Muhammadiyah
dan Kabinet
Benni Setiawan ; Warga
Muhammadiyah
|
KORAN
TEMPO, 18 November 2014
Sejak awal, doktrin perserikatan
Muhammadiyah adalah gerakan sosial kemasyarakatan amar makruf nahi mungkar.
Khitah Denpasar, Bali, pada 2002, memuat pernyataan, "Muhammadiyah
memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya
masyarakat madani (civil society)
yang kuat, sebagaimana tujuan Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya."
Pernyataan itu merupakan jiwa
Muhammadiyah. Khitah tersebut menjadi panduan dan gerak langkah perserikatan
yang kini berusia 102 tahun (18 November 1912-18 November 2014). Khitah itu
juga menjadi semangat Muhammadiyah untuk terus berkarya (work) dan bertindak (action)
untuk bangsa dan negara.
Kekaryaan dan tindakan
Muhammadiyah tak akan pernah surut. Walaupun Muhammadiyah kini tak mempunyai
seorang kader pun di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ketiadaan kader Muhammadiyah
dalam kabinet Jokowi tak akan menyurutkan langkah persemaian peradaban
membangun masyarakat.
M. Amien Rais (2009)
menyebutkan, membangun masyarakat lebih sulit daripada membangun negara.
Membangun negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa.
Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman Muhammadiyah bisa
dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya
sangat rapuh. Tapi masyarakat itu jauh lebih lestari. Pasalnya, masyarakat
adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala
macam aspirasi, impian, dan cita-cita.
Membangun masyarakat, melalui
amal usaha, menjadi pilihan Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan.
Muhammadiyah tak akan kekurangan saat tak memiliki wakil di pemerintahan.
Muhammadiyah pun tak akan merengek kepada penguasa agar memberi
"jatah" kepada organisasi modern pemilik amal usaha terbanyak di
dunia ini.
Kekuasaan bagi Muhammadiyah
bukanlah "selendang kebesaran". Selendang kebesaran Muhammadiyah
adalah mewujudkan cita mulia membangun masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, yaitu masyarakat yang terbangun atas transformasi gagasan,
keilmuan, dan amal saleh berbasis kemanusiaan.
Inilah perjuangan Muhammadiyah
berbasis teologi al-Maun dan al-Ashr. Muhammadiyah berjuang melalui jalan
sunyi. Jalan sunyi ini tak akan pernah menghilangkan entitas Muhammadiyah
dalam kebangsaan. Bahkan jalan sunyi inilah yang menjadikan di setiap derap
langkah bangsa dan negara senantiasa ada jejak dan peran Muhammadiyah.
Meminjam istilah Ahmad Syafii
Maarif, inilah politik garam Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa menjadi
bagian penting dalam proses kebangsaan. Ia tak terlihat, namun terasa.
Muhammadiyah menjauhi politik gincu, politik lipstik penuh tipu daya, politik
yang menjadikan seseorang harus terbungkus dan menjadi orang lain untuk
mendapatkan "kekuasaan". Karena itu, saat kader Muhammadiyah tak
menduduki pos kementerian, hal itu bukanlah akhir dari proses pengabdian. Muhammadiyah
telah membina masyarakat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Proses
kreatif Muhammadiyah itu membuktikan bahwa perserikatan "dapat
hidup" tanpa harus menduduki posisi sentral dalam rahim kekuasaan.
Pada akhirnya, peran kebangsaan
membangun masyarakat menjadi lokus tindakan Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak
awal memposisikan diri sebagai pegiat civil
society. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar