Kampus
dan Tragedi Narkoba
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi
Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 17 November 2014
Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya.
Seorang guru besar pada universitas negeri tersohor di wilayah timur
Indonesia terlibat pesta sabu.
Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang
sejawat di universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya
semakin terguncang. Betapa tidak? Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu
mondar-mandir ke universitas tersebut dalam rangka kerja sama. Selama ini
tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan. Segalanya
berjalan lancar, tertib, dan teratur.
Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki
universitas ini dibanding universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan
memiliki jabatan guru besar (profesor) sedemikian banyak. Kualitas akademik
alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain, hampir pada semua lembaga
negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting. Benarkah tragedi
ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah jebol
dilanda dekadensi moral narkoba?
Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua
pihak agar hati-hati terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan
jenis ini bukan sekadar biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya
bunuh terhadap semua orang, lintas generasi, dan mampu memorak- porandakan
kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti langkah-langkah
sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun penindakannya.
Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba
tidak cukup bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara
mekanis-prosedural dan teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba
perlu diperangi dengan komitmen tinggi berbasis visi kultural kebangsaan.
Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering dipadankan dengan
”semangat kebangsaan”. Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi
yang dicapai penegak hukum, saya melihat perang terhadap narkoba selama ini
seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis sehingga dapat dikatakan bahwa
semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai perjuangan melawan narkoba.
Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai kegiatan teknis,
terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal
demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap
narkoba identik dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh
pemain yang pandai dan terampil memutarkan koin, fulus, atau uang.
Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang
penegak hukum dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari
jeratan hukum. Kejahatan narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan
merambah semua strata sosial. Perang terhadap narkoba hendaknya disadari
sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai semangat kebangsaan.
Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotong-royong sesuai dengan
posisi dan fungsi masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk
kejahatan narkoba. Di situ akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat
menentukan intensitas perang terhadap narkoba.
Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau
senjata agar kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih
lemah, banyak kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah
perang terhadap narkoba sebab dengan berbekal semangat kebangsaan dapat
secara kreatif digunakan senjata lain di luar hukum. Karakter normatif itulah
senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya.
Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan
pengajaran selama ini kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh
dan berkembangnya karakter normatif. Sejak kita masuk Era Reformasi, di situ
karakter pragmatis, materialis, dan hedonis amat mewarnai karakter bangsa,
utamanya generasi muda.
Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui cara-cara instan, ingin
cepat sampai pada sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi
bandar, pengedar, atau pengguna narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral
dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter pragmatis, materialis, dan
hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas, dan perang
terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah.
Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu
etos Indonesia bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan,
rancang bangun, dan visi yang jelas. Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo
(2003), ”ibarat mengarungi samudra luas,
sambil berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika
tiba-tiba badai menerpa, dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah?
Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda
kehidupan kita sebagai bangsa.
Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers telah memberikan modal berharga yakni Pancasila.
Sivitas akademika mestinya menjadi figur teladan, manusia bertakwa, adil, dan
beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum semangat kebangsaan
dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah, lingkungan, dan
pendidikan tinggi.
Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan sebagai semangat
kebangsaan. Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan
derajat hakikatnya adalah ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan
standar penilaian amal manusia bahkan sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi
kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa, semuanya adalah sarana dan
sekaligus bentuk konkret ujian.
Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi
secara objektif dan proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya
melakukan otokritik. Kendatipun kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu
(ummatan wahidah), namun secara
empiris-objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit
narkoba. Yuk , dengan semangat kebangsaan, kita bersihkan kampus dari
narkoba. WallahuWallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar