Rabu, 19 November 2014

Menanamkan Spirit Anak Muda Nirkekerasan

Menanamkan Spirit Anak Muda Nirkekerasan

Muhammad Muchlas Rowi  ; Mantan Wakil Ketua Pimpinan Pusat
Ikatan Remaja Muhammadiyah
KORAN SINDO, 18 November 2014

                                                                                                                       


Fenomena tawuran di kalangan pelajar beberapa tahun ini terus memenuhi pemberitaan media massa. Tentu saja, problem ini sangat mengusik dunia pendidikan nasional.

Pada usia mereka yang semestinya harus difokuskan untuk belajar, malah semakin hari anak-anak pelajar kita ini semakin akrab dengan dunia kekerasan. Lalu, sesungguhnya apa akar masalah yang menyebabkan para generasi bangsa ini rentan terhadap tindak kekerasan? Dalam beberapa tahun ini, publik begitu sering dikagetkan dengan ulah sekelompok pelajar yang berlarian di tengah jalan raya.

Ada yang membawa senjata tajam, besi berukuran panjang, kayu, melempar batu, dan berbicara kasar kepada orang-orang di sekitarnya. Akhir-akhir ini, seolah ada ”ikatan” kuat antara pelajar dengan kebiasaan tawuran. Padahal kebiasaan buruk ini tak jarang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa.

Tak sedikit pelajar yang meninggal dunia akibat tebasan celurit, dan tak sedikit pula yang dipaksa drop out dari sekolah karena kebiasaannya tawuran. Jika kita mengklik kata kunci ”tawuran pelajar” melalui mesin pencari Google, dengan cepat aplikasi yang ditemukan Larry Page tersebut akan menyodorkan begitu banyak pemberitaan tentang tawuran pelajar di Indonesia.

Paling tidak ketika mengklik dengan kata kunci tersebut, kita akan mendapatkan lebih dari 943.000 berita tentang tawuran pelajar di Indonesia. Artinya, kebiasaan buruk pelajar ini telah menggejala hampir di semua tingkat sekolah. Meski berbagai upaya telah dilakukan para stakeholder pendidikan untuk meminimalisasi angka terjadinya tawuran di kalangan pelajar, tetap saja prilaku menyimpang ini masih dilakukan sebagian pelajar.

Minimnya peran keluarga dan entitas sekolah dalam menanamkan nilai-nilai antikekerasan (nirkekerasan) menjadi penyebab mereka mudah berlaku kriminal. Tanpa merasa berdosa anak-anak usia sekolah dengan mudah melukai temannya sendiri, bahkan membunuh. Dari itu, pemahaman tentang moralitas, pendidikan karakter, dan nilai-nilai nirkekerasan perlu diberikan kepada mereka sejak dini.

Bertepatan dengan penyelenggaraan Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ke-19 (16-19 November 2014), organisasi otonom yang berdiri pada 18 Juli 1961 ini ingin berperan besar dalam menjembatani anak-anak muda Indonesia supaya tidak terjebak pada ”budaya” tawuran.

Jika prilaku negatif ini terus melekat pada diri seorang pelajar, dunia pendidikan dalam negeri akan semakin terpuruk. Bila keadaan sudah sedemikian parah, lalu siapa generasi selanjutnya yang akan memimpin bangsa ini. Dengan mengambil tema muktamar bertajuk Spirit Keilmuan untuk Gerakan Pelajar Berkemajuan , IPM mengharapkan supaya semua pelajar di Indonesia berkonsentrasi penuh membangun basisbasis keilmuan di tempat belajarnya masing-masing.

Kebiasaan tawuran yang melekat sampai saat ini harus segera diakhiri. Sebab perilaku ini bukanlah karakter pelajar yang sebenarnya sebagaimana selama ini dikenal sebagai agen perubahan sosial (agent of social change). Sebaliknya, kaum pelajar haruslah bertindak progresif, menghindari prilaku kekerasan, dan memiliki semangat kuat terhadap dunia keilmuan.

Ciptakan Mazhab Intelektual

Kelompok pelajar sudah harus melakukan gerakan-gerakan progresif, berkemajuan, dan bervisi pada pembangunan mental bangsa. Kebiasaan tawuran tidak akan membawa masa depan bangsa ini menjadi maju, tapi justru akan semakin terpuruk. Karena itu, seiring dengan kekacauan panggung politik yang tak menentu seperti sekarang ini, menjatuhkan pilihan pada pergerakan intelektual adalah hal yang mutlak bagi para aktivis pelajar, tak terkecuali IPM.

Sikap high politic ini bukan tanpa dasar sama sekali untuk disandingkan pada entitas gerakan pelajar. Pasalnya, pilihan ini lebih disebabkan karena kian tergerusnya idealisme gerakan anak-anak pelajar akibat fenomena tawuran yang selama ini sering terjadi dan menghantui publik.

Jika pilihan gerakan ini mampu menjadi sebuah pergerakan yang menasional, maka tidak mustahil bila kiprah aktivis pelajar akan kembali bangkit. Gerakan intelektual yang dicita-citakan akan bermuara pada kompetensi, karakter dan gerakan yang diusung oleh setiap kelompok gerakan pelajar pada setiap turunan agendanya.

Karena itu berbagai organisasi yang ada akan ini mampu menjadi kontributor wacana dan ide di tengah kontestasi intelektual gerakan anak muda, khususnya para pelajar di Indonesia. Sayangnya, harapan tersebut masih ibarat seperti ”panggang jauh dari api”, apalagi keterlibatan dari pihak sekolah atau kampus masih minim sekali.

Padahal, jika setiap sekolah atau universitas memiliki pusat-pusat pengayaan intelektual (center for excellent), tak mustahil dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan memiliki pasokan ilmuwan dalam jumlah besar. Namun, sebaliknya, jika fenomena pelajar masih seperti yang tampak hari ini: suka tawuran, bergaya hedonis, dan pragmatis, maka dalam sepuluh atau lima belas tahun ke depan Indonesia akan semakin tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Pada hari ini saja, daya saing SDM kita masih kalah dibanding Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Meski Indonesia memiliki jumlah anak muda berjumlah sekitar 75 juta jiwa, kebanyakan mereka bersikap konsumtif. Sementara berbeda dengan negara-negara lain yang meski keberadaan anak mudanya sedikit, namun hampir semuanya bersikap produktif.

Kelompok muda di China, misalnya, mereka telah mampu menciptakan produk-produk teknologi yang inovatif dan aplikatif. Sementara di Indonesia, anak-anakmuda dinegeri inimemiliki kapasitas intelektual yang mencukupi, tapi sayang kapasitas yang mereka punya tidak mampu terfasilitasi dengan baik akibat peran pemerintah yang lemah.

Keterlibatan pemerintah dalam mendorong anak-anak mudanya untuk maju dan berpikir kreatif masih sebatas wacana. Akhirnya, pada persoalan ini gerakan pelajar harus mengisi ruang-ruang yang selama ini belum diakomodasi cukup baik oleh pemerintah. Dengan mengambil peran sebagai intelektual organik, gerakan pelajar akan berkontribusi besar bagi masa depan Indonesia yang berkemajuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar