Jumat, 07 November 2014

Agenda Pajak Menteri Keuangan

Agenda Pajak Menteri Keuangan

Chandra Budi  ;  Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
KORAN TEMPO, 06 November 2014

Artikel CB dengan topik sama telah dimuat di SINAR HARAPAN 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       
  
Posisi Menteri Keuangan yang baru dipercayakan kepada mantan Wakil Menkeu era SBY, Bambang Brodjonegoro. Menarik sekali, Bambang Brodjonegoro, seperti yang disebutkan Presiden Jokowi, adalah ahli desentralisasi fiskal yang berlatar belakang akademikus. Ditambah pengalaman kerjanya sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sangat diyakini Menkeu Baru ini mumpuni dalam hal kebijakan ekonomi makro. Justru tantangannya adalah bagaimana Menkeu baru mengelola sektor perpajakan (pajak dan bea cukai) yang sangat mikro. Karena itu, Menkeu baru harus mempunyai agenda pembenahan pajak yang konkret.

Setidaknya, ada dua akar masalah yang dihadapi Ditjen Pajak saat ini. Pertama, kontribusi penerimaan pajak selama ini sangat bergantung pada segelintir wajib pajak badan atau perusahaan yang berorientasi ekspor komoditas. Saking bergantungnya pada wajib pajak ini, apabila setoran pajak mereka turun sedikit saja, setoran dari wajib pajak orang pribadi tidak akan mampu menutupinya. Hal ini wajar terjadi karena berdasarkan bukti empiris, diketahui bahwa sekitar 90 persen lebih penerimaan pajak berasal dari wajib pajak badan. Selain itu, hampir 85 persen setoran tersebut disumbangkan oleh seribuan wajib pajak badan saja. Kegagalan pencapaian target pajak selama tiga tahun terakhir ini diyakini sebagai akibat menurunnya setoran wajib pajak badan tadi, yang merupakan efek dari melambatnya perekonomian global.

Masalah kedua, munculnya gejala (symptom) demotivasi pegawai menyebabkan turunnya militansi untuk menggali potensi penerimaan pajak. Hal ini dipicu oleh adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan pegawai dan kebijakan yang ada. Kebijakan selama ini lebih menempatkan pegawai sebagai sumber daya, bukan aset (kapital). Sangat dikhawatirkan hubungan antara pegawai pajak dan Ditjen Pajak (engagement) ke depan akan lebih didominansi ikatan tanpa emosi (shopper).

Fokus pertama dalam agenda pembenahan pajak Menkeu baru adalah meningkatkan kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari wajib pajak orang pribadi. Dengan bertambahnya porsi pajak yang berasal dari wajib pajak orang pribadi ini, tekanan eksternal pelambatan ekonomi dunia akan sedikit pengaruhnya terhadap pencapaian penerimaan pajak. Selain itu, best practices dunia, kontribusi penerimaan pajak orang pribadi selalu lebih besar daripada perusahaan. Arnold (2012) menyatakan komposisi penerimaan pajak di negara-negara OECD lebih didominansi oleh setoran pajak yang berasal dari wajib pajak orang pribadi, termasuk dari wajib pajak karyawan. Hanya sekitar 10 persen penerimaan yang berasal dari wajib pajak badan.

Peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi sebenarnya terbuka lebar. Data terbaru BPS (2013) membenarkan pernyataan tersebut. Dari sekitar 110,8 juta orang yang berkerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7 persen yang terdaftar sebagai wajib pajak.

Selanjutnya, dari jumlah wajib pajak terdaftar tersebut, yang membayar pajak hanya 670 ribu orang atau 2,7 persen. Ironisnya, sebanyak lebih dari 586 ribu wajib pajak, atau sekitar 87,5 persen, membayar pajak kurang dari Rp 100 juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta sebulan. Padahal, apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada, terdeteksi masih banyak pihak yang belum membayar pajak meski sebenarnya mampu.

Permasalahan utama yang dihadapi Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak tersebut adalah kurangnya ketersediaan data eksternal. Padahal, data tersebut sebenarnya ada dan dimiliki oleh institusi pemerintah juga. Contohnya, data kepemilikan kendaraan mewah yang dikuasai oleh dinas pendapatan daerah setempat.

Fokus kedua agenda pajak Menkeu baru adalah mengembalikan motivasi pegawai. Seiring dengan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi, sangat tepat apabila Menkeu baru segera mengimplementasikan hal itu pada jajaran Ditjen Pajak. Kata kuncinya adalah menjadikan pegawai sebagai aset berharga milik organisasi. Bradley (2008) dalam bukunya The New Human Capital Strategy, menyatakan bahwa untuk memperbaiki kinerja karyawan dan perusahaan, perusahaan harus memperlakukan karyawannya sebagai manusia seutuhnya. Kalau perusahaan membuat karyawannya sukses, mereka akan bahagia. Kalau mereka bahagia, kinerjanya akan meningkat.

Ditjen Pajak harus menumbuhkan rasa bangga dan bahagia dalam hati seluruh pegawainya karena telah bekerja dan berkontribusi besar terhadap penerimaan negara yang digunakan untuk menjalankan program kesejahteraan rakyat. Secara konkret, Ditjen Pajak perlu membangun suatu sistem yang dapat mengukur, mengembangkan, dan memberikan imbalan proporsional kepada pegawainya. Revolusi mental ala Ditjen Pajak adalah dengan membuat seluruh pegawai pajak bangga dan bahagia menjalani pekerjaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar