Publikasi
Ilmuwan Rendah, Mengapa?
Ali Khomsan ; Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
|
KORAN
SINDO, 17 November 2014
Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa
denyut nadi kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal.
Cita-cita meraih institusi pendidikan tinggi atau lembaga penelitian
yang mendunia masih jauh panggang dari api. Jurnal ilmiah di Indonesia masih
menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas penerbitan dan statusnya
yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang buruk
disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi
derajat selektivitas. Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang
dikirimkan kepada tim reviewer untuk ditelaah, berbulan-bulan tidak
dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan. Ketiga, rata-rata dana
penelitian untuk dosen/ peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang
dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah.
Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan
dalam bidang keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya
tidak bisa menggunakan kiat bisnis seperti media masa yang bersifat
komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang tinggi dari pengelolanya,
partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang naskah, tim
reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari
pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah.
Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan
publikasi ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan
dana untuk penerbitan jurnal ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan
menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal ilmiah internasional harus
diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak menulis.
Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi
pegangan setiap ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan
karya-karyanya. Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari
tentang lemahnya publikasi internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini
bukan karena mereka tidak mampu.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar
negeri umumnya telah memublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah
internasional bersama dosen pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah
Air, mereka bisa bertambah produktif menghasilkan karya-karya ipteks yang
layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak. Iklim akademik di perguruan
tinggi Tanah Air kurang menunjang dosen untuk bergairah menghasilkan
publikasi bertaraf internasional.
Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan
kehidupan ipteks tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah
menyindir bahwa honor peneliti masih lebih rendah dibandingkan honor kuda
sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya, melakukan kegiatan penelitian selain
untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga merupakan strategi untuk
mendapatkan penghasilan tambahan.
Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar
lebih banyak dosen meneliti, yang lahir hanyalah ipteksipteks dangkal. Riset
yang baik memerlukan dana besar. Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas
memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah internasional.
Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya
bisa dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti.
Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah
karena ilmuwan Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar
negeri. Untuk itu, hibah untuk berseminar di luar negeri harus ditingkatkan.
Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai olehbukti-bukti
publikasi ilmiah di jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau
peneliti suit untuk menggapai jenjang profesor atau profesor riset.
Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai oleh
beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir
150 orang. Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya
menjadi tradisi di kalangan ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda
disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format manuskrip berupa artikel-artikel
ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun yang sedang dalam
tahap dikirimkan untuk dimuat.
Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di
Indonesia. Dosen pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk
memublikasikan hasil-hasil risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa
pascasarjananya untuk menulis hasil tesis/disertasinya di jurnal ilmiah
sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah. Peringkat perguruan
tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di tingkat
dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500
universitas top di dunia.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para
dosennya yang dimuat di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah
dosen Indonesia dapat menggagalkan cita-cita untuk meraih predikat research
university. Keinginan untuk menempatkan riset sebagai pilar membangun
perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian yang belum
optimal.
Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui
sertifikasi, para dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi
masing-masing. Jangan sampai dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar)
daripada berkomitmen mengajar, membimbing mahasiswa, dan meneliti di
kampusnya sendiri. Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu
dikritik.
Pernah muncul istilah ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di
media masa hanya diperlukan pemikiran sepanjang empat halaman kuarto.
Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis ilmuwan yang dimuat di koran
dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa menulis di koran,
tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar