Selasa, 04 November 2014

Menghindari Zero Sum Game Parlemen-Presiden

Menghindari Zero Sum Game Parlemen-Presiden

Rico Marbun  ;  Staf Pengajar Universitas Paramadina
DETIKNEWS, 23 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Kemeriahan selebrasi yang mengiringi pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober lalu, mungkin adalah yang pertama sepanjang sejarah pemilihan presiden langsung di Indonesia. Namun sebesar apapun gelombang euforia publik, hukum besi politik tidak akan pernah berubah. Legitimasi melahirkan ekspektasi. Semakin menggunung legitimasi, semakin melangit pula ekspektasi.

Realitas Menanti

Kata ‘kerja’ yang diulang berkali-kali oleh Jokowi dalam pidatonya di Senayan dan Monas, menandakan bahwa sang presiden terpilih pun sadar, bahwa janji-janjinya selama ini akan segera ditagih. Hanya saja, sekuat apapun sebuah lembaga kepresidenan dalam sistem presidensial, variabel parlemen akan selalu menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam rumus pengelolaan Negara.

Pada babak inilah realitas politik telah menanti Jokowi. Terlepas dari pakem bahwa peran DPR dalam kerangka koreksi dan penyeimbang mutlak diperlukan, harmoni antara Medan Merdeka Timur dan Senayan mutlak diperlukan. Dalam tataran praktis misalnya, keinginan Jokowi untuk segera memasukkan program prioritasnya dalam revisi anggaran belanja Negara dalam waktu dekat, jelas harus disetujui terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Ini berarti, keinginan presiden akan selalu berhadapan dengan wewenang legislasi dan budgeting parlemen. Momen pertemuan antara kehendak presiden dan parlemen inilah yang menjadi inti dinamika relasi presiden lima tahun mendatang. Dinamika berarti dua hal, harmoni atau kebuntuan. Dan sedikit banyak, bandul DPR yang cenderung mengayun ke kutub oposisi membuat sebagian orang kuatir akan kemungkinan zero sum game dalam hubungan parlemen presiden lima tahun mendatang.

Modal Utama Jokowi

Demi mencegah deadlock, Jokowi sebenarnya punya dua modal utama. Kekuatan politik partai pendukung di parlemen dan kewenangan penuh sebagai eksekutif. Sayangnya, matematika sederhana menunjukkan bahwa koalisi Indonesia Hebat hanya bermodalkan 207 kursi atau 36,9%. Bahkan jika PPP berubah haluan tanpa terbagi, angkanya baru mencapai 246 atau 43,9%. Ini berarti koalisi Jokowi adalah minoritas, dan Jokowi adalah presiden minoritas. Untuk menjamin kesuksesan, Jokowi harus bekerja keras agar setidaknya dia bisa membangun koalisi mayoritas sederhana, syukur-syukur bisa menjadi mayoritas mutlak. Bagaimanakah caranya?

Langkah pertama ialah dengan memperbesar size koalisi. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan wewenang eksekutif. Jaminan posisi kabinet bagi partai yang mendukung mutlak diperlukan. Memperbesar retorika untuk tidak bagi-bagi, dalam realitas lebih mendekati utopia atau bahkan kenaifan yang berbahaya. Mengapa? Karena filosofi dasar politik ialah ‘the art of associating men based on interest’.

Langkah kedua ialah melunakkan tensi politik dengan lobi, negosiasi dan komunikasi. Episode paripurna pemilihan pimpinan DPR dan MPR menunjukkan bahwa penggunaan pola adu banteng dalam strategi komunikasi dengan koalisi Merah Putih tidak akan membawa hasil apa-apa. Saat ini-lah prestasi lobi Jokowi di Solo dan Jakarta yang kerap digembar-gemborkan selama di Solo atau Jakarta dalam kasus pemindahan PKL dan penghuni waduk Ria Rio, akan diuji di level nasional. Walaupun tentu elemennya lebih rumit, tapi dasar teknik komunikasinya tetap sama.

Megawati ‘Idle’?

Namun dalam bab komunikasi ini-lah, ada liabilitas yang mencuat ke permukaan. Seharusnya dalam berkomunikasi, kita berharap posisi Jokowi sama seperti SBY. SBY memiliki dua daya tawar. Sebagai presiden sekaligus tokoh utama partai. Apa kata SBY itu-lah kata Demokrat. SBY tidak perlu mengkhawatirkan kohesi internal partai, karena seluruh kompenen partai ada di belakang presiden.

Sementara, Jokowi adalah kasus yang berbeda. Kehendak Jokowi belum tentu sama dan sebangun dengan PDIP. Jokowi tidak punya leverage sebagai figur sentral PDIP. Dan dalam banyak hal, penentu akhir suara PDIP dalam setiap komunikasi politik ialah Megawati bukan Jokowi. Justru di sinilah potensi masalah mencuat.

Kegagalan masuknya Demokrat kedalam kubu Indonesia Hebat hanya karena batalnya pertemuan antara Megawati dan SBY, yang ditengarai karena enggannya Megawati bertemu SBY tentu adalah kesalahan yang tidak perlu. Kalau mau melihat sedikit ke belakang, gagalnya Aburizal bergabung ke kubu Jokowi, sedikit banyak juga disebabkan oleh gaya komunikasi Megawati yang diduga tidak klop. Jika ini dibiarkan, Jokowi bisa dipastikan akan bertarung dalam dua front sekaligus. Internal dan eksternal partai.

Tentu akan bijak bila PDIP dalam hal ini legowo untuk menjadikan Jokowi sebagai corong utama suara partai, karena soliditas akan menguntungkan PDIP dan Jokowi. Sementara di lain pihak, Jokowi harus mulai memposisikan dirinya sebagai solidarity maker baru di tubuh PDIP. Tanpa dukungan PDIP yang kokoh, bisa dipastikan langkah Jokowi akan semakin terseok-seok lima tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar