Jumat, 07 November 2014

Titik Balik

Titik Balik

Sudjito  ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila
Universitas Gadjah Mada (UGM)
KORAN SINDO, 06 November 2014
                                                 
                                                                                                                       


Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (29/10), melakukan blusukan ke lokasi bencana letusan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo. Di sana, Jokowi memberi sejumlah bantuan.

Aktivitas kenegaraan itu bagaikan tetesan embun di tengah padang tandus, bagaikan secercah sinar di tengah kegelapan. Terlepas dari berbagai tafsir politik yang cenderung bias, secara alami, embun tetap bening, bersih, danbersinar. Sikap dan perilaku Jokowi merupakan pantulan jiwa kerakyatan, mengembang menjadi jiwa kemanusiaan, bersatu dengan alam semesta.

Mungkin benar bahwa korban bencana diaruke, disambangi, disapa, oleh Presiden karena mereka rakyatnya. Akan tetapi, kalaupun mereka bukan rakyat, katakanlah warga negara asing, saya yakin Jokowi tak membedakan belaskasihsayangnya. Pedulikorban bencana tidak mengenal diskriminasi, melainkan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam perspektif metafisis, Gunung Sinabung, sungguh luar biasa. Meletus, meletus, dan meletus. Tanpa lelah, letusan menyuarakan kejujuran, kepolosan, dan kepedulian terhadap kehidupan bernegara. Ketika suararakyat lapisan bawah (grass root) selalu lenyap ditelan hirukpikuk warta politik kotor, di saat itu, Gunung Sinabung berteriak keras: “Hentikan pertikaian politik. Bersahabatlah antar partai politik, koalisi, dan konstituen, sebagaimana persahabatan Sinabung dengan masyarakat Karo. Aku marah, meletus, mengharu biru, sekadar mengingatkan agar para politikus kembali di jalan kebenaran, berbuat untuk bangsa dan negara.”

Dalam perspektif environmentalism, Gunung Sinabung merupakan makhluk hidup. Keberadaannya sah dan sederajat dengan makhluk hidup lain, termasuk manusia. Gunung Sinabung memiliki legal standing, kedudukan hukum, dan hak menggugat. Kini ketika tidak ada organisasi lingkungan yang mampu mewakili gugatannya terhadap pemerintah dalam permasalahan kenegaraan, terpaksa Gunung Sinabung tampil sendiri dan menggugat langsung, dengan teriakan keras, letusan dan semburan lahar panas.

Bila kita mampu menangkap respons Gunung Sinabung terhadap blusukan Jokowi, pastilah akan terlihat Gunung Sinabung tertawa geli, gembira ria. Alhamdulillah, presidenku memiliki kecerdasan lingkungan tinggi, tanggap terhadap masalah-masalah mendasar.

Setara dengan curahan hati Gunung Sinabung, seorang sahabat guru besar galau, melihat tayangan sidang paripurna DPR ricuh, muncul pimpinan DPR tandingan, dan berbagai perilaku politik bodoh dan kasar.

Dalam kegalauannya terucap: “Kalau semua aspek kehidupan bernegara telah didominasi oleh kekuasaan politikus, lantas di mana rakyat jelata dapat hidup nyaman, bagaimana nasib generasi penerus, anak-cucu kita? Haruskah, kita dijadikan korban kebrutalan politik?” katanya.

Nyata sudah bahwa kegalauan merupakan anomali jiwa. Dapat terjadi pada siapa pun, baik manusia maupun alam, politikus maupun akademisi, rakyat maupun presiden. Nyata pula bahwa uang, kekuasaan, dan agama, dapat menjadi sumber kegalauan. Intinya sederhana, gelapnya jiwa, kerasnya hati, dangkalnya wawasan, menjadi pendorong dan pengendali sikap dan perilaku, sehingga kehidupan bernegara secara manifes terwujud sebagai arena konflik, setara letusan gunung.

Gelapnya kehidupan bernegara tidak lain gambar dari gelapnya jiwa politikus sebagai penyelenggara negara. Itu sebabnya, saya semakin yakin, bahwa kembali ke pandangan hidup (way of life) bangsa, yakni Pancasila, merupakan keniscayaan, agar jiwa bangsa kembali sehat.

Semua nilai di tingkat sila-sila yang berjumlah lima, terdapat sinar dan potensi kekuatan, yang ikhlas membimbing segenap komponen bangsa ke luardari kegelapan, hijrah diwilayah kehidupan cerah, nyaman, dan aman. Begitu kita mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila kedalam jiwa, maka pancaran jiwanya menyejukkan, sealami embun pagi, semanis madu asli, sesegar air pancuran.

Boleh jadi, saat ini masa terbaik untuk kembali ke titik balik peradaban (the turning point), kata Fritjof Capra. Peradaban sebagai kondisi kehidupan bernegara, akan terwujud bila diisi dan dikendalikan manusia-manusia beradab. Mereka adalah manusia-manusia berbudi luhur, jujur, sopan santun, lembut bertutur kata maupun bertindak. Seia sekata antara ucapan dan perbuatan.

Menjadikan pihak lain sebagai bagian jiwa kehidupannya. Pihak lain diperlukan sebagai sesama subjek, sehingga terjalin hubungan pansubjektivitas. Sudah tentu, pantang dan haram, mengobjekkan pihak lain. Alangkah indah dan akrabnya warna-warni dan tali-temali kehidupan bernegara, bila kembali ke titik balik peradaban itu menjadi kenyataan.

Saya yakin revolusi mental, sebagai slogan dan jalan perubahan, akan diterima dan diamalkan segenap komponen bangsa, bila nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, tertransformasikan menjadi sikap bijak dalam bingkai wawasan kebangsaan.

Blusukan Jokowi dapat dimaknakan sebagai keteladanan dan ancangan transformasi spiritual, karakter, dan mentalitas bangsa. Keteladanan ini perlu ditularkan kepada para menteri dan penyelenggara lain, utamanya elite politik di Senayan. Revolusi mental perlu ditransformasikan sebagai senyawa perbedaan-perbedaan, agar lebur dan berubah menjadi persatuan.

Revolusi mental identik aliran listrik, menyintesiskan kutub negatif dan kutub positif, sehingga hasilnya lampu menyala. Saat lampu menyala, suasana terang benderang, tidak lagi orang bicara negatif dan positif, tidak pula bicara kubu pemerintah dan kubu oposisi, tidak pula berbicara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Saat itu dikotomi, dualitas, antara aku dan kamu, diramu menjadi persatuan.

Melalui choiceless awareness (kesadaran yang tidak membeda-bedakan), pertikaian dapat diakhiri, dan kedamaian dibangun bersama. Dua dalil berikut barangkali cukup menjadi titik tolak mengakhiri pertikaian politik dan membangun negara. Pertama, semakin sengit politikus bertikai, semakin banyak korban berjatuhan, semakin hancur kehidupan bernegara.

Kedua, wahai politikus, sayangilah bangsamu, alam-lingkunganmu, dan apa pun yang terbentang di seluruh wilayah negeri, niscaya kepentingan dan kebutuhanmu dicukupkan oleh semua penghuni alam semesta. Wallahu-Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar