Negeri ini semakin menjauh dari cita-cita
kemerdekaan dan politik reformasi. Visi founding
father bangsa kita, yang ingin mengantarkan kemerdekaan sebagai pintu
gerbang kesejahteraan dikhianati para koruptor.
Janji reformasi yang ditandai penggulingan
rezim otoriter menuju keterbukaan pendapat, akses informasi, dan demokrasi
politik ditelikung oleh mereka yang menggunakan jabatan sebagai akses utama
menguras uang negara. Bagaimana renungan untuk bangsa yang semakin jauh
dari orbit menjadi bangsa yang besar?
Negeri ini dapat dianggap sebagai republik
skizofrenia. Ini terjadi ketika hampir semua pejabat negara lupa pada
tanggung jawabnya. Para politikus lupa hakikat perjuangannya. Para ilmuwan
lupa pada aplikasi ilmunya, hanya menjunjung teori setinggi langit. Seniman
pun lupa dengan hakikat kreatifnya.
Mereka yang sejatinya waras, dianggap gila
sepenuhnya.
Indonesia kini tak ubahnya deretan catatan
hitam dan sengkarut kasus korupsi. Berderet-deret kasus korupsi berdesakan
dengan tindakan amoral, asusila, dan setumpuk persoalan moral yang menjadi
akar sekaligus ranting pohon kering bernama integritas. Sebagai negara,
Indonesia masih kuat untuk bertahan lama. Akan tetapi, akar-akar yang
menopangnya selama ini digerogoti ribuan kasus yang tak pernah selesai.
Politik Skizofrenik
Jika membentangkan deretan masalah yang
menjerat bangsa ini, dalam perspektif psikiatri, tak dapat disangkal
kemungkinan hadirnya republik skizofrenia (David Hill, 1983). Di republik
ini, yang ada hanyalah birokrasi yang depresif.
Sistem kerja politik yang telah dihajar tren
koruptif, suap-menyuap, dan mental gratisan. Ini telah berlangsung tiga
dekade dalam lanskap politik kemerdekaan dan ratusan tahun menghamba pada
kekuasaan kolonial.
Teror-teror yang terjadi dalam konteks
politik agama menjadi bukti hadirnya mental skizofrenik. Bagaikan palu
godam menghantam kepala, mental skizofrenik terwujud dalam bentuk teror
bom, teriakan syariat, dan adu fisik kelompok yang berjibaku atas nama
agama. Mereka yang meneriakkan kalimat Tuhan dan menyitir hikmah nabi, hanya
untuk menghakimi kelompok lain.
Palu godam bernama agama berhasil memukul
kelompok-kelompok minoritas yang dianggap sesat dan bahkan “disesatkan”.
Dari catatan historis, kasus Ahmadiyah dan Syiah menjadi bagian teror
skizofrenik yang lambat laun tidak sekadar halusinasi, tetapi menjadi teror
fisik yang melahirkan perpecahan internal bangsa ini.
Di panggung politik, berderet kasus-kasus
membuat kepala rakyat kecil pusing. Setelah tiap hari dihajar oleh mahalnya
biaya hidup, meroketnya harga bahan pokok, minimnya jaminan kesehatan, dan
mundurnya kualitas pendidikan, warga dijerat simpang siur informasi kasus
korupsi pejabat negara, seperti kasus Century, impor sapi, Hambalang,
simulator SIM, dan ratusan kasus yang berderet di meja berkas Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Data yang disampaikan FEB UGM, selama
2001-2009 uang negara yang dikorupsi senilai Rp 73, 07 triliun. Akan
tetapi, total nilai hukuman finansial hanya Rp 5,32 triliun atau setara
7,29 persen. Selisih dana sebesar Rp 67,75 triliun adalah jumlah yang
ditanggung rakyat dengan imbas pada minimnya dukungan negara untuk
kesejahteraan warga.
Orang-orang cerdik yang berpengalaman dalam
karier akademik dan birokrasi, kemudian diberi amanah sebagai panglima
hukum.
Nyatanya, mereka juga tergoda untuk
melakukan tindak korupsi. Kasus suap di lembaga Mahkamah Konstitusi (MK)
menjadi bukti. Gaji tinggi dan segepok sertifikat prestasi tidak menjamin
integritas personal. Visi dan moral pejabat negara dipertaruhkan di tengah
sistem politik skizofrenik saat ini.
Visi Politik
Bagaimana menyelamatkan bangsa yang didera
skizofrenia? Hal yang menjadikan negara dan bangsa bertahan adalah adanya
harapan. Jika harapan masih ada, akan terus ada semangat untuk meneruskan
kehidupan dan masih ada tenaga untuk melakukan perubahan. Harapan (hope)
inilah yang menjadi doa dan inspirasi bagi hadirnya orang-orang baik pada
sistem politik yang busuk sekalipun.
Saat situasi krisis dalam birokrasi negara,
apa yang disampaikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—Wakil Gubernur DKI
Jakarta—dunia politik negeri ini masih kekurangan orang baik. Ini menjadi
poin penting untuk membaca tingkat kerusakan dalam republik skizofrenik
ini. Apakah hadirnya orang-orang baik saja cukup? Saya kira tidak.
Orang-orang baik harus memiliki visi yang
kuat, bersinergi, dan berani melakukan perubahan. Orang-orang baik, yang
selama ini bertahan dalam sistem politik yang kotor, pelan-pelan
disingkirkan dari medan pertarungan politik. Mereka yang mampu menghadirkan
perubahan, akan dapat bertahan dan dikenang.
Jadi, harus ada komunikasi integratif
antar-orang-orang baik dalam ruang politik. Hal ini untuk saling bertukar
gagasan, melakukan perubahan bersama, dan menabrak batas-batas moral yang
selama ini telah dikonstruksi dengan standar kebiasaan, bukan standar kebenaran.
Politik dengan aktor yang memiliki
integritas, bervisi kuat, dan sanggup melakukan perubahan inilah, yang
menjadi penyelamat negeri ini. Proses menuju 2014 adalah menjaring hadirnya
kelompok “orang baik” yang sanggup memberikan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar