memang selalu ada harganya. Tapi melawan korupsi memang wajib hukumnya.

Sekali-sekali saya membaca komentar di situs mengapa saya ‘tiarap’. Bagaimana mungkin saya terus berbicara dan menulis. Saya bukan pemilik media yang bisa dengan mudahnya menggunakan media. Kalau tidak ada jurnalis yang bertanya dan mewawancarai, tidak ada televisi yang mengundang, tidak ada media yang memuat tulisan, tentu kita tidak bisa menyampaikan pendapat apa-apa.

Akil Mochtar Ditangkap

‘Hari pembebasan’ itu akhirnya datang juga, yaitu pada tanggal 2 Oktober 2013 menjelang pukul 22.00 WIB. Malam itu, Ketua MK Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ikhwal itu saya dapatkan beritanya dari rekan Saldi Isra yang menelepon untuk mengonfirmasi apakah mendengar berita bahwa AM (Akil Mochtar) ditangkap. Saya katakan tidak tahu.

Betul saja, ketika saya menonton televisi, berita-berita mengenai ditangkapnya Akil menjadi breaking news. Malam itu juga saya dihubungi via telepon dari dua televisi berita yang ingin mengonfirmasi soal kejadian tiga tahun sebelumnya. Malam itu saya seperti merasa bebas setelah terhimpit selama tiga tahun.

Esoknya saya laris manis diundang di beberapa acara televisi, sebagian bahkan harus saya tolak karena tidak bisa semua saya layani. Walau baru tidur dinihari karena mengikuti perkembangan berita tertangkapnya Akil, pukul 06.00 saya sudah live di Berita Satu. Pukul 07.00-nya live di TVOne. Lalu MetroTV juga mewawancarai saya langsung dari KPK pagi itu juga.

Di KPK banyak wartawan yang bertanya baik dari media cetak maupun elektronik/online. Praktis saya baru pulang ke rumah di atas pukul 23.00 setelah mengikuti acara terakhir di MetroTV, kalau tidak salah acara kesembilan yang saya ikuti pada hari itu (3 Oktober 2013).

Tidak Antikritik

Apa yang saya tuduhkan soal pemerasan senilai Rp 1 miliar oleh seorang hakim – yang dalam laporan tim investigasi memang menyebut nama Akil Mochtar—ternyata tidak ada apa-apanya dengan fakta yang yang digali KPK: kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Akil bernilai lebih dari 160 miliar. Sungguh angka yang sangat fantastis.

Kini Akil telah menerima ganjaran dari perbuatannya. Pengadilan tindak pidana korupsi telah memvonisnya dengan hukuman seumur hidup, hukuman tertinggi yang pernah dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta kepada terpidana korupsi sejauh ini. Kendati putusan belum berkekuatan hukum tetap (in kraacht) kiranya sulit bagi Akil untuk lepas dari jerat hukum atas tindak pidana korupsi dan TPPU yang ia lakukan.

Kejadian Akil tentu harus menjadi pelajaran bagi semua hakim konstitusi. Tidak boleh resisten terhadap kritik karena mereka semua adalah negarawan. Negarawan itu orang yang sudah selesai dengan dirinya, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Seorang negarawan harus beyond dari politik sehari-hari dan dari perburuan rente seperti dilakukan Akil, tidak boleh jadi pendendam, tetapi tidak boleh juga imun terhadap kritik.

Terlebih kasus Akil tersebut sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK. Beberapa hari setelah Akil tertangkap, massa dari Maluku yang tidak puas terhadap putusan MK dalam Pemilukada Maluku 2013 mengobrak-abrik ruang sidang pleno saat putusan dibacakan. Hakim-hakim terpaksa membubarkan dan mengevakuasi diri. Tidak pernah bisa dibayangkan sebelumnya kejadian itu bisa terjadi di ruang sidang MK. Saat itu marwah MK benar-benar jatuh ke titik nadir.

Kini sedikit demi sedikit MK sudah mulai pulih. Kepercayaan masyarakat mulai tertanam kembali. Kendati demikian, tidak ada salahnya MK tetap waspada. Tetap hati-hati dengan anasir-anasir korup yang bisa jadi masih bergentayangan dan terus mencari cara untuk tumbuh subur kembali.

Korupsi sering seperti kanker ganas, sudah ditumpas ke akar-akarnya pun bisa muncul kembali bila pengawasan baik internal maupun eksternal mulai mengendor. MK harus benar-benar bersih agar kita tetap dapat terus memelihara asa keadilan terhadap peradilan yang dibangun di era reformasi itu.

Selamat Tahun Baru 1436 Hijriah. Semoga kita berani berhijrah untuk terus berperang melawan korupsi di republik tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar