Jumat, 07 November 2014

Agenda Pajak Menkeu Baru

Agenda Pajak Menkeu Baru

Chandra Budi  ;  Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
SINAR HARAPAN, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Setelah sempat tertunda, akhirnya Presiden Jokowi mengumumkan nama-nama menteri dalam kabinet kerjanya, Minggu (26/10). Menteri keuangan (menkeu) yang baru dipercayakan kepada mantan wakil menkeu era SBY, Bambang Brodjonegoro. Tentunya banyak tugas penting yang menanti menkeu baru, mulai dari menjaga defisit APBN-P 2014 sampai pembenahan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen).

Menarik di sini, Bambang Brodjonegoro, seperti yang disebutkan Presiden Jokowi, adalah ahli desentralisasi fiskal yang berlatar belakang akademikus. Ditambah pengalaman kerja beliau yang pernah menjadi Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sangat diyakini menkeu baru ini mumpuni dalam hal kebijakan ekonomi makro. Justru tantangannya adalah bagaimana menkeu baru mengelola sektor perpajakan (pajak dan bea cukai) yang sangat mikro. Untuk itu, menkeu baru harus mempunyai agenda pembenahan pajak yang konkret.

Penerimaan

Tinggal dua bulan lagi, tetapi capaian realisasi penerimaan pajak baru sekitar 70 persen dari target APBN-P 2014. Diperkirakan, realisasinya sampai akhir tahun ini hanya 92-93 persen. Artinya, menkeu baru harus menyiasati pengeluaran—melakukan penghematan—agar defisit anggaran tidak membengkak.

Kejadian ini merupakan pengulangan tahun-tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, penerimaan pajak tidak mencapai target yang ditetapkan. Pada 2011, pencapaian penerimaan pajak 97 persen, kemudian tahun 2012 menurun hingga 94 persen. Terakhir, pada 2013, penerimaan pajak hanya menembus 92 persen. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah dalam pengelolaan pajak?

Setidaknya, ada dua akar masalah yang dihadapi Ditjen Pajak saat ini. Pertama, kontribusi penerimaan pajak yang selama ini sangat tergantung pada segelintir wajib pajak badan atau perusahaan yang berorientasi ekspor komoditas.

Akibatnya, komposisi dalam struktur penerimaan pajak sangat didominasi setoran wajib pajak badan ini. Saking tergantungnya pada wajib pajak tersebut, apabila setoran pajak mereka ini turun sedikit saja maka tidak akan mampu ditutupi setoran pajak wajib pajak orang pribadi.

Hal ini wajar terjadi karena beradasarkan bukti empiris, diketahui sekitar 90 persen lebih penerimaan pajak berasal dari wajib pajak badan. Hampir 85 persen setoran tersebut disumbangkan seribuan wajib pajak badan saja. Kegagalan pencapaian target pajak dalam tiga tahun terakhir ini diyakini sebagai akibat menurunnya setoran wajib pajak badan tadi yang merupakan efek dari melambatnya perekonomian global.

Masalah kedua adalah munculnya gejala (symptom) demotivasi pegawai yang menyebabkan turunnya semangat dan jiwa militansi untuk mengali potensi penerimaan pajak. Hal ini dipicu adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan pegawai dengan kebijakan yang ada.

Kebijakan selama ini lebih menempatkan pegawai sebagai sumber daya bukan aset (kapital). Padahal, ketahanan untuk mencapai hasil (grit) sangat diperlukan bagi pegawai Ditjen Pajak ketika bertugas di seluruh Indonesia, dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia.

Sangat dikhawatirkan, apabila hubungan antara pegawai pajak dengan Ditjen Pajak (engagement) ke depan lebih didominansi ikatan tanpa emosi (shopper). Menambah kuantitas pegawai akan percuma apabila tidak diikuti kebijakan pegawai yang menempatkan pegawai sebagai aset berharga Ditjen Pajak.

Agenda

Fokus pertama dalam agenda pembenahan pajak menkeu baru adalah meningkatkan kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari wajib pajak orang pribadi. Dengan bertambahnya porsi pajak yang berasal dari wajib pajak orang pribadi ini, tekanan eksternal pelambatan ekonomi dunia akan sedikit pengaruhnya terhadap pencapaian penerimaan pajak.

Selain itu, best practices dunia, kontribusi penerimaan pajak orang pribadi selalu lebih besar daripada perusahaan.
Peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi sebenarnya terbuka lebar.

Data terbaru BPS (2013) membenarkan pernyataan tersebut. Dari sekitar 110,8 juta orang yang berkerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7 persen yang terdaftar sebagai wajib pajak. Selanjutnya, dari jumlah wajib pajak terdaftar tersebut, yang membayar pajak hanya 670.000 wajib pajak atau 2,7 persennya.

Ironisnya, sebanyak lebih 586.000 wajib pajak yang membayar tersebut atau sekitar 87,5 persennya membayar pajak kurang dari Rp 100 juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta sebulan saja. Padahal, apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada, terdeteksi masih banyak yang belum bayar pajak, padahal mereka mampu.

Hasil riset Standard Chatered menyatakan, jumlah orang Indonesia dengan penghasilan di atas Rp 200-400 juta dapat mencapai 4 juta penduduk. Belum lagi, diperkirakan jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar dapat mencapai 60.000 penduduk.

Permasalahan utama yang dihadapi Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak tersebut adalah kurangnya ketersediaan data eksternal. Padahal, data tersebut sebenarnya ada dan dimiliki institusi pemerintah juga. Contohnya, data kepemilikan kendaraan mewah yang dikuasai Dinas Pendapatan Daerah setempat.

Ditjen Pajak sangat sulit memperoleh data tersebut, walaupun ada aturan dalam UU Pajak tentang kewajiban setiap instansi pemerintah untuk memberikan data terkait perpajakan ke Ditjen Pajak.

Untuk itu, menkeu dapat menggunakan wewenangnya dalam proses alokasi dan evaluasi anggaran pemerintah daerah di mana mewajibkan mereka memberikan data terkait perpajakan ke Ditjen Pajak.

Menkeu dapat saja menunda dana alokasi umum atau dana alokasi khusus ke pemerintah daerah apabila ternyata mereka tidak kooperatif memberikan data tersebut.

Fokus kedua agenda pajak menkeu baru adalah mengembalikan motivasi pegawai. Seiring dengan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi, sangat tepat apabila menkeu baru segera mengimplementasikannya ke jajaran Ditjen Pajak.

Kata kuncinya adalah menjadikan pegawai sebagai aset berharga milik organisasi. Bradley (2008) dalam bukunya The New Human Capital Strategy menyatakan, untuk memperbaiki kinerja karyawan dan perusahaan, perusahaan harus memperlakukan karyawannya sebagai manusia seutuhnya. Kalau perusahaan membuat karyawannya sukses, mereka akan bahagia. Kalau mereka bahagia, kinerjanya akan meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar