Lakon
DPR Dadi Ratu
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 18 November 2014
Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan bagi para
pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para
intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara, bahwa trias politica
itu bukan hanya merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik
penguasa otoriter, melainkan juga merupakan petunjuk teknis mengenai
batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif .
Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan”
apa, dan ”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti
kitab suci bagi kaum beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala
urusan sudah jelas dan tinggal perkara pelaksanaannya di dalam hidup
sehari-hari.
Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan
bahwa dunia sebenarnya telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para
penguasa otoriter yang selamanya enggan berbagai kekuasaan dengan siapa pun,
kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek moyang kita dengan
kemarahan yang bijak: raja adil raja
disembah, raja lalim raja disanggah.
Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini.
Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap
orang-orang zalim juga kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa
mereka berbaju rohaniwan atau berlagak demokratis.
Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter
yang bisa berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan wali-wali.
Tidak ada pesakitan yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak
mungkin ada keanehan seperti itu.
Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga”
bangsa kita di bidang kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang
diperlihatkan DPR kita sekarang, membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas
politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka tak bisa leluasa berbuat
kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terus-menerus.
Tiap saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin
persis seperti kita menjaga padi disawah menjelang panen: tiap saat kita
mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak padi kita. Orang Jawa memiliki
mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana di Kendal, Jawa
Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung
Kendalisada.
Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh
Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi.
Itu tugas ”politik” paling utama yang dipanggul Anoman. Kenyataannya, roh
penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk berbuat
kerusakan.
Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya
merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat,
kesempatan selalu muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu. Di luar
mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat
ibaratnya otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias
politica .
Tapi sebenarnya kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat
politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit rahasia alam: roh-roh jahat itu
setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di Senayan. Mereka
bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak Lampir
pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga.
Representasi simbolik Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya
menggetarkan gunung-gunung dan menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana
terus-menerus selama masa pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang
muncul lagi di Senayan.
Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh
menjaga tukang copet malah mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan
jagat malah mengguncang-guncang jagat. Papan catur nasional, tempat seluruh
rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak lagi bisa berbuat
seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili
kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang,
partai per partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir,
Duryudana, dan Sengkuni, dibantu Durga.
Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan
bahwa mereka bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu
dilanjutkan lagi, seolah mereka itu pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali
orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka sendiri, siapa yang
percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para wakil
rakyat itu tidak mewakili rakyat.
Jika diamati baik-baik, di sana ada orangorang itu gigih membuat citra
seolah dirinya paling saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden
dan minta dipercaya bahwa dia demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol
demokrat atau mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat, tetapi tak kurang-
kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru yang terlatih menipu.
Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka
bersorak-sorai untuk merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili
partai besar bebas berbuat menclamencle, plintat-plintut dalam sikap maupun
dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di layar televisi, tampak
wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas nama
rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.
Kelihatannya semua merasa kuat dan yakin, tak ada kekuatan lain yang
bisa mengalahkan mereka. Sebentar-sebentar mereka berteriak tentang rakyat.
Tapi tidak ada orang yang mau percaya bahwa mereka membela kepentingan
rakyat. Inilah tragedi politik yang terjadi di dalam lakon DPR dadi ratu.
Ratu atau raja bagi siapakah mereka? Bukan raja yang diakui rakyat. Mereka
ratu, raja, bagi ambisi dan keserakahan politik mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar