Meneguhkan
Ideologi Muhammadiyah
Biyanto ; Dosen UIN
Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen
PW
Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 18 November 2014
Pada 18 November 2014, Muhammadiyah merayakan Hari Kelahiran (Milad)
Ke-102. Yang patut disyukuri, sejak didirikan hingga memasuki abad kedua ini
Muhammadiyah tetap konsisten berjuang di ranah kultural.
Tidak sekalipun Muhammadiyah tergoda menjadi partai politik. Itu
berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah berkiprah di bidang
sosial keagamaan. Tatkala merayakan milad ada baiknya aktivis Muhammadiyah
membaca ulang testimoni Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang
terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam.
Dilihat dari segi kelembagaannya, Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih
dari organisasi Islam di mana pun dan kapan pun.
Muhammadiyah memiliki jaringan organisasi yang cukup teratur mulai
pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Karena
itulah, Cak Nur menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan salah satu cerita
sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja secara nasional, tapi juga
internasional.
Pernyataan Cak Nur ini sebagian dari pandangan yang bernada memuji
kiprah Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam.
Aktivis Muhammadiyah seharusnya menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai
penyemangat. Apalagi kini Muhammadiyah telah melampaui usia satu abad. Selain
menerima pujian, Muhammadiyah juga banyak dikritik.
Di antara pernyataan bernada kritik dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut
Azra, Muhammadiyah memang layak disebut gerakan pembaru (tajdid), terutama di
bidang amal usaha. Tetapi, dalam bidang pemikiran keagamaan, Muhammadiyah
lebih tepat disebut gerakan salafiah. Itu karena tekanan ideologi gerakan
Muhammadiyah adalah pemurnian (purifikasi) di bidang aqidah dan ibadah.
Cerminan dari usaha purifikasi Muhammadiyah tampak dalam kegiatan
dakwah untuk memberantas takhayul,
bidah, dan churafat (TBC). Pada level praksis, semua ahli sepakat
mengatakan bahwa Muhammadiyah layak disebut gerakan pembaru. Melalui teologi
al-Maal-Maun (al-Maal-Maunisme) Muhammadiyah
telah membuktikan diri sebagai gerakan yang sangat menekankan pentingnya amal
saleh.
Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan berarti Muhammadiyah
telah melaksanakan prinsip a faith with
action. Dalam bahasa warga Muhammadiyah prinsip ini dikenal dengan dakwah
bil hal (mengajak dengan amalan dan
tindakan konkret). Muhammadiyah juga mempraktikkan ajaran sedikit berbicara
banyak bekerja, berdisiplin, bekerja keras, dan tanggung jawab secara
organisasi.
Khusus mengenai ajaran tanggung jawab pada organisasi ini barangkali
dapat disebut sebagai yang orisinal dari Muhammadiyah. Saat Muhammadiyah
didirikan Ahmad Dahlan, bentuk pertanggungjawaban umumnya dilakukan secara
individual. Melalui pertanggungjawaban secara organisatoris itu Muhammadiyah
akhirnya mendapat kepercayaan dari umat.
Hasilnya, Muhammadiyah mampu melahirkan banyak amal usaha, terutama di
bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lain. Tetapi, justru
dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai
persoalan. Misalnya, energi Muhammadiyah nyaris habis hanya untuk kegiatan
rutin mengurus amal usaha.
Dengan meminjam istilah beberapa intelektual muda, Muhammadiyah tampak
seperti ”gajah gemuk” yang semakin lamban dalam memberikan respons terhadap
tantangan zaman. Akibat itu, kontribusi pemikiran Muhammadiyah di bidang
sosial keagamaan terasa sangat kurang. Pada konteks inilah Muhammadiyah perlu
melakukan revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan
amal sekaligus gerakan ilmu.
Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang konsisten
menyuarakan agar Muhammadiyah mampu menyandingkan gerakan praksisme dan
gerakan intelektualisme. Dengan menampilkan diri sebagai gerakan intelektual,
di samping gerakan praksis, Muhammadiyah memasuki abad kedua secara
cemerlang.
Itu karena intelektualisme dapat menjadi sumber energi yang luar biasa
bagi Muhammadiyah, terutama dalam rangka memberikan pencerahan pada kehidupan
keberagamaan di Nusantara. Diakui atau tidak wajah Islam Indonesia akhirakhir
ini telah diwarnai persaingan yang sangat tajam kelompok Islam fundamentalis
dan liberalis.
Kelompok Islam fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan
keagamaan sebagaimana dicontohkan generasi awal Islam telah mengalami
distorsi yang luar biasa. Misalnya, simplifikasi identitas keislaman melalui
simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot, dan bercelana di atas
tumit. Meski beberapa identitas keislaman ini memiliki rujukan dalam ajaran
Islam, menyederhanakan Islam dengan ihwal yang bersifat kategoris seperti itu
jelas melenceng dari substansi ajaran Islam.
Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi
ajaran juga menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya, kelompok Islam liberal
dikatakan telah mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat Islam.
Penerjemahan kalimat thayyibah ; la ilaha
illallah dengan tiada tuhan selain Tuhan, merupakan salah satu contoh
kreasi para pembaru muslim yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang
senantiasa memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah dapat menampilkan
diri sebagai mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi
management of ideas di antara berbagai mazhab pemikiran.
Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran (school of thought) adalah mengajak
mereka untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasath). Ajakan untuk bersikap
moderat ini akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak
saling mengklaim kebenaran.
Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan
menyaksikan wajah Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai
keragaman. Karena itulah, posisi tengah (median
position) inipentingsebagaitempat berpijak berbagai mazhab pemikiran.
Jika Muhammadiyah berhasil menjadi mediator yang baik bagi berbagai
mazhab pemikiran keagamaan, ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi
perkembangan Islam Indonesia. Untuk kepentingan ini, jelas dibutuhkan
seperangkat ilmu. Karena itulah, Muhammadiyah harus meneguhkan ideologinya
agar mampu menjadi gerakan praksis sekaligus gerakan intelektual.
Akhirnya diucapkan selamat milad bagi warga Muhammadiyah. Semoga dengan
usia lebih dari satu abad, matahari Muhammadiyah bersinar semakin terang.
Dengan demikian, Muhammadiyah mampu menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah) bagi umat,
bangsa, dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar